Kumandang Magrib hari itu (23/11/2024) membawa serta kabut dan keheningan. Seakan mengingatkan Festival Kolaborasi Fakultas Bahasa Seni dan Budaya Universitas Negeri Yogyakarta (FBSB UNY) 2024 untuk sejenak mengambil jeda. Sebab, hujan deras kian menipis, perlahan menjelma gerimis hingga menyisakan renyai saja. 

Pembawa acara mengajak genap penonton untuk istirahat, sholat, dan makan (ishoma). Setelah ini Majelis Al-Lobyu tampil. Alangkah baiknya kalau kita mendirikan salat dulu, katanya. 

Diam-diam saya teringat malam menjelang larut yang tidak begitu jauh. Sekitar tiga hari sebelumnya, di Pendopo Tedjokusumo FBSB. Ada beberapa anak kecil sedang bermain game daring sambil mengepulkan asap rokok. Terka saya, mereka adalah bocah-bocah Karangmalang sini.

Saat saya goda dengan ancaman melaporkan kepada orang tua mereka, bocah-bocah itu santai saja. Kami sudah boleh merokok, kok, Mas—begitu alasannya. Kalau boleh, kenapa merokok di sini, bukannya di rumah, tanya saya. Bosan, Mas, jawab mereka enteng.

Di situ, saya anjurkan mereka untuk datang ke acara Festival Kolaborasi beberapa hari lagi. Tetapi di luar dugaan, mereka menjawab, “Halah, paling juga gitu-gitu aja.”

Malam menjelang larut. Langit sepi bintang, digantikan titik-titik rokok bocah-bocah Karangmalang yang berbaris seperti seribu kunang-kunang.

Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi
Penampilan Majelis Al-Lobyu. Kami Al-Lobyu, kalian Allobyutu!/Abdillah Danny

Majelis Al-Lobyu: Sejarah Singkat untuk Napas yang Semoga Panjang

Irsyad Qalbi adalah mahasiswa Sastra Indonesia semester lima. Asalnya dari Bima, Nusa Tenggara Barat. Jauh-jauh dia datang demi menimba ilmu. Sungguh semangat yang patut kita jadikan teladan.

Pagi itu dia masih terlelap tidur saat panitia menghubunginya untuk berkumpul di Pendopo Tedjokusumo. Ini terkait Festival Kolaborasi, kata mereka.

Maka begitu bangun, dengan segenap ketegaan dia memaksa Astrea tuanya membelah jalanan Godean menuju kampus. Di sana, sudah ada mahasiswa-mahasiswa lain. Di situlah Irsyad tahu, sekali ini KMSI (Keluarga Mahasiswa Sastra Indonesia) akan berkolaborasi dengan HIMA PBSI (Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia), dan UKMF Al-Huda (ini semacam takmir masjid fakultas begitu).

Singkatnya, Irsyad bersama Sasmita Musik (salah satu divisi dalam KMSI), yang beberapa kali memproduksi musikalisasi puisi, akan disuruh berkolaborasi dengan PBSI dan Al-Huda. Pihak panitia Festival Kolaborasi tentu akan mensponsori penuh proses musikalisasi puisi yang telah direncanakan itu, terlepas akan mengerjakan ulang (remastered) atau menciptakan yang baru nantinya. Meski ini adalah kolaborasi yang melompat-lompat, Irsyad cenderung menyikapinya sebagai tantangan, serta sesekali jebakan.

Di situlah Irsyad menghubungi saya, begitu pula kawan-kawan lainnya. Sehingga terhitung proyek tersebut beranggotakan sekitar dua puluhan orang.

Secara tidak langsung dan malu-malu, kami mengangkat Irsyad menjadi semacam ketua regu. Irsyad yang terlihat sudah capek dengan hal-hal seperti ini, mau-mau saja. Dia lantas membagi proses kami menjadi: (1) pemilihan puisi, (2) pembedahan puisi, dan (3) pengerjaan lagu.

