Seperti kota-kota lainnya, Cimahi memiliki sejumlah landmark (tengaran). Sayang, kini beberapa di antaranya telah musnah. Mungkin hanya tersisa imaji kenangan, yang sebagian mulai terkubur oleh perjalanan waktu. 

Seperti halnya makhluk hidup, sebuah kota juga mengalami proses tumbuh-kembang. Tak jarang berbagai perubahan harus dilakoni dan membawa konsekuensi berupa hilangnya sejumlah tengaran penting kota.

Merriam Webster Dictionary memberi batasan landmark sebagai: [1] an object or structure on land that is easy to see and recognize (objek atau struktur di atas tanah yang mudah dilihat dan dikenali), [2] a building or place that was important in history (bangunan atau tempat yang penting dalam sejarah)dan [3] a very important event or achievement (peristiwa atau pencapaian yang sangat penting).

Ini pula yang dialami Kota Cimahi, Jawa Barat. Beberapa landmark, yang identik dan menjadi penanda penting kota sekarang telah musnah. Salah satunya adalah Pasar Antri.

Pasar Inpres Sriwijaya kala itu, yang dibangun sebagai pendamping Pasar Antri Cimahi
Pasar Inpres Sriwijaya kala itu, yang dibangun sebagai pendamping Pasar Antri/Djoko Subinarto

Pasar Antri yang Dahulu

Sebagai sebuah tengaran, Pasar Antri bukan saja merupakan sebuah struktur bangunan yang mudah terlihat. Melainkan juga tempat yang memiliki posisi penting dalam perjalanan sejarah Cimahi.

Dahulu, sebelum menjadi sebuah daerah otonom, Cimahi konon hanyalah sebuah pos penjagaan di masa kolonial Belanda. Kemudian meningkat statusnya menjadi sebuah kecamatan dan bagian dari Kabupaten Bandung.

Berjarak sekitar 1,7 dari Alun-alun Cimahi ke arah selatan, Pasar Antri menjadi satu-satunya pasar besar di daerah berjuluk “Kota Militer” tersebut. Selain Jalan Sisingamangaraja, akses masuk ke pasar bisa melalui Jalan Gandawijaya. Di sepanjang jalan hingga ujung selatan sebelum pasar, berjejer toko-toko yang menawarkan berbagai jenis barang: makanan, minuman, pakaian, perabot rumah tangga, obat-obatan, sampai dengan perhiasan emas.

Selama berpuluh-puluh tahun, Pasar Antri menyediakan beragam keperluan bagi penduduk Cimahi dan sekitarnya. Termasuk para tentara yang sedang bertugas atau menempuh pendidikan di kota ini.

Menurut sejarah, Cimahi memang menjadi markas sejumlah pusat pendidikan dan markas kesatuan militer sejak masa kolonial Belanda. Di sebelah selatan Pasar Antri, terbentang lapangan terjun yang orang kenal sebagai Lapangan Sriwijaya. Kemudian di sisi baratnya berdiri dua markas batalyon artileri medan, yakni Yon Armed 9 dan Yon Armed 14.

Taman Segitiga Cimahi
Taman Segitiga Cimahi, yang pada masanya sempat menjadi tempat mangkal bandar judi unyeng/Djoko Subinarto

Fasilitas Umum di Sekitar Pasar Antri

Tak jauh dari Pasar Antri dan Lapangan Sriwijaya, terdapat sebuah area publik bernama Taman Segitiga. Dahulu, sebagian delman maupun becak biasa mengetem di depan taman tersebut menunggu para penumpang. 

Sekitar tahun 1970-an, delman dan becak telah menjadi transportasi paling populer di sekitar Pasar Antri. Orang-orang selepas berbelanja—terutama dalam partai besar—hampir pasti menyewa moda transportasi lokal tersebut untuk mengantar barang-barang mereka sampai ke depan pintu rumah.

Sementara itu jika masuk lebih jauh, di bawah pohon nan teduh, di antara sejumlah tukang loak dan sol sepatu, hadir pula bandar judi unyeng (sintir). Permainan sejenis memutar dadu. Jika kondisi aman terkendali, para bandar judi tersebut akan mangkal dari pagi sampai menjelang siang.

Pada pertengahan tahun 1970-an, untuk mendampingi Pasar Antri, pemerintah membangun Pasar Inpres Sriwijaya. Lokasinya berada di area paling utara Lapangan Sriwijaya. Kehadiran pasar baru saat itu membuat bandar judi unyeng beralih tempat dan lebih memilih “buka praktik” di bagian belakang Pasar Inpres Sriwijaya.

  • Pasar Antri Baru Cimahi
  • Jalan Gandawijaya saat ini

Pasar Antri Kini

Seiring dengan peningkatan status Cimahi menjadi kota otonom tahun 2001, beberapa perubahan mulai terjadi sedikit demi sedikit. Pasar Antri, yang telah melegenda dan berdiri selama puluhan tahun, harus dihancurkan. Setali tiga uang dengan Pasar Inpres Sriwijaya.

Tak pelak, para pedagang di kedua pasar lawas itu pun menentang keras. Gelombang protes pedagang mewarnai situasi yang panas. Beberapa kali mereka bentrok dengan aparat pemerintah. Namun, pengelola Kota Cimahi telah membuat keputusan. Para petugas tak surut untuk membongkar kios dan jongko milik pedagang, sampai pada akhirnya Pasar Antri dan Pasar Inpres Sriwijaya rata dengan tanah.

Berselang tak lama kemudian, pihak berwenang meluncurkan sebuah proyek pembangunan pusat perbelanjaan modern. Pasar Antri bersalin rupa menjadi mal megah, dengan lahan bekas Pasar Inpres Sriwijaya menjadi tempat parkirnya. Tampaknya virus “mal-isasi” turut menghinggapi Cimahi, kota seluas kurang dari 4.023,73 hektare dan hanya memiliki tiga kecamatan.

Namun, nama Pasar Antri tidak sepenuhnya lenyap. Pasalnya setelah pembongkaran pasar tersebut, di sebagian lahan Lapangan Sriwijaya kemudian telah terbangun pasar kembali, yang diberi nama Pasar Antri Baru. 

Kendati demikian, bagi penduduk asli Cimahi, Pasar Antri bisa jadi akan selalu terpatri di dalam ingatan mereka. Pasar yang selama puluhan tahun tidak hanya sekadar menjadi tengaran kota. Lebih dari itu. Ia adalah saksi penting sejarah perjalanan Cimahi dan penduduknya, walau pada akhirnya harus rela tunduk terhadap perubahan zaman.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar