Hujan yang turun pagi itu sepertinya sedang mengolok-olok. Di saat Jakarta mulai dipanggang matahari, rintiknya justru mengingatkanku pada impian bertahun-tahun yang masih tersimpan rapi: merasakan musim dingin di negeri empat musim. Sebenarnya bisa saja aku menabung lebih lama untuk terbang ke Swiss, atau negara-negara lain di Eropa. Namun, dengan inflasi yang tidak kenal ampun, bisa-bisa kenaikan tabunganku kalah cepat dengan harga tiket pesawat. Dan di sinilah aku, menatap tetesan hujan sambil berpikir: kalau tidak bisa ke negeri bersalju, kenapa tidak membawa salju ke hadapanku saja?

Jariku bergerak membuka aplikasi pemesanan tiket daring di ponsel. Seolah alam semesta sedang berbaik hati, ada potongan harga 55% untuk Trans Snow World Bintaro, Tangerang Selatan. Mungkin ini pertanda bahwa mimpi bermain saljuku tak perlu menunggu sampai dompet pensiun, atau lebih tepatnya, sebelum kartu kreditku pensiun bulan depan.

Pukul 10.49 WIB, setelah menyelesaikan ritual beres-beres ala mama—rezeki tidak datang ke rumah yang berantakan!—aku dan pacarku Pras bergegas keluar. Sarapan yang menyasar jam makan siang—atau sebut saja brunch versi warteg—kuhabiskan dengan semangkuk soto ayam. Aku mengeluarkan jaket kuning tebalku yang biasanya hanya jadi penghias lemari, mengabaikan pandangan mengejek dari orang-orang di sekitarku. Yang mereka tidak tahu, aku sudah menghabiskan semalaman menonton vlog pengunjung Trans Snow World. Berlebihan? Mungkin. Tapi, hei, aku lebih suka menyebutnya ‘persiapan matang.’

Lobi Trans Snow World di dalam Transpark Mall Bintaro menyambut dengan embusan AC, yang seolah berlatih jadi angin musim dingin. Kami mengantre di depan loket untuk memperoleh tiket masuk dengan harga Rp310.000 untuk dua tiket—harga yang membuatku berpikir apakah ini salju premium yang diimpor langsung dari Kutub Utara. Toko perlengkapan di sebelah loket tiket memajang jaket-jaket tebal dengan label harga yang membuatku menelan ludah: Rp599.000. Topi dan sarung tangan, masing-masing Rp49.000, seperti menertawakan tabungan yang sudah susah payah kukumpulkan.

Namun, logikaku bekerja cepat membenarkan pengeluaran ini. “Masih lebih murah dari visa Schengen,” bisikku pada dompet yang mulai menipis.

Perlengkapan Musim Dingin ala Mal Bintaro

Proses persiapan berlanjut dengan mencoba sepatu bot. Saat mengantre di konter, aku memerhatikan beragam ekspresi pengunjung yang mencoba sepatu—ada yang meringis karena kebesaran, ada yang berjalan seperti pinguin karena belum terbiasa. Aku maju dengan percaya diri dan meminta ukuran 9.0, berharap tidak mempermalukan diri sendiri di depan petugas yang sudah pasti bosan melihat tingkah pengunjung pemula sepertiku.

“Plot twist” pertama datang saat mengetahui sepatu bot tidak dilengkapi kaus kaki—sebuah kejutan yang membuatku teringat iklan lawas: “Ada yang kurang? Beli lagi!” Terpaksa merogoh kocek tambahan Rp10.000 untuk sepasang kaus kaki. Aku memilih yang abu-abu, Pras hitam—kombinasi warna seperti Yin dan Yang. “Matching couple socks dengan budget terkontrol,” candaku.

Tiket kami sudah termasuk jam pengingat yang terlihat seperti smartwatch versi ekonomis, sepatu bot, dan tiket kereta gantung yang entah kenapa ada di tengah mal. Loker seharga Rp50.000—cukup untuk membeli dua puluh porsi pisang goreng di depan kompleks rumah—menjadi tempat penitipan tas kami sebelum bergegas menuju pintu masuk wahana. Beberapa pengunjung lain yang tadinya mengejek jaket tebalku kini mulai memeluk diri sendiri begitu pintu terbuka. “Siapa yang terakhir tertawa sekarang?” bisikku penuh kemenangan dalam hati.

Begitu melangkah ke area utama, sensasi dingin langsung menyapa tanpa “permisi” atau “shalom”. Rasanya seperti membuka freezer raksasa, bedanya kali ini aku yang masuk ke dalamnya. Yang paling menakjubkan adalah melihat uap napas sendiri mengepul di udara—sesuatu yang selama ini kukira hanya ada di drama Korea atau efek CGI murah. Berkali-kali kuembuskan napas dengan dramatis, sampai rasanya seperti naga yang sedang flu berat.