Setelah proses diskusi yang alot, kami menyetujui untuk memproduksi musikalisasi puisi yang baru. Terpilihlah dua pilihan puisi: Taharah (Soni Farid Maulana) dan Nisan (Chairil Anwar). Berlanjutlah kami membedah puisi tersebut bersama-sama, guna menyepakati bentuk seperti apa yang mesti dilakukan nantinya.

Proses tersebut berlangsung kurang lebih satu setengah bulan. Di sela-sela kepadatan itu, beberapa kali terjadi kesalahpahaman, sehingga bentuk hadrah yang telah kami sepakati sebelumnya terkendala di alat. Alhasil, karena ada koneksi menuju Ponpes Al-Munawwir, alat-alat pun dipinjam dari sana. Untuk hal itu, kami ucapkan terima kasih banyak kepada Kang Muj dan segenap keluarga besar komplek Madrasah Huffadh 2, Al-Munawwir.

Saat Festival Kolaborasi kurang sepekan lagi, kami baru menyadari suatu hal yang luput. Adalah nama grup yang belum kami pikirkan. Beberapa nama sempat muncul, seperti “Nurul FBSB”, “Mafia Puisi”, hingga disepakatilah suatu nama, yakni “Majelis Al-Lobyu”.

Di hari acara, saat jeda Magrib, saya pandangi satu per satu penonton. Ada kawan, saudara, dan beberapa kerabat. Tetapi hati saya baru sumringah ketika bocah-bocah Karangmalang tempo hari ikut menonton, meski di pojok agak belakang.

Maka langsung saja, begitu selesai ishoma, Majelis Al-Lobyu mulai beraksi. Pembawa acara berteriak, “Takbir!” yang kemudian diikuti “Allahu Akbar” oleh para penonton.

  • Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi
  • Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi

Sebuah Jalan Lain

Sebenarnya, mungkin telah ada banyak jenis grup musik maupun solois yang menyanyikan puisi. Mulai dari folk hingga rap, semuanya nyaris lengkap.

Sebagai pembuka, dinyanyikanlah Taharah (Soni Farid Maulana) dengan format gitar, gitar listrik, keyboard, floor, simbal, satu vokalis utama, dua backing, serta darbuka. Secara sengaja kami membagi lagu menjadi semacam tiga babak. Untuk mendengarnya lebih lanjut, silakan pula mengunjungi pranala ini.

“Hati yang karam ke dasar malam, betapa sulit dijangkau!”

Kemudian hadrah. Hadrah, atau beberapa orang menyebutnya dengan format Al-Habsyi: empat rebana, satu darbuka, satu bas, satu tam, satu vokalis utama, dan tiga backing, adalah sungguh hal yang cukup menarik. Dengan konsep yang matang dan pertimbangan yang setengah main-main setengah serius, puisi Nisan dari Chairil Anwar menapaki nada-nada selawat yang tak asing di telinga khalayak. Dibantu oleh pembagian lirik yang telah dilakukan di awal, penonton ikut bernyanyi sambil mengeja pelan-pelan. Untuk mendengarnya lebih lanjut, silakan pula mengunjungi pranala ini.

“Bukan kematian benar menusuk kalbu!”

Saat malam benar-benar telah larut, sementara lampu-lampu masih mengerlipkan cahayanya untuk para penampil lain, saya melipir menuju Pendopo Tedjokusumo. Di sana saya menyalakan rokok pertama saya di hari itu. Sembari menikmati turunnya keringat dari pelipis yang perlahan-lahan mencium bumi.

Majelis Al-Lobyu dan Jalan Lain Menyanyikan Puisi
Bocah-bocah Karangmalang, kaliankah itu?/Abdillah Danny

“Mas!” 

Bocah-bocah Karangmalang itu. Mereka menghampiri saya, tetap dengan rokoknya. Mereka menebar senyum, sambil meminta rokok saya yang kebetulan lebih enak. Seakan senyuman tersebut adalah pembatalan untuk “Halah, paling juga gitu-gitu aja”-nya kemarin hari.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar