TRAVELOG

Kelindan Mitos, Klenik, dan Lokalitas Umbul Sungsang Boyolali

Sabtu, 31 Mei 2025 lalu saya mengunjungi Umbul Sungsang, Boyolali, yang bersejarah itu pukul 08.00 WIB. Terlalu pagi bagi saya, tapi terlalu siang bagi para ibu bapak yang telah basah kuyup karena mengarungi sepanjang kolam. 

Bagi saya, Sabtu pagi merupakan waktu yang tepat untuk istirahat. Atau, sekadar menikmati hari yang lambat tanpa melakukan kegiatan yang tak menguras tenaga, setelah melewati hari kerja yang pahit selayaknya buruh upah murah. Tapi setelah dipikir dua kali, tak ada salahnya sekali kali pergi untuk menghibur diri dan kedua adik saya. 

Tempat yang saya sangka akan sepi ternyata terlampau ramai. Tidak penuh sesak, tapi kelihatannya akan menyulitkan untuk berenang tanpa menyenggol pengunjung lain. Mungkin karena tiket masuknya yang hanya empat ribu rupiah. Kelewat murah untuk harga mata air alami yang menyejukkan. 

Menunggu agak longgar dengan berjalan-jalan sambil mencari tempat untuk menaruh barang bukanlah pilihan yang buruk. Apalagi Umbul Sungsang merupakan kompleks pemandian yang cukup besar dengan tiga kolam dewasa serta satu kolam anak-anak. Jika dikelilingi keseluruhannya mungkin sedikit memakan waktu. “Yah, sembari menunggu agak sepi,” pikir saya.

Kelindan Mitos, Klenik, dan Lokalitas Umbul Sungsang Boyolali
Pemandangan dari tempat parkir sebelah barat Umbul Sungsang/Aldino Jalu Seto

Tradisi Kungkum yang Masih Lestari 

Kunjungan ke tempat yang didirikan oleh Sri Susuhunan Pakubuwono X ini bukan kali pertama bagi saya. Bila dihitung mungkin telah puluhan kali sejak saya kecil, tetapi jumlahnya belum sampai ratusan. Selama lebih kurang 20 tahun kunjungan saya, tempat ini tak banyak mengalami perubahan. Arsitekturnya masih mempertahankan kekhasan perpaduan tradisional Jawa, dengan pengaruh Hindu-Jawa klasik dan keraton Mataram Islam.

Ada hal yang sering disalahpahami oleh orang-orang tentang nama tempat ini. Beberapa orang menyebut pemandian ini sebagai Umbul Pengging. Padahal Umbul Pengging merupakan pemandian serupa yang terletak di sebelah selatan Umbul Sungsang. Dari pintu depan Umbul Sungsang tinggal lurus sejauh 200 meter. Nama Sungsang diambil dari salah satu kolam sebelah barat, dekat dengan pesanggrahan yang berdiri tempat di atas kolam Sungsang. 

Dari atas tempat ini tampak lebih jelas. Tampaknya kolam Sungsang—atau masyarakat sekitar juga menyebutnya sebagai kolam lenangan (laki laki)—relatif lebih sepi ketimbang kolam campuran, kolam paling besar di Umbul Sungsang. Masih sama, kolam ini didominasi oleh orang-orang tua. Ada yang berenang mondar-mandir, ada yang sekadar mencelupkan kakinya di air, ada pula yang kungkum. 

Kungkum berarti berendam di air selama beberapa waktu. Biasanya seseorang tak melakukan banyak gerakan, hanya menikmati air yang mengalir di seluruh tubuhnya. Dari atas saya melihat banyak orang yang mengantre kungkum di pojok kolam sungsang. Di sana terdapat sebuah kotak yang menjadi wadah mata air keluar. Air di sana merupakan yang terdingin di Umbul Sungsang. Terdapat makna simbolis dan maksud spiritual dalam melakukan kungkum. 

Kungkum memang telah menjadi tradisi yang telah lama berjalan sejak era Pakubuwono X, sosok yang mendirikan tempat ini. Umbul Sungsang juga dipercaya sebagai pesanggrahan para raja Kasunanan Surakarta. Pesanggrahannya pun masih berdiri di atas kolam Sungsang. Ketika saya menengok tempat itu, terdapat seorang peziarah yang sedang beristirahat di pesanggrahan. Tak mengherankan, karena malam sebelumnya merupakan Jumat malam.  

