Malam minggu yang monoton seperti biasanya: keramaian di Alun-alun Trunojoyo, Monumen Trunojoyo, dan Taman Bunga Adipura kota Sampang. Beberapa perupa, yang tergabung dalam komunitas Kelompok Perupa Sampang (KPS), menjadi penyegar dengan berkumpul dalam kegiatan kegiatan pameran di Gedung Perpustakaan Umum Daerah (Perpusda) Sampang. Gedung Perpusda, selain sebagai ruang baca yang menyediakan aneka referensi kepada pembaca, juga menyediakan ruang untuk kepentingan publik. Gedung yang cukup megah dengan empat lantai dan belum genap setahun diresmikan, akhir tahun lalu bekerja sama dengan KPS untuk kegiatan pameran lukisan.
Pameran yang bertajuk Titik Balik #5: Jalan Terus digelar di ruang perpustakan daerah dan berlangsung dari 23 Desember 2023 sampai dengan 3 Januari 2024. Penyelenggaraan pameran tersebut diinisiasi oleh komunitas KPS. Sebuah agenda akhir tahun yang rutin dilaksanakan dan kali ini merupakan tahun kelima. Titik Balik #5: Jalan Terus merupakan agenda untuk menghidupkan denyut berkesenian di Kabupaten Sampang, Madura. Beberapa seniman yang memamerkan karyanya antara lain Chairil Alwan, Hendri R. Sidik, Nanang N., Hermansyah, Doel, Kuntet, Jupri, Abdul Hamid, Satuman, Indah F. Nanggala, dan Hidayat Raharja—penulis.
Lukisan kaligrafi “Kontemporer” karya Hermansyah dengan cat akrilik di atas media kanvas (paling kiri) serta “Tumbuh Suri” dan “Tak Pecah” karya Indah F. Nanggala dengan bahan dan media serupa/Hidayat Raharja
Dari pintu masuk kita berhadapan dengan kaligrafi karya Hermansyah. Lukisan-lukisan dengan warna hijau dominan, kuning, cokelat, merah, dan potongan ayat suci di antara lanskap yang melatarbelakangi lukisan. Karya berjudul “Kontemporer” itu menggambarkan langit dengan pendar galaksi bertabur di langit malam dan di bawahnya lukisan alam terbentang dengan warna cerah dan hidup. Alam hijau nan indah dan tulisan kaligrafi bahasa Arab, yang mengutip ayat Alquran mengenai janji penyerahan hidup dan mati manusia serta kehidupan ini; Inna sholati wanusuki wamahyaya wamamati lillahi robbil alamin. Juga dua lukisan lainnya yang terpajang di ruang lobi tersebut cukup menarik karena merupakan salah satu karya santri dari Pondok Pesantren Assirojiyyah—Jalan Pemuda Sampang. Kehadiran santri dalam kegiatan pameran ini menandakan bahwa seni rupa (kaligrafi) tumbuh di Sampang.
Di samping karya Hermansyah, terdapat dua lukisan berukuran agak besar karya Indah F. Nanggala. Pelukis perempuan yang masih menempuh pendidikan di semester tiga program studi Komunikasi di Universitas Trunojoyo Madura. Karyanya didominasi dengan warna-warna menyala dengan berbagai bentuk figuratif bagian-bagian tubuh. Salah satu karyanya yang berjudul “Tumbuh Suri” merupakan deformasi bentuk tubuh dengan kepala besar dan tubuh yang kerdil terasa ganjil dan jenaka; menjadikan karya-karya Indah cukup satire dan memberikan ruang eksplorasi yang lebih leluasa. Dalam lukisannya tidak terlihat lagi bentuk tubuh yang formal, tetapi secara objek terlihat bagian-bagian tubuh yang mengalami deformasi. Sebuah pilihan untuk menempuh jalan lain dalam mengungkapkan wujud dari realisme ke bentuk formal simbolik.
“Ajal” karya Hendri R. Sidik dengan pewarnaan aquarel di atas kanvas (kiri) dan lukisan tiga dimensi “Apa Kabar Para Badut” karya Nanang N. dengan media kertas/Hidayat Raharja
Kemudian “Ajal” karya Hendri R. Sidik, kali ini menampilkan tiga lukisan kecil dengan karakteristiknya yang unik. Jalinan garis yang saling berkelindan membentuk objek yang sesak, saling bergesek dan menindih sehingga tampak seperti mesin yang berdengung menyampaikan kebisingan dalam diri. Kadang terasa garis-garis itu seperti organ dalam tubuh yang tengah bergerak melakukan metabolisme. Seperti juga hidup yang terus-menerus mencerna dan memberikan makna pada berbagai persoalan tiada henti sampai ajal tiba, untuk mematikan semua alarm kehidupan dalam tubuh.
