Mendung menggelayut saat saya tiba di belokan Terminal Cirendang, Kuningan, Minggu (8/12/24). Waktu menunjukkan pukul 09.30 WIB. Saya lanjut tancap gas supaya tidak kehujanan di jalan.
Rute menanjak jadi tantangan setiap pemotor di jalur arah Dusun Palutungan, Desa Cisantana, Kecamatan Cigugur. Mesti lihai main gas dan rem karena banyak belokan tajam.
Kecepatan saya cukup untuk menyalip beberapa city car. Melaju kencang hingga masuk pertigaan jalan baru. Terus menanjak melewati Rageman Resto. Sampai tiba-tiba, crak crak crak… Terdengar sesuatu dari bagian mesin. Saya gas, motor diam saja. Saya pun minggir. Sedan hitam yang baru saja disalip, balik mendahului.
Saya dorong motor ke warung bakso yang berjarak sepuluh meter di depan. Dugaan saya rantai karetnya putus. “Bengkel terdekat di mana, Teh?” tanya saya pada pemilik warung.
“Di depan SMK. Balik turun, pertigaan ke kiri lurus terus.” Karena jauh, si teteh mempersilakan saya menitip motor di warungnya, yang langsung saya iyakan.
Saya berupaya mencari tumpangan dengan mencegat pengendara baik hati. Setelah sempat pesimis menanti motor tanpa penumpang, kemudian lewat pengendara Beat hitam, melaju pelan sendirian. Cepat saya cegat dengan gerakan tangan penuh semangat. Alhamdulillah, ia berhenti. Saya dekati, “Ikut ke atas.” Dia merespons dengan membuka pijakan kaki pembonceng. “Ya, mangga.”
Syukurlah, saya tetap bisa ke Palutungan. Saya diantar hingga gerbang lawas Bumi Perkemahan Ipukan. Saya lanjut jalan kaki ke basecamp Cadas Poleng, tempat registrasi pendakian Gunung Ciremai. Saya mengurus perizinan hiking ke Pos 1 Cigowong.
Berlaku Tarif Baru
Kabut menyambut saya di Cadas Poleng. Petugas ramah melayani. “Sekarang ada penyesuaian tarif, Kang. Berlaku aturan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang baru,” terangnya. Saya sampaikan mau olahraga ke Cigowong. Dia menyobek tiga lembar tiket. “Jadi 30 ribu,” kata lelaki bernama Akoy itu.
“Mahal juga, ya?” saya sedikit protes.
“Iya, Kang. PNBP-nya naik. Sebelumnya 25 ribu,” ucapnya sambil tersenyum khas urang Sunda. Saya terima tiga lembar tiket yang diklip, terdiri dari Mitra Pengelola Pariwisata Gunung Ciremai (MPPGC) Rp19.500, asuransi Eka Warsa Bumiputera Rp500, dan karcis masuk wisatawan nusantara Taman Nasional Gunung Ciremai (TNGC) Rp10.000.
Setoran ke pemerintah ada di tiket TNGC sebagai PNBP. Kenaikan ini berlaku serentak di sejumlah taman nasional. Bagi saya pribadi, lonjakan tarif cukup memberatkan. Apalagi harga tiket untuk semua jalur pendakian Gunung Ciremai kini 120 ribu per orang. Padahal sebelumnya “hanya” 75–80 ribu, termasuk biaya cek kesehatan.
“Betul, tidak semua bisa menerima penetapan tarif baru ini,” ujar Akoy memahami kegundahan saya dan pendaki lainnya yang ‘sehati’. “Kami paham, daya beli semua orang berbeda,” lanjutnya coba menghibur.
Tingkat Kunjungan Menurun
Menurut Akoy, tarif baru berimbas pada jumlah pengunjung TNGC via Palutungan. “Jelas, Kang. Turun drastis,” ucapnya.
Ia membandingkan sebelum pemberlakuan PNBP baru per 30 Oktober 2024. Biasanya akhir pekan terdata seratusan pendaki. Belum lagi yang tektok—mendaki tanpa bermalam. Tambah pengunjung yang hiking ke Cigowong.
“Bisa 200–300 orang kalau weekend. Sekarang di bawah seratus. Turun lima puluh persen,” timpal petugas lainnya, Sandi Baron.
Per 22 Oktober 2024, pengelola basecamp Cadas Poleng membatasi pula pendaki tektok. Semakin menyaring jumlah pengunjung. Belakangan ini pendakian tektok booming. Tak sedikit yang hanya coba-coba. Kebanyakan remaja baru kenal aktivitas alam terbuka tanpa pengetahuan memadai, sekadar ingin eksis di media sosialnya.
“Kalau tidak kami perketat, bahaya. Tapi yang profesional, sudah biasa [tektok] tetap dibolehkan,” tambah Baron.