Setiap Jumat malam, apalagi Jumat Pahing, jalan raya di depan Umbul Sungsang mendadak menjadi ramai seperti pasar. Orang dari berbagai penjuru daerah berbondong-bondong datang untuk berziarah di Pengging, salah satunya Umbul Sungsang. Mungkin orang yang beristirahat tadi merupakan salah satunya.

Sejumlah pengunjung menikmati dinginnya sumber mata air di sudut kolam Umbul Sungsang (kiri). Umbul Pelempeng merupakan bagian dari kompleks Umbul Sungsang yang memiliki kolam paling dalam mencapai dua meter/Aldino Jalu Seto

Di antara Klinik dan Spiritual 

Melihat suasana kolam Sungsang yang sepi, saya pun turun dan memastikan apakah ada tempat yang nyaman untuk sekadar duduk dan menaruh barang. Setelah sampai di depan pintu, ada hal yang menarik perhatian saya. Sebuah brosur tua yang ditempel di pintu. Brosur ini bertuliskan:

Mohon Perhatiannya
Jam 21.00 ke atas dilarang renang di pemandian karena buat ritual kungkum
Ttd
Warga Pengging

Yang tak kalah menarik, di bawah imbauan larangan berenang itu, ada pamflet iklan yang tak biasa. Bukan iklan untuk masuk kampus atau webinar beasiswa, bukan pula iklan untuk les privat beranang, melainkan jasa mewujudkan impian. Mirip seperti cerita teko ajaib milik Aladdin. Lebih lengkapnya baca sendiri.

Seorang peziarah sedang tidur di pesanggrahan Umbul Sungsang (kiri). Pamflet jasa pertolongan spiritual yang terletak tepat di pintu masuk Umbul Sungsang, ditempel bersebelahan dengan larangan berenang di atas pukul 21.00 WIB/Aldino Jalu Seto

Pamflet iklan mewujudkan impian ada karena beberapa orang menganggap Umbul Sungsang sebagai sebuah tempat yang angker. Namun, sebagian lain menganggapnya sebagai ritus spiritual yang suci. 

Seorang yang berangkat dari pandangan bahwa situs ini angker akan cenderung mencari hal-hal yang materialis, atau berhubungan dengan duniawi. Adapun orang yang menganggap tempat ini adalah situs yang suci akan cenderung memiliki tujuan untuk meningkatkan kapasitas rohaninya. 

Saya pun mengobrol dengan salah satu warga lokal yang cukup mengetahui tentang tempat ini. Praktik yang sering kali dilakukan oleh para pengunjung adalah kungkum. Setiap orang memiliki tujuan masing masing dari praktik ini.

Kungkum biasa dilakukan di hari Jumat malam. Jika dilakukan di malam-malam tertentu menurut kalender Jawa, dipercaya akan lebih manjur. Kungkum biasa dilakukan di kolam Umbul Sungsang. 

Menurutnya, orang-orang datang dari berbagai daerah untuk melakukan serangkaian agenda ziarah. Biasanya saat jumat malam terdapat pasar dadakan di depan Umbul Sungsang. Para peziarah biasa jajan makanan di pasar dadakan ini. Para peziarah memiliki referensinya masing-masing, tapi jalur imajiner yang biasa dilewati adalah berkunjung ke makam Yosodipuro, kemudian salat di Masjid Cipto Mulyo, dipungkasi kungkum di Umbul Sungsang. 

Selain Umbul Sungsang, Pengging masih memiliki peninggalan bersejarah yang lain. Sama dengan Umbul Sungsang, peninggalan bersejarah lain juga dipercaya memiliki nilai spiritual dan mistisnya masing masing. Akan tetapi, terlepas dari hal mistis dan spiritual yang melekat padanya, tempat ini merupakan bangunan yang memiliki nilai sejarah panjang. Menjaga dan melestarikan merupakan sebuah cara yang tepat untuk dilakukan.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Aldino Jalu Seto

Aldino Jalu Seto adalah bolang (bocah petualang) yang tinggal di kota Boyolali. Ia suka bermain sepak bola. Sekarang ia sedang tidak sibuk, silakan kontak dia di Instagram @aldhinojaluseto untuk berbagi kesibukan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Sampai Kapan “Emas Biru” dari Klaten akan Bersinar?