Mirip dengan Kota Bandung, Sukabumi dikelilingi gunung-gunung. Beranjak beberapa kilometer saja—terlepas mau ke barat, timur, selatan atau utara—kita segera dihadapkan pada kontur alam pegunungan. Nama Sukabumi sendiri berasal dari dua suku kata dalam bahasa Sunda, yakni ‘suka ‘ dan ‘bumen’. ‘Suka’ berarti ‘senang’ atau ‘gemar’, sedangkan ‘bumen’ berarti ‘bermukim’ atau ‘tinggal secara permanen’. 

Konon, kota ini dinamai Sukabumi karena pada dulu kala banyak pendatang yang begitu menjejakkan kaki di kota ini langsung merasa senang dengan suasana kota ini, sehingga mereka lantas memutuskan untuk bermukim di kota ini.

Dengan posisinya yang dikelilingi gunung-gunung, membuat siapa pun yang berada di Kota Sukabumi lebih mudah dan lebih cepat untuk bisa menikmati panorama pegunungan ketimbang panorama pantai atau lautan.

Sekadar ilustrasi, untuk bisa menikmati panorama pantai, dari pusat Kota Sukabumi, kita perlu menempuh jarak sekurangnya 61 kilometer ke arah selatan. Adapun untuk menikmati panorama pegunungan, dari pusat Kota Sukabumi, cukup bergerak ke sisi utara, misalnya, sekitar 8 kilometer, kita sudah akan berada langsung di kaki Gunung Gede—Pangrango.

Gede—Pangrango, yang sering juga disingkat menjadi Gepang, memiliki ketinggian sekitar 2.958 meter di atas permukaan laut. Adapun ketinggian Pangrango sekitar 3.019 meter di atas permukaan laut. Gunung paling tinggi di Pulau Jawa adalah Ciremai, dengan tinggi 3.078 meter di atas permukaan laut.

Sejak 1977, Gede—Pangrango, yang masuk ke dalam tiga wilayah administrasi yakni Kabupaten Bogor, Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, telah ditetapkan sebagai cagar biosfer oleh UNESCO.Dipandang dari arah mana pun, Gede—Pangrango senantiasa terlihat indah, gagah, dan anggun. Banyak orang ingin mendakinya. Di gunung ini, ada sebuah lembah bernama Mandalawangi, yang dihiasi oleh hamparan edelweis, yang menggoda bagi siapapun untuk mengabadikannya. Tentu saja, ada semacam kebanggaan tatkala kita dapat berfoto di Mandalawangi dengan hamparan edelweisnya.

Hamparan rumput dan pohon
Hamparan rumput dan pohon/Djoko Subinarto

Kampung Cakrawala

Ada banyak area wisata alam di sekitaran kaki Gede—Pangrango. Salah satunya adalah Kampung Cakrawala.

Di Minggu pagi, yang kebetulan berpayung langit biru, beberapa waktu silam, saya mencoba melipir ke Kampung Cakrawala di kaki Gede—Pangrango ini. Ceritanya, usai sepedaan di arena car free day, di depan Balai Kota Sukabumi, saya lantas ngacir ke arah Selabintana.

Tak sampai empat puluh menit, saya sudah berada tak jauh dari gerbang utama Selabintana. Terlihat serombongan goweser sedang mengaso sembari menikmati minuman dan makanan ringan, sebelum meneruskan perjalanan gowes mereka. Saya tidak berhenti dan cuma memberi salam kring-kring lewat bel sepeda kepada mereka.Persis sebelum gerbang utama Selabintana, ada jalan ke arah kanan. Saya belokkan sepeda ke sana. Ini adalah jalan yang menuju Kampung Cakrawala. Setelah melaju beberapa meter, terlihat ada pom bensin Pertamini. Setelah pom bensin itu, ada jalan kecil ke arah utara. Saya lantas ikuti jalan kecil tersebut. Tak butuh lama, mata saya segera disuguhi pemandangan kebun teh dan Gede—Pangrango yang anggun menjulang.

Kolam
Kolam/Djoko Subinarto

Di sebuah persimpangan, terlihat ada plang sederhana bertuliskan Kampung Cakrawala. Beberapa keluarga muda terlihat sedang berfoto-foto dengan latar belakang hamparan kebun teh dan Gede—Pangrango. Salah satu keluarga muda itu terlihat membawa anak berusia sekitar tiga tahunan.

Saya tuntun sepeda. Pasalnya, rutenya berupa tanah dan berbatu-batu. Kurang pas buat sepeda lipat mungil, yang saya gunakan hari itu. 

Beberapa meter dari situ, sampailah saya di depan sebuah loket sederhana. Penjaganya seorang perempuan berkerudung coklat. Ia memastikan apakah saya datang berombongan atau sendirian. Saya jelaskan bahwa saya sendirian. Ia menyodorkan tiket masuk. Harganya Rp10 ribu.

Hamparan rumput dan pohon-pohon rindang langsung menyergap pandangan saya. Terlihat ada sebuah kolam kecil di tengah-tengah hamparan rumput. Sebuah rakit kecil dari bambu tertambat di pinggir kolam itu. Tak jauh dari sana, tampak pula jembatan kayu yang membentang di atas sebuah sungai dengan bunyi airnya yang terdengar gemericik. Dua sejoli belia terlihat duduk santai menghadap ke arah jembatan. 

Jembatan kayu
Jembatan kayu/Djoko Subinarto

Saya parkirkan sepeda lipat di tepi kolam. Beberapa saat kemudian, sekelompok perempuan berseragam kaos senam berwarna merah darah menghampiri, meminta bantuan saya untuk memotretkan mereka di tepi kolam menggunakan ponsel milik salah seorang dari mereka. 

Saya minta mereka berpose. Selanjutnya, klik, klik, klik. Beberapa jepretan saya ambil. Setelah itu, saya minta mereka melihat langsung hasilnya. Begitu mereka terlihat puas melihat hasil jepretan, saya tinggalkan mereka untuk menjelajahi sejumlah sudut Kampung Cakrawala.

Secara administratif, Kampung Cakrawala masuk dalam wilayah Desa Perbawati, Kecamatan Sukabumi, Kabupaten Sukabumi. Desa Perbawati sendiri merupakan hasil pemekaran wilayah Desa Karawang. 

Sebagai kawasan outbound dan camping ground, Kampung Cakrawala sudah ada sejak tahun 2001. Namun, kemudian sempat terbengkalai selama beberapa tahun lamanya. Setelah direvitalisasi, baru pada tahun 2019, kawasan ini kembali dibuka untuk wisatawan.Lokasinya yang persis berada di kaki Gunung Gede—Pangrango menjadikan udara di Kampung Cakrawala demikian sejuk sehingga benar-benar pas buat kalian yang hobi ngadem sembari menikmati nuansa alam pegunungan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu

Tinggalkan Komentar