Mengandalkan ingatan, siang ini saya cukup percaya diri menjadi pengganti Google Maps, dan mengarahkan Nu’—sobat jalanku, yang berkendara pelan dan selalu hati-hati, melaju menyusuri sepanjang Jalan Ratulangi. Berhenti sejenak di lampu merah, lalu belok kiri ke Hj. Bau, menuju Arief Rate, dan melewati Taman Segitiga yang sepi. Makassar memang sedang terik, dan siapa juga yang mau duduk di taman minim pohon, serta berisik lalu lalang kendaraan di jalan raya yang semrawut. Apalagi jika tenggorokan kering karena ikut puasa. 

Misi saya hari ini, menuntun Nu’ dan motornya tiba dengan selamat di Toko Buku Detakata yang berlokasi di Jalan Boto Lempangan No 57.

Tidak jauh dari taman, kami mengambil jalan belok kanan dua kali, dan berhenti tepat di depan sebuah bangunan bergaya modern. Dengan penanda di atasnya bertuliskan Bothlaim Space, dan beberapa usaha jejaring yang bernaung di bawah atapnya.

Sudah benar ini tempatnya.

Detakata yang akan kami tuju, berada di salah satu pintu ruangan kecil di lokasi ini. Tapi, kami sedikit bingung mengenai parkiran. Akhirnya saya bertanya pada seorang yang kebetulan berada di jalan masuk, “parkirnya di mana?” dan ia menjawab, “Iya di situ.”

Di situ yang dia maksud adalah parkir di bahu jalan.

Saya yakin, dengan ketenaran dan niat orang-orang nongkrong di banyak pilihan space instagramable-nya, parkir on street ini akan sangat padat. Tapi ya sudahlah, toh parkiran seperti ini ada banyak.

Toko Buku Detakata
Space Baku Tukar Artani/Aul Miftah

Setelah mengamankan helm di tempat helm, kami mampir sebentar ke Toko Curah Artani. Masuk melalui pintu utama, yang ternyata adalah kafe, dengan orang-orangnya yang sibuk membersihkan sebelum menemui para pelanggannya. Tepat di sebelah kanan, tidak jauh dari pintu utama, sebuah pintu geser membawa kami terhubung ke Artani. 

Singkat saja, dan kami telah bertukar sapa, juga berbagi informasi seputar daun mint, sereh kering, oregano, serta teh hijau dengan dua penjaga Toko Artani. Sambil menyerahkan beberapa buku untuk kegiatan baku tukar. 

Jadi, buku-buku dan pakaian yang saya bawa, akan memperoleh kancing. Kancing yang menjadi tiket untuk ditukar dengan buku atau pakaian milik orang lain. Semacam berburu thrift, tapi tanpa mengeluarkan uang. Hanya barang yang ditukar dengan barang layak pakai lainnya. Dan, saya telah mendapatkan bacaan juga pakaian baru, tanpa perlu menumpuk yang sudah jarang terpakai di rumah.

Karena waktu sudah menunjukkan pukul 14.00, saya dan Nu’ bergegas menuju Detakata untuk kegiatan selanjutnya. Detakata berada di belakang Artani. Hanya butuh beberapa langkah, dan mata sudah bisa menjangkau seluruh ruangannya yang tidak seberapa luas, melalui pintu dan jendela kaca yang transparan. 

Di dalam, sudah ada beberapa orang yang duduk menunggu agenda main-main. Kami akan meluangkan waktu sampai sore nanti untuk membuat pembatas buku bersama Kairascraft. Bahannya dari herbarium. Koleksi spesimen tumbuhan utuh atau bisa berupa bagian tumbuhan yang diawetkan. Mulanya herbarium digunakan untuk keperluan penelitian ilmiah, dan media belajar klasifikasi tanaman. Tapi, karena ada peluang cuan dan ramai peminatnya, perlahan herbarium mulai dijadikan aksesoris estetik. 

Ada banyak macam bunga yang disediakan Kaira. Bunga-bunga yang ia keringkan dengan cara dibungkus tisu, lalu menyembunyikannya di antara halaman-halaman buku. Mulai dari tanaman paku, daun paria, ilalang, sampai edelweis juga ada.

Saya baru tahu, edelweis ternyata sudah menjadi komoditi juga. Bisa dibeli secara resmi di Desa Wisata Edelweis Wonokitri, yang berada di pintu masuk kawasan Gunung Bromo. Harganya entah berapa. Selain tanaman, ada juga kupu-kupu yang diawetkan. Kalau kupu-kupu ini, di Bantimurung, Maros, tempatnya. Cantik. Tapi, agak aneh di mata saya yang lebih suka melihat kupu-kupu hidup dan terbang. 

Agenda Bikin-bikin pembatas buku pun dimulai. Intim, karena terbatas hanya untuk sepuluh peserta. Ali dan Najwa jadi peserta paling lucu, muda, dan bersemangat. Di atas kertas laminating, isi kepala dan perasaan disulap menjadi karya pembatas buku yang rupa-rupa warnanya. 

