TRAVELOG

Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut

Sebuah patung berdiri di muka Kampung Tambak Lorok. Bentuknya menyerupai ikan marlin, ikan yang menjadi primadona para pelaut. Melihat patung tersebut, saya teringat sosok Santiago, si lelaki tua dalam novel The Old Man and The Sea gubahan Ernest Hemingway. Di atas perahunya, Santiago pontang-panting menangkap ikan marlin raksasa di Laut Kuba.

Pada Minggu (8/12/2024), saya melintasi patung marlin itu, lalu berkelok ke jalan utama Kampung Tambak Lorok, Tanjung Mas, Semarang Utara. Tak butuh waktu lama, rongga hidung saya langsung berjumpa dengan aroma ikan asin. Warga memang menjemur ikan asin di pinggiran jalan kampung. Pukul sembilan pagi, matahari sudah menyorot hebat. Semarang panas seperti biasanya. 

Setelah melewati pasar kampung Tambak Lorok, kendaraan yang saya tumpangi berhenti di sekitar bangunan Pos TNI AL. Beberapa orang berkumpul di pelataran dan di taman samping bangunan bercat putih itu. “Ada kunjungan Mbak Ita,” kata Bu Suntiah, 54 tahun, salah seorang warga Tambak Lorok, menjelaskan mengapa pagi itu ada ramai-ramai. 

Mbak Ita adalah nama sapaan Hevearita Gunaryanti Rahayu. Mantan Wali Kota Semarang yang kini sedang terjerat kasus korupsi dan pemerasan di lingkup Pemkot Semarang. Hari itu, ia datang ke Tambak Lorok untuk membagi-bagikan sembako.

Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut
Suasana Kampung Tambak Lorok/Adinan Rizfauzi

Kami dipersilakan masuk ke ruang depan Pos TNI AL. Sebuah karpet benang warna-warni digelar untuk kami. Lantai keramik warna putih dan cat bangunan yang serba putih membuat gerah sedikit tertahankan. Di salah satu sudut tembok, terbentang peta Kampung Tambak Lorok.

Saya tidak tahu persis mengapa Pos TNI AL menjadi tempat pertemuan kami dengan Bu Suntiah. Barangkali karena hari itu ada kunjungan wali kota, dan Bu Suntiah yang juga turut hadir ke pertemuan ingin agar kami sekalian menemuinya di sana.

Saya datang bergerombol bersama delapan orang lain. Lima orang di antaranya, ditambah saya, adalah peserta Urban Citizenship Academy (UCA) 2024. Itu adalah program pengembangan kapasitas dan kampanye untuk mengatasi masalah kota yang diselenggarakan oleh Kota Kita, sebuah organisasi nonpemerintah yang berbasis di Surakarta, Jawa Tengah. Tiga orang lain yang turut serta adalah fasilitator kegiatan dari Kota Kita. Sementara Bu Suntiah adalah fasilitator kami dari Kampung Tambak Lorok. 

Boleh dibilang Bu Suntiah adalah kunci. Ia memberi kami akses ke narasumber sesuai dengan kriteria yang kami butuhkan. Tiap orang dari kami memiliki kriteria narasumber yang berbeda, sebuah cara yang tepat untuk membuat Bu Suntiah repot. Di Kota Semarang, UCA 2024 mengambil tema soal keadilan iklim. Kami berusaha menggali informasi tentang dampak krisis iklim terhadap masyarakat pesisir. Dan kedatangan kami ke Kampung Tambak Lorok tak lain dan tak bukan adalah untuk itu.

Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut
Dermaga sebelah timur Kampung Tambak Lorok/Adinan Rizfauzi

Kampung Pemanen Hasil Laut

Kampung yang diimpit oleh dua dermaga ini memiliki 11.056 penduduk. Rumah-rumah dibangun berdempetan. Sebuah kampung yang sesak. Dari beberapa titik kampung, cerobong-cerobong Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) milik PT Indonesia Power di sebelah barat kampung terlihat memuntahkan kepulan asap hitam. Kampung ini bisa ditempuh 13 menit dari pusat Kota Semarang, dan hanya empat menit dari Pelabuhan Tanjung Mas. Kebanyakan warganya bekerja dengan mengandalkan tangkapan laut.

Selang beberapa saat setelah kami mulai menyusuri kampung, kami melihat beberapa perempuan sedang membersihkan cangkang kerang hijau. Dian Lestari (29), warga Kampung Tambak Lorok yang hari itu kami temui mengatakan bahwa pagi itu, ia dan tiga rekannya sudah membersihkan delapan ember kerang. 

“Per ember 15 kg. Sehari bisa dapat empat ember, kadang sampai delapan ember. Tergantung ambil banyak atau dikit,” katanya. “Per ember sepuluh ribu.”

Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut
Kerang hijau yang sudah dibersihkan oleh Mbak Dian dan rekan-rekannya/Adinan Rizfauzi

Mbak Dian duduk di sebuah dingklik kayu di pelataran sempit rumahnya. Tangannya cekatan menggerakkan gagang pisau. Caranya membersihkan cangkang kerang terlihat sederhana. Mula-mula, ia memisahkan kerang-kerang yang bergerombol. Seketika pisaunya sudah memangkas kerak-kerak yang menempel di bagian cangkang kerang, lalu memotong julaian rambut pada bagian sudut-sudut kerang. Mata saya tak berkedip ketika melihat gerakan kilat itu.

“Nanti dijual ke pasar. Kalau dimasak siputan, dimasak sama kulitnya. Kalau digoreng cuma diambil dagingnya,” tuturnya. Sesekali ia berhenti bekerja, menjawab pertanyaan kami dengan suara bertempo cepat.

Tak jauh dari pelataran tempat Mbak Dian dan perempuan lain bekerja, ada dua orang bapak sedang bercengkrama. Mereka duduk di sebuah balai-balai panjang yang merekat di tembok belakang rumah warga lain. Salah satu dari mereka adalah seorang nelayan. Namanya Gofur, 52 tahun.

“Kemarin libur karena gelombang lagi tinggi. Desember memang sering gelombang tinggi.” Kepada kami Pak Gofur sering tersenyum ramah. Ketika kami dipersilakan turut duduk di balai-balai, salah seorang lelaki lain malah menyingkir.

Nestapa Warga Pesisir di Hadapan Gelombang Ganas

Gelombang tinggi memang jadi musuh nelayan seperti Pak Gofur. Gara-gara gelombang tinggi, para nelayan terpaksa meliburkan diri. Libur artinya tak ada pemasukan. Pak Gofur pernah tidak melaut sampai dua minggu. Saya bertanya, “Terus bagaimana?”

“Pakai simpanan. Kalau kepepet, ya, utang,” tukasnya.

Bagi warga pesisir, gelombang tinggi tidak sekadar berpengaruh pada urusan pekerjaan dan pendapatan, tapi juga pada seluruh aktivitasnya. Sebab, biasanya gelombang tinggi juga diikuti oleh malapetaka lain: banjir rob. Setidaknya itulah yang terjadi di wilayah pesisir Semarang–Demak. Sampai hari ini, beberapa wilayah di dua tempat itu tak bisa lolos dari bencana rob. Untungnya kini Tambak Lorok menjadi satu kampung yang selamat.

Pada 2024 lalu, pemerintah meresmikan pembangunan tanggul laut yang mengitari separuh Kampung Tambak Lorok. Tanggul laut sepanjang 3,6 kilometer itu melahap anggaran 386 miliar. Saya sudah dua kali menyusuri tanggul itu dari ujung ke ujung. Panjang juga. Tanggul itulah yang menjadi penyelamat Tambak Lorok dari rob dan gelombang tinggi, yang sebelumnya sempat memorak-porandakan hunian warga. 

“Itu rumah saya kena gelombang, sampai sekarang belum saya perbaiki. Sudah satu tahun lebih, mau dua tahun,” tutur Mbak Dian, menunjuk ke arah bekas rumahnya. Karena peristiwa itu, sejak Desember 2023, ia beserta suami dan dua orang anaknya terpaksa tinggal satu rumah bersama mertuanya. 

Pak Gofur mengingat betapa dulu kampungnya menjadi langganan rob, “Dulu nggak ada tanggul ini, waduh, Tambak Lorok itu seperti lautan.” Rumah Gofur berada persis di sebelah bekas rumah Mbak Dian. Rumah itu kini lebih menyerupai rumah panggung yang berdiri di atas laut. Padahal, kata Mbak Dian, dua tahun silam rumah itu masih menapaki tanah.

Terbebas dari rob bukan berarti semua masalah telah selesai. Seperti daerah pesisir Semarang–Demak lain, Tambak Lorok juga mengalami penurunan permukaan tanah (land subsidence). Setiap tahunnya tanah di pesisir Aemarang bisa amblas sampai 12 sentimeter. Maka, saya tidak terkejut ketika melihat beberapa rumah di Tambak Lorok memiliki lantai yang jauh lebih rendah dari permukaan jalanan di hadapannya. Saya juga kerap melihat jendela yang menyentuh dasar lantai rumah atau rumah dengan kusen pintu rendah. Pak Gofur mesti merunduk apabila ingin keluar masuk rumah. Semua itu gara-gara penurunan muka tanah.

  • Kisah dari Sebuah Kampung yang Pernah Menjadi Laut

Mbak Dian merencanakan akan pindah ke tempat lain. Satu petak tanah telah dibeli di daerah Genuk, sebuah kecamatan di Semarang yang berjarak sekitar delapan kilometer dari Tambak Lorok. Kini ia bersama suaminya secara bertahap mulai membeli material untuk bangunan rumahnya kelak. 

“Sebenernya enak di Tambak Lorok. Di sini cari kerja agak gampang. Cuma kendalanya di sini tanahnya gerak. Pengeluarannya banyak untuk renovasi rumah,” kata Amin Marzuki. Mas Amin, 30 tahun, adalah suami Mbak Dian. Melihat ada orang berkumpul di pelatarannya, ia ikut nimbrung.

Setelah menyusuri beberapa ruas gang di Kampung Tambak Lorok, kami singgah di dermaga sebelah timur kampung. Ada beberapa orang berjongkok menghadap laut sambil memegang joran pancing. 

Menjelang siang, perahu-perahu nelayan di dermaga dengan berbagai ukuran dan warna terombang-ambing oleh gelombang laut. Tidak terlihat nelayan yang berkegiatan. Angin masih berembus kencang. Hari itu, barangkali Pak Gofur akan kembali absen ke laut. Untuk keselamatannya, Pak Gofur memang memilih untuk tidak meniru Santiago yang mati-matian menangkap ikan marlin.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Adinan Rizfauzi

Adinan Rizfauzi adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes). Selama kuliah, ia pernah aktif di Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Unnes untuk menekuni jurnalisme. Untuk melepas penat, ia gemar berjalan-jalan sambil menenteng kamera bekas kesayanganya.

Adinan Rizfauzi adalah mahasiswa Ilmu Politik Universitas Negeri Semarang (Unnes). Selama kuliah, ia pernah aktif di Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Unnes untuk menekuni jurnalisme. Untuk melepas penat, ia gemar berjalan-jalan sambil menenteng kamera bekas kesayanganya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Jembatan Citarum Lama yang Tak Selayaknya Dilupakan