TRAVELOG

Kopi Pakpos Toegoe: Dari Film Horor ke Kedai Kopi

Malam telah tiba di Yogyakarta. Sekitar pukul 21.00, bersama pacarku, kami mengitari kota kecil nan padat yang konon romantis. Bergegas dengan sepeda motor, di bagian belakang menoleh ke kanan dan kiri, “Yogyakarta sangat penuh dengan coffee shop,” batinku. Tempat-tempat itu selalu terbuka dari pagi hingga dini hari menyambut muda-mudi pendatang yang siap menambah kemacetan seperti kami. 

Dari puluhan atau bahkan mungkin ratusan coffee shop di Yogyakarta, pacarku memilih berhenti di sebuah bangunan kuno di dekat Tugu Jogja (dikenal juga Tugu Pal Putih atau Tugu Golong Gilig) yang katanya berjualan kopi. Tak begitu terlihat langsung dari jalan raya sehingga kami harus berjalan dengan hati-hati. Bangunan itu tampak bergaya indis bertuliskan ‘Kopi Pakpos Toegoe’, bersebelahan dengan kantor pos kecil yang rupanya masih beroperasi.

“Itu Mas Helmy (owner Kopi Pakpos),” bisik pelan pacarku menunjuk pria paruh baya yang turun dari sebuah mobil putih. Rupanya mereka sudah membuat kesepakatan untuk bertemu di tempat ini.

Kopi Pakpos Toegoe: Dari Film Horor ke Kedai Kopi
Fasad indis Kopi Pakpos Toegoe Yogyakarta/Finariyah

Kopi Pakpos Yogyakarta dan Koleksinya

Tak terlalu ramai, hanya beberapa orang duduk di sana saling berbincang, membaca buku, atau sekedar memandang layar laptop. Terhalang dinding kaca yang cukup besar, buku-buku terlihat memenuhi rak di dalamnya. Berjalan masuk, ada tiga ruang: outdoor, indoor smoking dan non-smoking. Ruangan itu dipenuhi barang-barang kuno, seperti gilingan kopi dan hiasan piring keramik Belanda. Namun, satu yang langsung menarik sorot pandangku, buku orisinal Max Havelaar karya Multatuli terpampang dalam sebuah hiasan kaca di dekat pintu masuk.

Kami berjalan mendekati bagian pemesanan. Selain kopi susu kelapa yang menjadi signature-nya, makanan-makanan khas Belanda juga turut mengisi buku menu, seperti bitterballen—kroket tapi berbentuk bulat. Tak mau kalah saing, berbagai menu makanan lokal juga perlu dipertimbangkan. Nasi goreng dengan campuran rempah khas Indonesia seperti kecombrang juga tak boleh dilewatkan. 

Setelah memesan dan berdiskusi panjang, kami memutuskan duduk di ruang indoor smoking. Ruangan itu memiliki satu meja oval besar dengan berbagai hiasan dinding. Di sana, kedua pria itu mulai menyesap rokok linting dengan tembakau yang dibawa pacarku dari kampung halamannya, Temanggung. Sementara aku duduk menyesap manisnya jus mangga sembari membaca skandal kayu manis Columbus dalam buku Sejarah Rempah: Dari Erotisme sampai Imperialisme karya Jack Turner yang kuambil dari rak buku Kopi Pakpos.

Seolah berada dalam sebuah konferensi meja lonjong, kami juga sedikit berbincang-bincang. Ditemani lagu Geef Mij Maar Nasi Goreng dari suara merdu Wieteke Van Dort, Mas Helmy menunjuk sebuah hiasan dinding berupa poster dan rokok kuno. “Kuwi tak gowo seko Temanggung, Ga, wis longko (itu aku bawa dari Temanggung, Ga [memanggil pacarku], sudah langka),” ujar Mas Helmy. Ia menyebut beberapa keramik hiasan dinding peninggalan era Hindia Belanda yang dipajangnya bahkan dibawa langsung dari Belanda.

  • Kopi Pakpos Toegoe: Dari Film Horor ke Kedai Kopi
  • Kopi Pakpos Toegoe: Dari Film Horor ke Kedai Kopi

Riwayat Kantor Pos di Yogyakarta

Aku menutup buku dan mulai tertarik pada perbincangan. “Fina, kamu juga harus ke Kopi Pakpos Nol KM, di sana ada karung pos dari era Hindia Belanda dan koleksi kuno lainnya,” ucapnya. Ia juga menyebut di sana coffee shop-nya lebih luas, bersebelahan dengan Kantor Pos Besar Yogyakarta.

Dilansir de Sumatra post edisi 30 Mei 1901, satu tahun sebelumnya sebuah kantor pos baru telah dibuka di Yogyakarta. Bangunannya dirancang oleh Dewan Pengelolaan Air dan diberikan kepada kepala residen, sebelum akhirnya dikirim ke kantor utama post en telegraafdienst di Batavia. Namun, rancangan itu dirombak total guna pemotongan biaya seperti yang dilakukan pejabat Indonesia pada umumnya kini. Kantor pos itu memiliki dua loket yang terlalu berdekatan dengan ruang memproses surat yang tidak memadai. Sementara itu manajer duduk terpisah dari staf lain sehingga tidak memperhatikan kondisi yang terjadi. Akibatnya, kantor pos ini terus menelan banyak biaya untuk perbaikan karena tidak memenuhi persyaratan untuk menangani surat-surat yang masuk.

Renovasi terus terjadi hingga tercatat dalam Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 29 November 1912, dana sebesar 90.000 gulden telah dialokasikan untuk pembangunan post-telegraaf en telefoon kantoor baru di Yogyakarta. Jumlah itu bahkan tidak termasuk biaya pembangunan tempat tinggal untuk manajer kantor. Dengan biaya fantastis, sebuah kantor besar dan rapi dapat berdiri dan memperindah Yogyakarta.

Kopi Pakpos Toegoe: Dari Film Horor ke Kedai Kopi
Kantor Pos Yogyakarta sekitar tahun 1910/KITLV

Sejatinya kantor pos Yogyakarta adalah salah satu kantor pos penting di tanah Jawa pada awal keberadaan pos di Hindia Belanda. Ketika jalur kereta api Semarang–Cirebon ditutup, surat dari Semarang menuju Batavia Centrum harus dialihkan melalui Yogyakarta. “Staf kantor pos Yogyakarta secara otomatis bekerja siang dan malam selama penutupan (jalur kereta api Semarang–Cirebon) itu berlangsung,” dikutip dari Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie, 2 Februari 1934.

Meski masih memiliki kekurangan seperti penyusunan buku dalam rak yang tidak diklasifikasikan berdasar genre, Kopi Pakpos tetap menarik, bukan? Alih-alih mengambil bangunan kuno untuk latar film horor seperti yang sedang tren, Mas Helmy memilih membuka coffee shop untuk mengenalkan bangunan itu kepada kalangan masyarakat. Meski harus merogoh kocek cukup dalam, beliau masih terus mencari barang-barang kuno untuk disimpan di sana. Kopi Pakpos bukan sekedar kedai kopi biasa, melainkan sebuah jembatan pembelajaran bagi sejarah Indonesia.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Finariyah

Fina tinggal di Temanggung. Gemar menyelami arsip kuno yang membawanya kini menjadi pekerja (dipaksa) kreatif.

Finariyah

Fina tinggal di Temanggung. Gemar menyelami arsip kuno yang membawanya kini menjadi pekerja (dipaksa) kreatif.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Mengisi Jeda di Ngada