Manusia selalu haus akan makna keberadaannya. Sedang dunia yang ditinggalinya adalah ruang bisu yang tak pernah menjawab keresahan itu. Hingga relasi absurd ini menyeret sosok hilang arah itu pada keterasingan.
Oleh: Dimas Candra Wardana
Di tengah keramaian, ia berdiri seperti benda asing, berhadapan dengan dunia yang sibuk sendiri. Ia menatapnya, sedang dunia membalas dengan diam.
Setiap jawaban yang ia cari disajikan dalam bentuk kepalsuan yang rapi. Warna-warni yang seolah hidup, padahal hampa.
Hari berikutnya ia menemukan dirinya terkurung, bukan oleh jeruji, melainkan oleh pikirannya sendiri yang tak berhenti menggema.
Batas-batas itu mengeras. Prinsip-prinsip yang dulu melindungi kini menjelma pagar yang menolaknya melangkah ke mana pun.
Ia mendongak, berharap cahaya membelah kekosongan. Namun, langit hanya menyisakan jejak samar yang tak lagi memandu.
Ke mana pun ia bergerak, mata-mata tak terlihat menempel padanya. Ia tak merasa diperhatikan, hanya dicurigai.
Dalam pencariannya, ia memasuki lorong yang menjanjikan keluasan. Nyatanya hanya gelap memanjang, menelan suara dan waktu.
Pada akhirnya ia tiba di tempat yang seharusnya memberinya alasan untuk kembali. Namun, rumah itu dingin, asing, dan menolaknya untuk merasa pulang.
Cerita foto ini merupakan hasil karya peserta lokakarya dan tur fotografi “Mengasah Jelinya Mata dan Pekanya Rasa dalam Bercerita” bersama Anggertimur (Creative Storyteller) dalam rangkaian Pameran Ekspedisi Arah Singgah: Makan Key Almig di Kota Yogyakarta, 8 November 2025.