TRAVELOG

Jejak Sejarah Bandar Dagang Langenharjo dan Tragedi 1965 di Tepi Bengawan Solo

Kali ini saya berada di Dukuh Bacem, Desa Langenharjo, Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo. Tepatnya di wilayah Solo Baru, perbatasan antara Surakarta dan Sukoharjo. Dukuh Bacem berada di sisi utara bantaran sungai Bengawan Solo, yang membelah dua wilayah tersebut.

Warna cokelat sungai dan aktivitas warga memancing menjadi pemandangan lumrah setiap harinya. Lagu ciptaan Gesang berjudul Bengawan Solo, seketika menggelayuti pikiran. Penggalan lirik lagu tersebut menjadi alasan saya melihat lebih dekat Dukuh Bacem, Bengawan Solo, dan peninggalannya yang tersisa. 

Aliran Bengawan Solo tampak tenang, tetapi menghanyutkan. Tidak tampak pusaran, tanda kedalaman air, atau pertemuan aliran sungai lain. Saking tenangnya, berapa kali tampak biawak dan anak buaya mondar-mandir di tepi sungai. Harus sangat waspada jika suatu saat menjumpai hewan liar secara tidak sengaja.

Kehidupan warga Dukuh Bacem tak ubahnya desa lain di sekitarnya. Mereka menjadi bagian hidup berdampingan dengan gemuruh arus Bengawan Solo di sisi selatan dukuh.

Masa Lalu Bengawan Solo dan Bandar Langenharjo

Sebagai sungai terpanjang di Jawa Tengah, Bengawan Solo memiliki hubungan erat dengan Surakarta. Keduanya tidak bisa dipisahkan, bagaikan ibu dan anak yang selalu setia menemani satu sama lain. Keduanya laksana fisik dan ruh, yang memberikan kehidupan setiap manusia.

Merujuk catatan riwayat sungai Bengawan Solo yang dimiliki Heri, teman saya, diketahui jika Sungai Bengawan Solo sudah eksis sebagai bandar sekaligus jalur perdagangan dan maritim internasional sejak abad ke-14. Salah satu kerajaan di Jawa yang turut serta membangun sekaligus meramaikan Bengawan Solo adalah Kerajaan Majapahit, berdiri pada tahun 1293 di tepi pertemuan Bengawan Solo dan Sungai Brantas di Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.

Sungai Bengawan Solo pun kian ramai seiring terhubungnya jalur pelayaran dan perdagangan dengan Jalur Sutra melalui Selat Malaka. Tak ayal Kerajaan Majapahit menjadi penguasa tertinggi jalur pelayaran perdagangan sekaligus jaringannya di pedalaman Jawa, termasuk jalur perdagangan di Bengawan Solo. Sebagai pertanggungjawaban, dibangunlah pelabuhan dagang atau bandar dagang untuk pengumpulan dan penjualan hasil bumi, rempah-rempah maupun kain batik.

Perdagangan kian ramai. Hadirlah para saudagar dan membuat relasi dengan pemimpin setempat untuk dapat menempati suatu wilayah, lalu dikembangkan sebagai pusat produksi tidak jauh dari bandar dagang. Bengawan Solo turut dijadikan sebagai bandar dagang sekaligus pintu masuk saudagar di pedalaman Jawa. Pemimpin wilayah pun tak menyia-nyiakan kesempatan, dan bekerja sama dengan para saudagar untuk memproduksi kapal dagang dan kapal militer untuk mengawasi perairan setempat.

Tidak sedikit kapal dagang tersebut dinakhodai langsung para saudagar maupun  bangsawan yang akan berdagang di luar wilayah. Namun, semua berubah menjadi monopoli perdagangan akibat selisih paham perdagangan antara kedua belah pihak dan terpecahnya keluarga kerajaan menjadi kerajaan kecil, sehingga bandar dagang kehilangan jati diri dan kekuatan maritimnya. Salah satu yang terdampak yakni aliran Bengawan Solo di Dukuh Bacem.

Merujuk Prasasti Canggu 1280/1358 Masehi, diketahui jika sepanjang aliran sungai Bengawan Solo terdapat sekitar 44 desa bandar dagang. Dua di antaranya Dusun Lumbu—kini Desa Kedung Lumbu, Kecamatan Sangkrah, Surakarta—dan Dusun Langenharjo—kini Dukuh Bacem. Bandar dagang tersebut sering dilalui kapal dagang Keraton Kasunanan Surakarta yang membawa garam untuk dikirim dari dan ke Kabupaten Gresik, Jawa Timur.

Salah satu kapal milik Kasunanan Surakarta yang tersohor hingga kini yakni tjantrik Kyai Raja Mala atau kapal Kyai Raja Mala. Replika kapal Raja Mala tersimpan rapi di museum Radya Pustaka dan Keraton Kasunanan Surakarta. Selain kapal besar, dulunya juga terdapat kapal kecil berjuluk jung untuk membantu pemindahan barang dari kapal besar dari dan ke bandar dagang. Kini, jejak keberadaan bandar dagang Langenharjo kian tidak tampak akibat perubahan ekologis dan pendangkalan sungai.

Meski begitu, bagi kami, keberadaan tugu peringatan ulang tahun Sunan Pakubuwana X di tepi Bengawan Solo, di antara Keraton Kasunanan Surakarta dan Pesanggrahan Langenharjo inilah tetenger keberadaan bandar dagang Langenharjo tersebut pernah eksis.

  • Jejak Sejarah Bandar Dagang Langenharjo dan Tragedi 1965 di Tepi Bengawan Solo
  • Jejak Sejarah Bandar Dagang Langenharjo dan Tragedi 1965 di Tepi Bengawan Solo

Makutha Bacem, Monumen Pakubuwana X

Monumen berbentuk obelisk dengan hiasan kemuncak kelopak bunga di tengah taman octagon yang disebut Tugu Makutha Bacem atau Tugu Mahkota Bacem ini, bisa dikatakan cukup unik. Selain letaknya di tepi Bengawan Solo, juga karena inskripsi beraksara Jawa di salah satu sudutnya. Jika diterjemahkan, inskripsi tersebut terbaca demikian;

PB (Pakubuwana) X.
21 Rejeb Alip.
Tumbuk Yuswa Dalem.
Kaping Kalih.

Monumen ini sengaja dibuat untuk memperingati usia ke-64 Sunan Pakubuwana X, terhitung tahun 1795–1859 kalender Jawa. Tampak aneh jika sebuah monumen peringatan usia seorang raja dibangun di tepi sungai. Usut punya usut, monument tersebut dibangun karena berada tepat di antara sisi utara Keraton Kasunanan Surakarta dan sisi selatan Pesanggrahan Langenharjo. 

Upacara perayaan digelar di kedua tempat tersebut, dihadiri ratusan tamu kenegaraan dan kolega Sunan Pakubuwana X. Lazimnya seorang raja, penyelenggaraan perayaan secara besar-besaran sebagai simbol prestise dan hegemoni atas kepemimpinannya. Tentunya bukan sang raja yang mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan, melainkan permaisuri, selir, dan keluargalah tokoh di balik upacara tersebut. 

Meskipun bukanlah seremonial yang diwariskan turun-temurun seperti jumenengan atau Malam 1 Suro, upacara itu tetap digelar secara mewah. Kami menduga, tokoh di balik pendirian monumen adalah para saudagar yang tinggal di sekitar bandar dagang Langenharjo kala itu. Sayangnya, kini bandar dagang Langenharjo sudah tidak lagi tampak keberadaannya, digantikan jembatan yang hanya menyisakan satu fondasi di tengah sungai.

Jejak Sejarah Bandar Dagang Langenharjo dan Tragedi 1965 di Tepi Bengawan Solo
Tugu Makutha Sunan Pakubuwana X dengan latarbelakang Jembatan Bacem baru/Ibnu Rustamadji

Jembatan Bacem Lawas, Saksi Bisu Tragedi Kemanusiaan 1965

Fondasi jembatan ini dulunya bagian dari fondasi utama Jembatan Bacem lawas, berada tepat di samping Jembatan Bacem baru yang menghubungkan Kota Surakarta dan Kabupaten Sukoharjo. Makutha Bacem, berada tepat di tengah-tengah kedua jembatan. Jembatan Bacem lawas dibangun jauh sebelum tahun 1965, sebagai penyambung urat nadi perdagangan selain harus melalui bandar dagang Langenharjo.

Keberadaan Jembatan Bacem lawas cukup penting kala itu, karena dapat memangkas waktu, memperluas jaringan perdagangan, dan memangkas biaya yang harus dikeluarkan oleh para pedagang. Terhubungnya jalan raya antarwilayah, turut memengaruhi eksistensi Jembatan Bacem lawas dan bandar dagang Langenharjo, setidaknya hingga awal tahun 1960. Meski begitu, bandar dagang Langenharjo tetap melayani perdagangan dan transportasi maritim untuk para pedagang yang masih mengandalkan keberadaan bandar dagang.

Perlahan tapi pasti, eksistensi bandar dagang Langenharjo kian terpuruk. Selain harus bertahan dari gempuran moda transportasi darat, juga harus bertahan dari banjir. Peristiwa banjir terbesar yang pernah tecatat di sepanjang aliran Bengawan Solo di Kota Surakarta, terjadi tahun 1866. Ketinggiannya mencapai tiga meter, akibat jebolnya tanggul di bandar dagang Lumbu (Kedung Lumbu).

Jejak Sejarah Bandar Dagang Langenharjo dan Tragedi 1965 di Tepi Bengawan Solo
Sisa fondasi Jembatan Bacem lawas (kanan) berdampingan dengan dua struktur Jembatan Bacem baru/Ibnu Rustamadji

Guna menyikapi peristiwa tersebut, pemerintah Belanda kala itu dibantu Keraton Kasunanan dan Pura Mangkunegaran berupaya mencegah peristiwa serupa dengan pembelokan aliran sungai Bengawan Solo. Tepatnya di bandar dagang Langenharjo melalui sebagian halaman depan Pesanggrahan Langenharjo di Desa Langenharjo. Tak ayal di halaman depannya terbentang tanggul tanah setinggi tiga meter, yang notabene tepi sungai Bengawan Solo.

Tahun 1965 menjadi titik balik nasib sial Jembatan Bacem lawas. Bagaimana tidak, jembatan yang digadang sebagai mahakarya kedua wilayah tersebut, menjadi tempat eksekusi terhadap warga yang diduga sebagai simpatisan Partai Komunis Indonesia di wilayah Karesidenan Surakarta. Sebelum akhirnya dieksekusi di jembatan ini, mereka terlebih dahulu dikumpulkan di Ndalem Sasanamulya di Kampung Baluwarti untuk diinterogasi dan ditahan sementara.

Para terduga simpatisan tersebut, sejatinya warga sipil yang tidak tahu-menahu mengenai partai komunis. Penangkapan dilakukan secara serentak, dan tanpa dilakukan peradilan untuk membuktikan letak kesalahan mereka. Banyaknya warga terduga simpatisan, membuat proses eksekusi berlangsung lebih dari dua bulan lamanya. Eksekusi mati dengan cara ditembak dilakukan di atas Jembatan Bacem lawas, kemudian jasadnya dibuang ke aliran sungai Bengawan Solo di bawahnya.

Menurut Heri, hingga pertengahan tahun 1965, warga Dukuh Bacem hampir setiap hari menghanyutkan jasad yang sering kali menumpuk di bawah jembatan menuju hilir. Hal ini mereka lakukan di bawah tekanan para eksekutor, dan demi menjaga arus supaya tidak terjadi banjir akibat tumpukan jasad. Warga lain memilih berdiam diri di kediaman masing-masing lantaran takut, karena hampir setiap hari terdengar suara tembakan yang berasal dari atas jembatan.

Korban tidak hanya warga sipil saja, tetapi juga ulama dan tokoh masyarakat yang diduga simpatisan dan berbeda pandangan dengan ideologi Pancasila. Mereka yang berhasil selamat dari eksekusi, biasa disebut dengan istilah tahanan politik (tapol). Meski begitu, mereka tetap disiksa selayaknya korban lain sebelum dieksekusi. Kini, jembatan sebagai saksi bisu tragedi kemanusiaan tahun 1965 telah hilang, menyisakan sebuah fondasi dan seluruh kenangannya di malam kelabu kala itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Ibnu Rustamaji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Ibnu Rustamadji

Ibnu Rustamadji

Biasa dipanggil Benu. Asli anak gunung Merapi Merbabu. Sering nulis, lebih banyak jalan-jalannya. Mungkin pengin lebih tahu? Silakan kontak di Instagram saya @benu_fossil.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menyusuri Bunker Setono, “Lorong Opium” di Kampung Laweyan Surakarta