Bergeser ke karya Nanang N., ia melukis bentuk tiga dimensi dengan judul “Apa Kabar Para Badut”. Sebuah karya berupa topeng wajah berwarna putih bersih dengan mata, mulut, dan hidung yang semuanya berlubang. Lubang gelap yang tidak lagi bisa menjalankan fungsinya. Pertanyaan yang amat sederhana terhadap hidup kita yang dipenuhi topeng badut di simpang jalan dan kadang terasa satire. Kabar di tengah kegaduhan politik menjelang pemilihan presiden. Pertanyaan ini seperti menyusup ke dalam daging diri sendiri.
Tak hanya itu saja. Beranjak ke lantai dua, terpajang karya-karya Chairil Alwan, Satuman, Jupri, dan Abdul Hamid.
Tiga karya Chairil Alwan berjajar senada. Karya yang terasa kekhasannya dengan bentuk tubuh-tubuh yang tunduk dan bersujud. “Putus” adalah lukisan dengan warna yang simpel: hitam, putih, cokelat, dan hijau saling menopang. Bentuk orang-orang yang tunduk, serta beberapa orang melayang dan merangkul bahu. Seperti melambangkan manusia yang tunduk dan bersama. Hampir di setiap lukisan Chairil Alwan terlihat daun berwarna hijau, berpadu dengan daun warna hitam atau cokelat, seperti perbedaan kontras yang bersama-sama melayang. Gambaran bahwa baik yang masih muda ataupun yang sudah tua (kering) akan tiba waktunya jatuh mencium tanah. Lukisan dengan filosofi mendalam tentang manusia dan kehidupan. Bahwa yang hidup (yang bernafas) akan mati, sebagaimana dijelaskan dalam kitab suci.
Adapun Satuman memamerkan lukisan-lukisan dengan dominan warna kuning, berupa deformasi bentuk manusia yang terkesan karikaturis-naif, seperti melukiskan kefanaan ini. Seseorang yang tengah sedih memainkan biola, dedaunan hijau berguguran, dan seekor kucing bersimpuh di dekatnya. Latar yang membuat pandangan semakin sendu terasa pada lukisan “Sang Pangeran I”. Kesenduan yang terasa liris memainkan irama hati. Kegalauan yang mengalir mengikuti gesekan biola yang bertumpu di bahu kiri. Tubuh telah kehilangan penglihatan dan pendengarannya karena yang mendengar bukan lagi telinga, melainkan hati yang bersemayam dalam diri. Ada tiga lukisan karya Satuman dalam pameran ini dan semuanya berjudul “Sang Pangeran I—III”.
Pada lukisan “Sejenak” karya Abdul Hamid, memiliki makna yang cukup filosofis dengan tampilan tubuh memanjang, lalu ada perahu, laut, ikan, dan langit, seperti menggambarkan mimpi-mimpi yang bergelayut dalam hidup ini. Hidup yang tak sekadar apa yang tampak, tetapi juga apa-apa yang tidak tampak. Hidup yang telah meleburkan antara batas-batas, sehingga sebenarnya kita hidup di alam luas dan bersentuhan dengan aneka makhluk pemberi makna dalam kehidupan. Sebuah nyanyian yang saling bersinergi membangun komposisi dan narasi dalam sebuah simfoni syahdu.
Sementara penulis dalam “Riwayat Undangan”, memanfaatkan limbah kertas undangan manten sebagai wadah untuk menuangkan ide-idenya dengan menggunakan bahan berbagai media. Ada sekitar dua puluh karya di atas kertas undangan tersebut dengan berbagai visual yang terasa muram. Undangan yang dibuat dari kertas berkualitas bagus dan desain yang baik, tetapi setelah dibaca langsung dibuang ke tempat sampah. Undangan sebenarnya memiliki riwayat budaya di masyarakat Madura dengan berbagai pesan yang terus tumbuh. Dulu undangan disertai dengan gambar suvenir yang menandakan sohibul hajat menerima sumbangan kado. Lambat laun berkembang dalam undangan bergambar paruh burung mematuk amplop dan dimasukkan ke dalam celengan, sebagai maksud hanya menerima sumbangan uang.
Secara keseluruhan pameran Titik Balik #5: Jalan Terus memiliki utas karya senada, yaitu karya-karya yang umumnya mengarah ke dalam diri. Karya tidak hanya sekadar menonjolkan visual, tetapi juga membawa pesan filosofis sebagai pengingat kemanusiaan kita yang telah hilang digerus arus materialisme. Jalan terus, jalan yang harus ditempuh Kelompok Perupa Sampang untuk mencari identitas dan menguatkan spiritualitas.
Foto sampul:
Pengunjung pameran melihat lukisan “Sang Pangeran I” dan “Sang Pangeran II” di atas medium printing canvas karya Satuman/Hidayat Raharja
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.