Macam-macam herbarium saling berpadu. Bertemu juga dengan sayap kupu-kupu. Dan tulisan tangan untuk mengabadikan momen.

Detak dan Kata

Meski sempat ada drama mati lampu, dan adegan mencungkil mesin laminating pakai obeng, karena ada-ada saja pembatas buku yang menolak keluar. Bikin-bikin ini tetap menyenangkan. Dan semua orang punya pembatas buku hasil tangannya sendiri.

Membuat pembatas buku, tentu saja harus ada bukunya. Makanya secara bergiliran, setiap individu yang ikut main-main tadi, menceritakan alasannya memilih satu buku berjudul apa saja yang mereka ajak berpetualang ke Detakata.

Jihan membawa Wonderful Life karya Amalia Prabowo. Buku bersampul biru cerah yang menceritakan tentang anak disleksia, yang tidak hanya sulit melafal kata dan merangkai kalimat, tapi juga susah membaca, menulis, dan berhitung. Tapi, malah membuat orang tuanya menemukan dunia yang penuh warna, imajinasi, dan kegembiraan. Kata Jihan, buku ini menjadi motivasinya kuliah jurusan Pendidikan Khusus. 

Di antara banyaknya pilihan buku, ada satu buku yang berkesan bagi pembacanya. Dan secara ajaib mampu mengubah cara melihat sesuatu, bahkan dunia. Pikiran semacam itulah yang melahirkan nama Detakata.

Detak yang identik dengan tanda kehidupan, bersanding dengan kata. Kata yang bisa saja ada karena perasaan marah, sedih, senang, bingung, kritis, bahkan mungkin mabuk. Segala persoalan hidup yang menjadi huruf-huruf di kertas, dibawa ke mana saja, menghuni rak buku, dan bertemu dengan pembaca. 

Detakata berharap seperti itu dari namanya. 

Detak Kedua

Dan ya, dari apa yang saya temui di kunjungan pertama, banyak kata-kata berseliweran di tempat ini. Ulasan buku dari kawan ke kawan. Rekomendasi bacaan tentang pangan lokal. Sampai obrolan tentang jalur transportasi umum yang ternyata cukup murah, tapi mulai sepi pengguna. Beda dari awal-awal mereka beroperasi karena masih gratis.

Berkunjung ke Detakata tidak melulu berarti harus jajan buku. Kamu yang ngiler melihat banyak buku baru yang menggoda untuk dibaca, tapi berat di dompet, mungkin bisa ikut program Detak Kedua dulu.

Mengantar buku-buku lamamu yang hanya nangkring di rak buku, dan sudah tidak mau kamu baca berulang kali, untuk bertemu pemilik barunya di Detakata. Detak Kedua akan menampung dan mempertemukan buku-buku lamamu di sebuah rak khusus. Dan melabeli mereka dengan harga yang sudah kamu tentukan. 

Mereka menerima buku milikmu pada setiap Jumat dan Minggu. Dan akan menghubungimu jika lolos kurasi. Lalu melaporkan hasil penjualan bukumu jika laku. Selambat-lambatnya 30 hari setelah bukumu menghuni Detakata.

Udah. Kamu bisa membeli buku baru dengan hasil penjualan buku lamamu. Jika tidak laku? Keputusan ada di kamu. Mau tetap menyimpannya atau membawanya pulang kembali bersamamu. Lalu, mulai menabung untuk membeli buku baru idamanmu. Seperti saya yang akan bersabar menabung lebih lama, sampai bisa menjemput semua buku bertema pangan lokal di Detakata. hihi..

Klub Buku dan Diskusi Buku Momentum

Detakata bisa menjadi tempat melepas diri dari jam-jam siang yang sibuk. Jalanan yang sengkarut, yang membuat hampir semua orang berkerut dan saling klakson. Menepi sebentar untuk mencari kawan diskusi buku yang sudah banyak kamu baca juga bisa. Karena mereka juga punya klub buku.

Tapi, untuk bisa terhubung di jaringan telekomunikasinya, kamu sebaiknya ikut diskusi luringnya lebih dulu. Lagi-lagi, pesertanya terbatas hanya sepuluh orang. Agar diskusi bisa lebih dekat, dan semua individu dapat bagian bercerita. 

Klub bukunya bakal membahas satu buku yang disepakati sama-sama. Dibaca dulu terus ketemu lagi untuk saling bertukar opini di waktu yang sudah ditentukan. Tapi, kalau kamu mau temanya yang lebih bebas, kamu bisa ikut diskusi buku momentumnya. 

Akhirnya, meski baru berusia dua bulan, Detakata hampir selalu hidup dan berdetak setiap hari menyambut para pengunjung barunya. Mendengar cerita mereka, dan kadang-kadang malah masuk feed Instagram-nya. Tidak perlu malu-malu buat mampir. Bulan puasa begini juga enak buat ngabuburead. Mereka buka pukul 13.00-21.00 WITA.

Saat saya tanya, kenapa bukanya siang? Katanya sih tidak ada alasan khusus. Tapi ya cukuplah, delapan jam kerja.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar