Ketika ditanya tentang aktualisasi cita rasa pribadi pada keris, Rista menjawab: cita rasa perempuan. “Sebab, menjadi perempuan Madura enggak segampang perempuan modern. Mau berkelit dengan dunia modern pun, hukum sosial belum bergeser sepenuhnya.”

Awalnya, Rista bangga menjadi satu-satunya empu perempuan dengan segala prestasi yang telah digapai. Namun, lambat laun, pergunjingan mulai menusuk lubang telinganya. Orang-orang bersyak wasangka: Mungkin dia tak ‘kan menikah? Apa yang dibutuhkan? Toh, bisa mencari uang sendiri? Kendatipun dia ingin suami, pasti akan mencari lelaki dengan kemampuan lebih. Kalau laki-laki ecek-ecek, dia tidak akan mau.

“Akhirnya, kemandirian menjadi momok menakutkan. Akhirnya, semua itu bukan pencapaian, tapi pengerdilan perempuan,” ratap perajin yang telah menerima berbagai penghargaan dan berpameran internasional itu.

“Bukankah karena bergender perempuan, seluruh lampu sorot keberuntungan terarah padamu? Empu laki-laki kan sudah banyak.”

“Justru itu letak pengerdilannya. Koki laki-laki tidak se-disorot itu: laki-laki kok masak? Bidan laki-laki juga enggak se-sentral itu, kan?”

Cita Rasa Feminin

Rista pernah dicap lalakè’a burung. Lelaki jadi-jadian. Julukan tersebut beban berat baginya. Seolah-olah hanya laki-laki yang dapat melakukan ini-itu. Jika ada perempuan yang bisa, ia pasti dianggap laki-laki, tetapi gagal di bagian kelamin. 

“Akhirnya kami enggak dilihat sebagai perempuan.”

Kalimat tersebut mematahkan dugaan Rosi bahwa Rista sejenis feminis eksistensialis. Simone de Beauvoir, sang pelopor feminis eksistensialis, berharap perempuan bisa menjadi seperti laki-laki sebagai modus ada-untuk-diri. Dengan menjadi laki-laki, perempuan akan eksis. Sebab, apa yang didefinisikan sebagai manusia adalah mereka yang berjenis kelamin laki-laki. Sementara itu, keyakinan Rista lebih dekat dengan para pemikir perempuan gelombang ketiga, seperti Julia Kristeva, Hélène Cixous, dan Luce Irigaray. Perempuan bisa mengada melalui karakter karnalnya yang khas tanpa harus menjadi laki-laki.  

“Padahal, di biologi, sebenarnya laki-laki adalah perempuan yang salah hormon,” hiburku.

“Oh, ya? Bagus, dong, kalau ada laki-laki sensitif.”

“Dan laki-laki yang ingin menjadi perempuan sejatinya adalah manusia yang hendak kembali ke fitrahnya.”

“Waria?” sahut Rosi.

“Wah, bahasamu langsung nembak, ya,” tanggap Rista. 

Karena itulah Rista berharap suatu saat dapat mengungkapkan persoalan tersebut lewat karya. Alumnus Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia STKIP PGRI Sumenep itu ingin orang-orang membahas kerisnya dari rasa feminin, misal langgam dhapur yang lebih luwes karena dipengaruhi hormon sehingga berefek pada gerak-gerik tubuh saat menempa dan menatah bilah. Meski semua itu berelasi kuat dengan identitas biologisnya sebagai perempuan, Rista tak ingin orang-orang membincangkan karya-karyanya ad hominem.

“Bagaimana kamu menempatkan diri di antara rekan laki-laki?” Rosi kembali bertanya.

“Aku pernah dituduh selingkuhin suami orang. Dan itu kakek-kakek hampir tujuh puluh tahun. Sumpah.”

“Sebuah pusaka, makin tua makin sakti, kan?” candaku.

“Bisa juga.” Rista ngakak. “Tapi, enggaklah. Mau bilang bandot tua, enggak enak. Kaya juga enggak. Bercanda.”

Saat berhadapan dengan pemesan yang kebanyakan laki-laki, Rista memosisikan diri sebagai perajin profesional. Sebab, tak sedikit pelanggan menggodanya hanya karena ia belum menikah. Rista akan membungkam kegenitan itu dengan berkata, “Laki-laki itu besi. Suhumu semana? Oh, suhumu segitu aja?” 