Bukit Salju dan Sensasi “Swiss Alps” 4 Meter

Di tengah wahana, salju buatan turun perlahan bagai konfeti pesta pernikahan yang diputar slow motion. Aku berlari menghampirinya dengan semangat berlebih, membiarkan butiran-butiran putih itu menari di atas jaket tebalku. “Akhirnya, momen yang kutunggu-tunggu!” teriakku girang, mengundang tatapan geli dari pengunjung lain. Sensasi dingin yang menggelitik ini membuatku tertawa lepas—persis seperti anak TK yang baru pertama kali melihat badut ulang tahun.

Di sekeliling, anak-anak berlarian mengumpulkan salju sambil berteriak “Dingin! Dingin!”—sebuah observasi yang sangat akurat dan tidak terbantahkan. Sementara itu, aku sibuk berpose dengan snowman yang berdiri kokoh di sudut arena. Dia terlihat sedikit bosan dengan pekerjaannya yang monoton: berdiri diam sepanjang hari dengan senyum permanen yang sepertinya dipasang setengah hati.

Di puncak bukit salju buatan, jiwa penggemar Disney-ku tak terbendung. Tanpa peduli pandangan sekeliling, aku menyanyi Let It Go lengkap dengan koreografi seadanya. “The cold never bothered me anyway!” teriakku dramatis, minus gaun biru berkilau dan kepang pirang ala Elsa.

Pengunjung lain pura-pura tak melihat—terlalu sibuk dengan kebahagiaan mereka sendiri. Pasangan muda bergandengan tangan mengabadikan momen, keluarga dengan anak-anak kecil bermain lempar salju, dan beberapa pengunjung solo asyik berfoto. Bukit ini seolah jadi studio foto dadakan, tempat berbagi tawa dan swafoto bergantian. Ekspresi takjub yang sama terlukis di wajah setiap orang, seolah kami semua sedang mewujudkan mimpi kecil tentang salju di tengah kota tropis.

Panel digital menampilkan angka 9 derajat Celsius, membuatku menepuk jaket tebal dengan bangga. Interior wahana ini memang totalitas: rumah-rumah bergaya Eropa berjajar rapi dengan atap tertutup salju, menciptakan ilusi desa musim dingin yang nyaris sempurna. Nyaris—karena alunan Aku Ra Mundur yang merembes dari toko sebelah menyadarkanku bahwa aku masih di tanah air. Tapi, hei, kapan lagi bisa main salju diiringi dangdut koplo? Mungkin inilah yang namanya wisata crossover: Swiss-Jawa dengan sentuhan Mal Bintaro.

Sorotan utama petualangan datang saat menaiki kereta gantung yang membawa kami setinggi 4 meter. “Cuma empat meter, sih, tapi anggap saja sedang di Swiss Alps,” gumamku pada diri sendiri sambil tersenyum. Tujuh sampai sepuluh menit perjalanan terasa seperti roller coaster versi santai—cukup lama untuk memenuhi galeri foto, terlalu singkat untuk benar-benar menikmati pemandangan, tetapi pas untuk pamer di Instagram.

Mendadak Main Salju di Trans Snow World Bintaro
Foto terakhir di depan konter pencetakan foto/Intan Idaman Halawa

Bakso Premium dan Jam Pengingat

Setelah petualangan di “negeri salju”, kami menghangatkan diri dengan semangkuk bakso. Meski harganya Rp75.000 untuk satu porsi dan sebotol air mineral—harga yang membuatku yakin bahwa ini adalah bakso dengan bumbu salju impor—kehangatan kuahnya tak ternilai setelah bermain di suhu rendah. Mungkin ini bakso termahal yang pernah kumakan, tetapi setidaknya bisa menikmatinya dengan pemandangan salju.

Jam pengingat di pergelangan tangan menjadi penanda waktu yang tersisa, dengan sistem warna yang mengingatkanku pada lampu lalu lintas: biru (lebih dari 10 menit), hijau (10 menit), kuning (5 menit), dan merah (habis). Ada denda Rp150.000 jika melewati batas waktu, sebuah motivasi yang sangat efektif untuk bergerak lebih cepat.

Saat keluar, kami melewatkan tawaran paket foto yang harganya mulai dari Rp350.000 hingga di atas satu juta—dengan harga segitu, kurasa lebih baik disimpan untuk beli tiket ke Jepang beberapa tahun ke depan. Meski begitu, ponselku sudah penuh dengan foto-foto yang mungkin tidak seprofesional fotografer resmi, tetapi setidaknya gratis dan penuh dengan tawa asli.

Dua jam di Trans Snow World mungkin tidak sebanding dengan pengalaman musim dingin yang sesungguhnya. Namun, setidaknya untuk sementara, rasa penasaranku tentang salju sudah terobati. Lagipula, di mana lagi kau bisa merasakan sensasi musim dingin sambil makan bakso? Mungkin ini yang dinamakan winter wonderland versi Indonesia—tidak perlu paspor, tidak perlu visa, cukup modal nekat dan kartu kredit yang masih dalam limit wajar.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar