Siapa sangka, jauh di timur Indonesia, di antara ombak lautan yang terus menghantam karang dan angin yang membawa aroma laut, ada sebuah kepulauan yang jarang terdengar namanya: Kepulauan Babar, Maluku Barat Daya.
Pulau Babar mungkin bukan destinasi wisata yang sering muncul di feed Instagram atau masuk dalam daftar rekomendasi travel blogger. Namun, kalau kita bicara tentang sejarah panjang, warisan budaya yang masih bernapas, serta realitas hidup yang lebih keras dari sekadar kata “hidden gem”, maka Letwurung dan Emplawas—dua desa di pulau ini—adalah tempat yang wajib disinggahi.
Perjalanan ke sana juga lebih dari sekadar jalan-jalan biasa. Ini bukan tentang mencari spot foto estetik atau berburu kuliner viral. Ini adalah perjalanan untuk memahami bagaimana masyarakat desa ternyata dapat menjaga cerita leluhur, bertahan dengan apa yang mereka miliki, dan menghadapi tantangan zaman modern yang datang begitu saja tanpa permisi.
Tentu saja, perjalanan ini tidak melulu soal romantisasi tradisi. Masih ada fakta pahit yang sulit dihindari.
Fakta Pahit di Desa Letwurung dan Emplawas
Dua desa tersebut seperti dua sisi mata uang. Letwurung merupakan kampung lama yang masih dianggap sakral, sedangkan Emplawas menyimpan kisah panjang para leluhur ketika berjuang mempertahankan tanah mereka sejak masa penjajahan.
Keduanya punya cerita yang jauh lebih kompleks daripada sekadar keindahan alam yang sering dipuja-puja di brosur wisata. Di Letwurung, misalnya, sejarah berbisik dari sumur tua yang masih berdiri kukuh. Kampung lama, yang dulunya jadi pusat kehidupan marga-marga asli, kini menjadi situs sakral yang tak boleh sembarangan diusik.
Sementara itu, di Emplawas, warisan yang paling nyata bukan hanya sejarah perlawanan melawan penjajah, melainkan bagaimana masyarakatnya bertahan dengan sumber daya yang mereka miliki. Air bersih? Harus mencari ke mata air atau sumur yang sudah ada sejak entah kapan. Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti PAMSIMAS (Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat), yang diharapkan bisa menjadi solusi, hanya jadi saksi bisu bahwa tidak semua janji pembangunan berakhir bahagia.
Di Letwurung dan Emplawas, kesehatan tidak hanya menjadi urusan medis formal. Ketika hipertensi, kolesterol, dan asam urat datang tanpa undangan, tanaman herbal hadir sebagai penyelamat.
Namun, terlepas dari semua tantangan itu, Letwurung dan Emplawas tetap punya daya tarik yang tidak bisa ditemukan di tempat lain. Bukan bangunan tinggi atau wisata komersialnya, melainkan karena mereka menyimpan kisah yang seharusnya tidak boleh hilang.




Dari kiri bawah, searah jarum jam: Bentuk rumah adat di Desa Letwurung. Informasi pendirian bangunan rumah adat pada tahun 1906. Kawasan kampung lama di Desa Letwurung. Peninggalan sumur tua di kampung lama/Hera Ledy Melindo
Tantangan Kesehatan di Desa Letwurung
Kisah di Desa Letwurung mungkin tidak banyak diketahui orang, meski lebih dalam daripada omongan penduduk tentang gosip dunia. Letwurung lebih dari sekadar perkampungan yang dilindungi oleh sejarah panjang.
Di desa ini terdapat sumur tua hingga sisa-sisa kampung lama yang masih berdiri kukuh. Seolah menceritakan masa lalu ketika marga asli penduduknya bertahan di sini, meskipun sebagian sudah menyebar ke desa lain.
Kampung lama di Maluku Barat Daya (MBD) umumnya disebut dengan sebutan dusun atau kampung adat lama, sebelum masyarakat masing-masing desa di setiap pulau bermukim saat ini. Rentang waktunya cukup panjang, hingga sekitar satu abad.
Setelah itu orang MBD telah berpindah dari beberapa kampung lama sebelum ke kampung baru sekarang. Tonggak perpindahan tersebut terjadi karena adanya perang, menghindari bencana, atau adaptasi agroekologi sesuai kedekatan dengan sumber daya mereka.
Kampung lama ini bukan hanya sekadar situs bersejarah, melainkan bagian dari jiwa desa yang harus dijaga dan dihormati. Seperti kata orang tua, “Setiap kampung ada penghuninya, jangan sampai diganggu.”
Kampung lama sebenarnya terdapat di setiap desa di Pulau Babar, yang ditandai dengan adanya peninggalan sumur tua. Kampung lama ini merupakan kawasan pemukiman yang ditempati oleh penduduk asli dari setiap marga pada zaman dahulu.
Penguasaan lahan kampung lama dimiliki oleh marga asli yang berasal dari kampung lama. Saat ini, kondisi marga yang berasal dari kampung lama beragam. Ada yang bertahan di dalam kampung, ada pula yang menyebar ke kampung-kampung lain untuk kepentingan mencari nafkah ataupun karena hubungan pernikahan.


Area berhutan di kampung lama Desa Letwurung, yang salah satu titiknya digunakan untuk memelihara ternak seperti babi (kanan)/Alin Rahma Yuliani
Bagi masyarakat di Kepulauan Babar, khususnya Desa Letwurung, kampung lama merupakan tempat yang sakral dan harus dijaga sehingga lokasi kampung lama dijadikan situs. Masyarakat percaya bahwa suatu kampung pasti ada penghuninya maka setiap orang dilarang merusak dan mengganggu kampung tersebut. Kini kampung lama dimanfaatkan oleh masyarakat keturunan dari kampung tersebut untuk memelihara ternak dan lahan pertanian.
Meskipun kampung lama itu sakral dan penuh makna, masyarakat Desa Letwurung juga menghadapi perjuangan lain yang tak kalah berat. Dalam beberapa dekade terakhir, desa ini menghadapi ancaman yang lebih nyata, yaitu masalah kesehatan.
Tidak ada yang menyangka, di tengah keindahan alam yang tampak tenang dan damai, kesehatan masyarakat menjadi persoalan besar. Di Letwurung, banyak anak yang menderita ISPA, balita menghadapi masalah gizi kurang, dan orang dewasa yang harus bertarung melawan hipertensi, kolesterol, diabetes, serta asam urat. Penyakit-penyakit ini seolah menjadi teman setia di desa yang terletak jauh dari hiruk-piruk kota, tempat yang jangkauan aksesnya ke fasilitas medis sangat terbatas.
Namun, siapa sangka, masyarakat Desa Letwurung tidak menyerah begitu saja. Masyarakat di sini, meski tidak memiliki banyak akses ke obat-obatan modern, telah memilih cara yang lebih alami untuk melawan penyakit. Dalam kebersamaan dengan alam, mereka menemukan penyembuhan dari daun sukun yang digunakan untuk meredakan masalah hati, serta daun binahong yang dipercaya dapat mengatasi berbagai keluhan fisik, seperti nyeri otot, gatal, dan luka.
Ramuan-ramuan yang dimanfaatkan dari tanaman herbal ini bukan hanya sekadar pengobatan, melainkan juga simbol kekuatan sosial, kesehatan, dan budaya masyarakat yang melampaui fungsi fisiknya. Tanaman herbal adalah bagian dari kekuatan dari daya bertahan hidup mereka.
Perlawanan, Pembantaian, dan Perjuangan di Desa Emplawas
Di balik hamparan hijau yang tenang dan embusan angin dari Laut Banda, nama yang jarang terdengar sebagai bahan pembicaraan di luar sana, ternyata Emplawas menyimpan banyak cerita soal tembakau, sejarah perjuangan, bahkan kenangan pahit pembantaian di masa lampau.
Sejak dulu, Emplawas dikenal sebagai penghasil tembakau yang luar biasa. Setiap tahun, desa ini bisa memanen sekitar enam ton tembakau, hasil bumi yang menjadi simbol kehidupan masyarakat desa ini. Namun, meski tembakau menjadi sumber ekonomi, kehidupan di Emplawas bukan hanya tentang gulungan tembakau atau asap yang mengepul.

Ada sesuatu yang lebih dalam, yang sudah lama berakar di desa ini, sebuah sejarah yang tak boleh dilupakan. Desa Emplawas menyimpan kisah yang lebih kelam dari sekadar ingatan samar tentang penjajahan. Desa ini adalah saksi sejarah sekaligus medan perlawanan yang pernah dibasahi darah para leluhurnya.
Pada tahun 1944, ketika tentara Jepang menanamkan teror di Kepulauan Babar, Emplawas menjadi salah satu titik yang menolak tunduk. Akan tetapi, keberanian itu berujung pada pembantaian. Banyak lelaki yang ditangkap, diinterogasi dengan cara yang tak manusiawi, sebelum akhirnya dihabisi tanpa ampun. Tak sedikit pula perempuan dan anak-anak yang menjadi korban kekejaman, meninggalkan luka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Mereka hidup dalam ingatan kolektif masyarakat desa, terutama dalam peristiwa pembantaian tragis terhadap 700 orang di Kali Tiwi. Di tempat inilah, setahun sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia, tentara Jepang melakukan pembantaian besar-besaran terhadap warga Emplawas yang membangkang. Mereka yang tertangkap dipaksa berjalan ke tepi kali sebelum dihabisi secara brutal. Darah para pejuang mengalir di sungai itu, meninggalkan luka yang tak terlupakan.



Dari kiri, searah jarum jam: Melihat langsung lokasi pembantaian zaman Jepang di Kali Tiwi, ditemani ketua adat Desa Emplawas. Monumen peringatan pembantaian Jepang. Kerangka manusia korban pembantaian di dalam monumen/Siti Erwina Youwikijaya
Untuk mengenang tragedi tersebut, masyarakat kemudian mendirikan monumen peringatan di dekat lokasi kejadian. Simbol penghormatan dan pengingat bahwa perjuangan mereka ternyata tidak sia-sia.
Di Emplawas, sejarah, perjuangan, dan tradisi bertemu, membentuk karakter yang tak mudah pudar. Tak ada hotel mewah di sini, tak ada tempat wisata komersial yang menonjol.
Jika kamu ingin merasakan bagaimana suatu tempat mempertahankan jati dirinya, meski tertinggal jauh dari arus modernisasi, Emplawas adalah tempat yang tepat untuk berkontemplasi, bahwa sebuah desa tidak perlu pengakuan dunia luar untuk menjadi legenda dalam dirinya sendiri.
Foto sampul: Pesisir Pantai Desa Letwurung Kepulauan Babar Maluku Barat Daya/Alin Rahma Yuliani
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.