Bahkan, ada pula korban mitos Empu Sombro dengan meminta Rista menjepit keris pesanan dengan selangkangan agar sakti mandraguna. Kalau sudah begitu, ia akan menjelaskan kepada si pemesan bahwa mutu bahan merupakan faktor paling dasar yang menentukan kualitas sebuah pusaka. Baginya, mitos sudah bergeser. Pemahaman tentang kekuatan supranatural juga bergeser. Spiritualitas tradisional mesti ditafsirkan dengan perspektif modern.

“Dulu, orang suka menyepi dari hiruk-pikuk dengan bersemedi. Sekarang kita menepi dari keriuhan media sosial. Ini juga tirakat. Budaya berkembang. Cara pandang bergeser.”

Keris yang Ditempa Rahim Api (2)
Penulis bercakap-cakap dengan Ika Arista/Wardedy Rosi

Tak Sekadar Kanca Wingking

“Lalu, siapa perempuan historis yang kamu kagumi?”

Rista berpikir agak lama, lalu menjawab, “Dyah Gayatri.”

Dyah Gayatri atau Gayatri Rajapatni adalah putri bungsu Kertanegara, penguasa terakhir Singasari, dan istri Wijaya, raja pertama Majapahit. Ketika Jayanegara tewas di tangan Ra Tanca, mestinya Gayatri naik takhta sebagai penguasa Majapahit selanjutnya. Namun, ia telah undur dari kehidupan duniawi dan memilih jalan monastik bikuni. Lantas, ia menaikkan putrinya, Tribhuwanatunggadewi ke takhta Majapahit. 

“Dia bukan cuma perempuan kanca wingking,” Rista mengungkap alasan. “Dia juga punya kuasa. Dia bukannya enggak tahu perjanjian Majapahit timur dan barat, tapi enggak ada larangan terhadap pembaiatan Wiraraja. Dia memilih diam. Citranya dibikin gokil. Dia enggak mau takhta, malah tetap memilih jadi bikuni. Dia enggak peduli gelar raja, tapi namanya enggak kosong dalam sejarah. Semua orang tahu, di balik naiknya Tribhuwanatunggadewi ada Gayatri yang hidup di tiga rezim. Bagiku, dia enggak sesederhana seorang bikuni.”

“Kayak Bu Tien gitu, ya?” Bu Tien atau Siti Hartinah, istri Presiden Soeharto, sosok yang digadang-gadang berdiri di balik kesuksesan sang Jenderal-Tersenyum mencengkeram Rezim Orde Baru dalam waktu panjang. 

“Banget. Dan Ratu Hemas.” Gusti Kanjeng Ratu Hemas adalah permaisuri Hamengkubuwana X di Kesultanan Yogyakarta. 

“Dia bakal menaikkan Pembayun enggak, ya?”

“Kayaknya.”

Pernah santer isu suksesi kepemimpinan Yogya tentang siapa yang akan menggantikan Sultan setelah lengser keprabon. Desas-desus bakal dimahkotainya putri sulung Sultan, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun, tentu bakal menabrak tradisi provinsi monarki tersebut yang biasanya menyerahkan posisi kepemimpinan kepada laki-laki. Meski berkata “kayaknya”, bukan berarti Rista tidak yakin Pembayun akan menjadi sultanah. Di situlah Rista percaya peran Hemas akan bermain untuk menjunjung putrinya supaya menggantikan sang suami. 

Di Sumenep sendiri, seorang perempuan pernah duduk di takhta. Kepemimpinan Raden Ayu Tirtonegoro di abad ke-18 hampir mirip pilihan hidup Gayatri. Ia tak lama menjadi Adipati Sumenep. Sebab, pada akhirnya ia menyerahkan tampuk kepemimpinan kepada Muhammad Saot, lelaki jelata yang dinikahinya berdasarkan petunjuk mimpi. 

Mundur dari wilayah publik sebagaimana Gayatri dan Tirtonegoro barangkali cara sintas paling efektif bagi umat manusia. Jejak kebudayaan tersebut dapat ditarik jauh ke masa purba ketika laki-laki berburu, sedangkan perempuan berjibaku dalam aktivitas pengasuhan di gua. Pembagian kerja semacam ini cukup efisien bagi perempuan beserta segala situasi biologisnya sebagai tubuh dengan siklus menstruasi dan penyedia susu. Rumah menjadi ruang paling sehat untuk jasmani fluktuatif dan menjamin keamanan bagi proses pertumbuhan anak-anak. 

Kalaupun perempuan harus turut berpartisipasi dalam mencari nafkah, wilayah domestik bisa dianggap lokasi paling sangkil bagi kompleksitas raga feminin. Pernyataan ini memang terdengar esensial. Namun, kenyataannya, budaya pembagian kerja demikian cukup adaptif sampai sekarang karena kemangkusannya terbukti telah menjaga spesies kita dari ancaman punah. 

Argumentasi tersebut mestinya memberi legitimasi saintifik bagi Hannah Arendt yang memandang perempuan tidak cocok menjadi pemimpin—di ranah publik. Katanya, perempuan tak pantas memerintah laki-laki. Tapi, tidak berstatus pemimpin bukan berarti tak memiliki otoritas, kan? 

Dalam filsafat politik Jawa—yang pada akhirnya ternyata juga menjadi roh kepemimpinan Indonesia—negara adalah perluasan halaman rumah tangga sehingga peran ibu amat sentral. Itulah mengapa, ketika Gayatri undur dari politik publik, kita tidak bisa gegabah menyangka bahwa kapasitas kekuasaannya ikut surut. Faktanya, perempuan inilah dalang di balik layar sejarah kedigdayaan Majapahit. Ia sosok kharismatik yang diabadikan dalam figur arca Prajnaparamita, dewi kebijaksanaan paripurna. Sang ibu suri telah berperan sebagai mentor politik suami, putri, dan cucunya, Hayam Wuruk, serta Gadjah Mada yang diangkatnya dari kalangan rakyat jelata.

Pada kasus yang sama, Babad Tanah Jawi juga memberi tahu kita bahwa Panembahan Senapati, pendiri Mataram Islam, belajar ilmu tata negara kepada Nyai Rara Kidul. Perempuan, kita akui, memang pemegang wawasan tentang cara mengoperasikan rumah dengan baik. 

Keris yang Ditempa Rahim Api (2)
Bilah karya Ika Arista/Ika Arista

Perempuan dan Senjata

“Menurutmu perempuan cocok [atau] enggak menggunakan keris?” lanjutku sambil membayangkan Angelina Jolie yang lincah berlaga dengan dua pistol ketika dikeroyok robot-robot kecerdasan artifisial di film Lara Croft: Tomb Raider. 

“Bisa. Keris dalam fungsinya yang simbolis, psikologis, spiritual, atau sebagai teman hidup.” Rista menyuguhkan cerita Arok versi novel Pramoedya Ananta Toer dengan keris Gandring yang dipakai sebagai alat politik. Atau pada eksekusi Trunajaya, Amangkurat menggunakan keris Blabar sebagai simbol kuasa raja. 

“Pernah bikin celurit?”

“Satu kali dan enggak lagi,” kisahnya putus asa. “Susah. Celurit condong pada fungsi pragmatis. Kalau enggak untuk bertani, ya untuk carok. Kalau untuk carok, celurit harus efektif dan efisien. Cekungannya mesti presisi karena akan menentukan arah sabetan. Bahkan, harusnya aku menyelami teknik bela diri biar ngerti posisi celurit ketika penggunanya sedang bertarung.”

“Berpikir sejauh itu?”

“Tentu.”

“Berat juga menentukan,” sahut Rosi.

“Jangan sampai mengganggu pergerakan saat duel,” respons Rista.

“Bisa enggak, kita bilang bahwa keris berwatak lebih feminin ketimbang celurit?”

“Ada satu mantra yang dilafalkan ketika keris dimasukkan ke dalam sarungnya,” daku Rista. Mantra tentang penyatuan laki-laki dengan perempuan yang diibaratkan cermin beserta bayang-bayang, juga ditamsilkan sebagai suami yang memasuki kamar pengantin.

“Tak ada perbedaan keris dengan warangka. Kau adalah bayanganku, aku adalah bayanganmu.” Dibuka dengan salam, mantra itu dicawiskan saat keris telah rampung dibuat dan pertama kali disarungkan ke dalam warangka. Kata Rista, mantra tersebut cuma diucapkan sesuai permintaan pemesan. Ada pemesan yang tidak mau kerisnya diisi apa pun. Ia hanya ingin memiliki. Lagipula, Rista tidak memberi jasa pengisian energi. “Aku cuma bikin rumah. Sebaik-baiknya.” 

Baginya, perempuan tidak untuk mengisi. Seperti filosofi rumah tanéyan lanjhȃng yang dibikin pihak istri dengan perabot yang dilengkapi suami. “Perempuan hanya maqam. Mengisi bukan tugas kami.”

Desing gerinda berakhir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar