TRAVELOG

Jejak Perlawanan Bung Karno di Bandung

Seharian pada Agustus 2022, saya sengaja menyempatkan waktu untuk menapaki jejak Sukarno di Bandung, Jawa Barat. Di Bandung, tak cuma berkuliah dan menemukan cinta sejati, Sukarno pun menanamkan gelora perlawanan terhadap kolonialisme.

Menurut Peter Kasenda,1 Bandung punya warna ideologis yang khas dibandingkan kota-kota lain. Di kota ini telah berkembang pemikiran bahwa tujuan pergerakan adalah kemerdekaan. Gagasan itu dikembangkan pemimpin Indische Partij. Kota Bandung menampilkan diri sebagai pusat alam pemikiran nasionalis sekuler.

Tempat yang pertama saya kunjungi adalah Institut Teknologi Bandung (ITB) di Jalan Ganesha. Pada 1921, Sukarno berkuliah di kampus yang dahulu bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng itu.

Rumah Inggit Garnasih

Tempat kedua yang saya kunjungi adalah Inggit Garnasih Historic House di Jalan Ibu Inggit Garnasih, Astanaanyar. Inggit adalah istri kedua Sukarno. Kisah asmara antara Sukarno dan Inggit dimulai ketika Sukarno tinggal di rumah Inggit, yang masih bersuami Sanoesi. Istilah sekarang indekos, saat hendak menempuh pendidikan di Technische Hoogeschool te Bandoeng tahun 1921.

Menurut Inggit,2 sebelum Sukarno tinggal di rumah mereka, Sanoesi yang merupakan seorang saudagar dan kader Sarekat Islam, mendapat surat dari salah seorang pemimpin Sarekat Islam, yakni HOS Tjokroaminoto. Di dalam surat itu, Tjokroaminoto meminta Sanoesi mencarikan tempat untuk Sukarno, yang tak lain menantunya. Sewaktu tinggal di rumah Inggit dan Sanoesi, Sukarno sempat membawa istrinya, Oetari, yang tak lain anak Tjokroaminoto untuk tinggal bersama di Bandung. 

Di Bandung, Sukarno berkenalan dengan tokoh-tokoh nasionalis, seperti Douwes Dekker, Tjipto Mangunkusumo, dan Ki Hajar Dewantara. Sukarno mulai sibuk berdebat dan bermusyawarah di rumah Tjipto atau Douwes Dekker. Dia juga kerap mengumpulkan teman-temannya di rumah Sanoesi.

Seiring waktu, hubungan Sukarno dan Oetari merenggang. Sukarno hanya menganggap, hubungannya dengan Oetari sebatas adik dan kakak. Sementara Inggit kerap ditinggal Sanoesi yang sibuk berdagang dan berorganisasi.

Sukarno akhirnya memutuskan berpisah dengan Oetari, yang dikembalikan ke Surabaya pada 1923. Di sisi lain, ia jatuh cinta kepada Inggit. Seizin Sanoesi, mereka akhirnya menikah pada 1923. Rumah yang kini menjadi Inggit Garnasih Historic House adalah rumah terakhir Inggit. Bukan rumah Sanoesi dan Inggit.

Sewaktu berumah tangga, Inggit dan Sukarno berpindah-pindah rumah. Mereka pernah tinggal di rumah orang tua Inggit di Jalan Javaveemweg. Lalu, menyewa rumah di Gang Jaksa. Kemudian di Jalan Pungkur dan Regentsweg atau sekarang Jalan Dewi Sartika.

Terakhir, mereka tinggal di Astanaanjarweg, yang kemudian berubah menjadi Jalan Ciateul dan berubah kembali menjadi Jalan Inggit Garnasih. Rumah yang sekarang menjadi Inggit Garnasih Historic House. Mereka tinggal di sini pada 1926. 

“Kebetulan waktu itu Bung Karno juga punya penghasilan dari semacam biro arsitek. Sebagian uangnya ditambahin sama Ibu Inggit (untuk membeli rumah ini),” kata juru pelihara Inggit Garnasih Historic House, Jajang.

Selain foto-foto Sukarno dan Inggit, di museum kecil ini pengunjung bisa membaca perjalanan asmara mereka dalam panel dinding. Ada juga informasi sekilas perjuangan Bung Karno di Bandung. Kemudian perabot rumah tangga, lemari, lampu gantung, meja, dan kursi peninggalan Inggit. Yang juga menarik di dalam museum ini adalah replika batu pipisan, yang digunakan Inggit untuk membuat ramuan jamu.

Setelah lulus sebagai insinyur, Sukarno mendirikan biro arsitek bersama kawannya, Anwari, pada 1926. Akan tetapi, nasib biro arsitek itu tidak bertahan lama karena Sukarno lebih fokus pada aktivitas politik.

Dikutip dari buku Her Suganda,3 bersama dosennya di kampus, yakni CP. Wolff Schoemaker, Sukarno pernah terlibat membantu merancang beberapa bangunan di Bandung. Misalnya, pada 1929 Sukarno merancang paviliun Hotel Preanger dan penjara Sukamiskin.

Selain itu, hasil karya rancangan Sukarno di Bandung, bisa dilihat dari rumah tinggal di Jalan Kasim, Jalan Kaca-kaca Wetan, Jalan Dewi Sartika, dan Jalan Pungkur. Lalu, bangunan tambahan pendopo Kabupaten Bandung, bangunan Bank Saudara di Jalan Dalem Kaum, dan sepasang bangunan di Jalan Gatot Subroto.

Jejak Perlawanan Bung Karno di Bandung
Monumen Penjara Banceuy/indonesiavirtualtour.com

Gedung-gedung Saksi Perlawanan Sukarno

Pada 1926, bersama-sama kawannya, ia mendirikan Algemeene Studie Club, yang terinspirasi Indonesische Studie Club yang dibentuk Dr. Soetomo di Surabaya. Peter Kasenda menulis, Algemeene Studie Club lebih menekankan kepada masalah-masalah politik ketimbang pendidikan. Organisasi itu menjadi cikal-bakal Partai Nasional Indonesia atau PNI yang dibentuk pada 4 Juli 1927. 

Di Bandung, Sukarno berpidato dan mengadakan kursus politik keliling hingga pinggiran kota. Menurut Her Suganda, di Bandung, Sukarno pertama kali mendapat sapaan “Bung” dari masyarakat yang mengagumi cara Sukarno menyampaikan gagasan. Pemikiran Marhaenisme pun diperoleh Sukarno di Bandung.

Selain aktif di dunia politik pergerakan kemerdekaan, Sukarno pun mendirikan majalah Suluh Indonesia Muda pada akhir 1927. Karena aktivitas politiknya, Sukarno ditangkap polisi Belanda di Yogyakarta pada akhir 1929. Dia lalu dibawa ke Bandung untuk ditahan di penjara Banceuy. Selnya di Blok F Nomor 5. Lebarnya hanya satu setengah meter dan tak ada jendela.

Penjara ini dibuka pertama kali pada 1877. Letaknya kini ada di Jalan Banceuy, tak jauh dari jalan utama. Sayangnya, sewaktu saya ke sana, penjaga sedang tak ada, sehingga saya tidak bisa masuk ke dalam. Hanya menelisik dari luar gerbang. Sel itu adalah satu-satunya yang tersisa, usai penjara dirobohkan untuk pembangunan pertokoan pada 1983.

Sekarang dinamakan Monumen Penjara Banceuy. Di depan gerbang menuju penjara itu, terdapat sebuah batu besar bertulis: “Lebih besar daripada orang-orang besar itu ialah ide yang bersemayam di dalam dada. Ide tidak bisa dikurung di dalam penjara. Pemimpin badaniah bisa dikurung di dalam penjara, tetapi ide besar yang bersemayam di dalam ia punya dada tidak bisa dikurung di dalam penjara.”

Prasasti itu ditulis Sukarno pada 3 April 1958. Ada panel dinding riwayat Sukarno di kiri-kanannya. Lalu, dari kejauhan saya melihat patung Sukarno berwarna emas tengah duduk dan menulis, persis di sebelah penjara. Dari penjara inilah naskah pleidoi “Indonesia Menggugat” ditulis.

Dari Monumen Penjara Banceuy, saya ke Gedung Indonesia Menggugat. Di masa kolonial, gedung ini adalah pengadilan Landraad Bandung, yang menjadi saksi disidangkannya Sukarno, Gatot Mangkoepradja, Maskun, dan Supriadinata pada 1930. Di sini, Sukarno membacakan pleidoinya berjudul “Indonesia Menggugat” yang terkenal itu, sebelum hakim memvonisnya empat tahun penjara.

Jejak Perlawanan Bung Karno di Bandung
Halaman Gedung Indonesia Menggugat/Instagram @gedungindonesiamenggugat1930

Gedung Indonesia Menggugat ada di Jalan Perintis Kemerdekaan. Sewaktu masuk, sebuah sudut dinding tertulis, “Yang dituntut tahun 1930: Ir. Soekarno, Maskoen, Soepriadinata, Gatot Mangkoepradja. Pembela: Mr. Sastromoeljono, Mr. Sartono.”

Ada foto-foto tokoh yang diadili serta kliping koran soal peristiwa pengadilan Sukarno dan kawan-kawannya. Masuk ke salah satu ruangan, ada ruang sidang lengkap dengan meja dan kursi hakim.

Sukarno kemudian dimasukkan ke penjara Sukamiskin, yang sekarang ada di Jalan A.H. Nasution. Hukumannya dipotong karena terjadi kritik dari berbagai kalangan. Dia bebas dari penjara pada akhir 1931. 

Lalu, karena aktivitas politiknya, dia kembali ditangkap. Pada akhir 1933, Bung Karno diasingkan ke Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Bagaimana dengan rumah mereka? Nasib rumah Sukarno dan Inggit sendiri, menurut penuturan Jajang, dijual saat Bung Karno diasingkan.

“Karena Ibu Inggit berpikir, biasanya orang yang sudah diasingkan, tidak akan kembali lagi ke tanah kelahirannya. Sehingga Ibu Inggit berinisiatif menjual semua kekayaan yang ada di Bandung untuk bekal di pengasingan,” ucap Jajang.

Kemudian, rumah itu kembali ke Inggit, setelah mereka bercerai pada 1943 karena menolak dipoligami. Untuk membelinya kembali, menurut Jajang, tak lepas dari bantuan teman-teman seperjuangannya.

“Ibu Inggit meminta kalau bisa tanah dan rumah yang pernah saya jual dulu dibeli kembali karena saya ingin menghabiskan sisa hidup saya bersama kenangan indah waktu bersama Bung Karno,” tutur Jajang.


  1. Peter Kasenda, Sukarno Muda: Biografi Pemikiran, 1926-1933 (Depok: Komunitas Bambu, 2014). ↩︎
  2. Ramadhan KH, Soekarno: Kuantar ke Gerbang, (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2014). ↩︎
  3. Her Suganda, Jejak Soekarno di Bandung, 1921-1934 (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2017). ↩︎

Foto sampul: Hotel Preanger Bandung yang arsitekturnya mendapat sentuhan Bung Karno (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Jurnalis, tinggal bersama istri di Jakarta. Gemar membaca dan jalan-jalan.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Jejak Raja Gula dari Semarang