Membelah Hutan Pinus, Menikmati Kesendirian
Pukul 10.05 WIB, saya mulai melangkah. Target sebelum zuhur sudah sampai Cigowong. Jaraknya 3,4 kilometer. Pengalaman mendaki Oktober lalu, butuh 1,5 jam dengan carrier “kulkas”. Sekarang saya kejar 60 menit saja. Hanya bawa daypack berisi sebotol air, pakaian ganti, dan jas hujan.
Tanjakan Beunta mengadang begitu masuk pintu rimba. Panjangnya kurang dari seratus meter, tetapi dijamin membuat kita langsung terjaga dan waspada. Beunta (Sunda) sama dengan melek (Jawa), alias buka mata.
Beberapa pengunjung berpenampilan ala pendaki tektok turun. Mungkin mereka start hiking pagi sekali. Gayanya celana legging, kaus baselayer, menyandang hydrobag, menggenggam trekking pole, dan memakai sepatu trail run warna-warni. Sebuah fenomena kekinian, yang tak saya jumpai di era pendakian dekade awal tahun 2000-an.
Tegur sapa menjadi momen menyenangkan bila berpapasan sesama penggiat alam terbuka. Saya fokus melangkah sambil mengatur ritme napas. Jantung berdegup kencang. Keringat keluar. Itu tadi, jaraknya sedang saja hingga di ujung tanjakan, tetapi membuat kita beunta.
Trek selanjutnya datar lalu menanjak perlahan, memasuki kawasan hutan pinus (Pinus merkusii) yang lebat. Tanpa teman perjalanan, saya sudah menyiapkan diri menikmati suasana hening ini. Paru-paru menyerap dengan baik oksigen segar di alam. Betapa hutan sangat berharga bagi manusia. Kelestariannya jangan sampai dirusak.
Tak perlu khawatir salah jalur. Papan penunjuk arah banyak tersebar. Di sebuah percabangan, tanjakan berbatu siap dilewati. Seorang anak muda turun. “Masih banyak orang, kan, di atas?” tanya saya. Dia mengangguk. Saya memastikan di kedalaman rimba, masih bisa jumpa pengunjung lain.
Setelah tanjakan, langkah kaki kembali menembus setapak hutan pinus. Kali ini banyak batang pinus yang disadap getahnya. Sejak lampau getah pinus bernilai ekonomis sebagai bahan pembuat terpentin, cat, dan kosmetik.
Bertemu Pengunjung Lain
Sinar mentari belum mau menyentuh tanah. Langit tertutup mendung. Ketinggian bertambah. Jalan terus menanjak, tapi tak curam. Asyik dinikmati sambil sesekali berhenti, foto sana-sini. Memandangi rimbunnya hutan di seberang lembah. Oh, Ciremai, betapa hijau dan luasnya engkau…
Sampai kemudian terlihat pengunjung lain yang mengarah naik pula. Semakin dekat, ternyata seorang ibu membawa tiga anak perempuan, ditemani dua keponakan lelaki. Mereka rehat sejenak. Kami saling menyapa. “Ini, Pak, biar enggak main hape aja,” cerocos si ibu, mengungkap alasan membawa buah hatinya hiking. “Sampai ketemu di Cigowong,” balas saya seraya meneruskan langkah.
Vegetasi mulai bervariasi. Pinus masih mendominasi, bercampur dengan pepohonan khas hutan hujan tropis, seperti pakis raja (Angiopteris evecta), rasamala (Altingia excelsa), jamuju (Podocarpus imbricatus), Ki Putri (Podocarpus neriifolius), sarangan (Castanopsis argentea), dan puspa (Schima wallichii).
Saya tiba di puncak punggungan yang terbuka. Lokasi ini ideal untuk orientasi medan—mengenal tanda sekitar yang mencolok seperti puncak bukit, punggungan atau lembahan—untuk selanjutnya melakukan resection (menentukan titik di mana kita berada di kontur peta). Demikian ilmu navigasi darat yang pernah saya pelajari di Mapala UMY, dua dekade silam.
Tak terasa sudah separuh perjalanan terlewati. Jalur lantas menurun, menuju sungai berbatu yang sedang kering. Kalau hujan deras, dipastikan air mengalir di sini. Terdapat cerukan cukup dalam. Awas, jangan sampai terpeleset.
Menanjak sedikit ke atas sungai kering, jalur pindah punggungan. Saya menyusuri setapak tanah yang gembur bekas tersiram hujan, berpapasan dengan banyak pengunjung yang turun. Terdengar suara-suara orang tertawa. Sepertinya Cigowong sudah dekat. Sebuah tanjakan panjang terbentang. Jalurnya lebar, tapi di tengahnya menganga. Bekas roda motor ojek gunung yang dikelola warga lokal.
Pertarungan otot betis versus tanjakan pamungkas tak terelakkan. Saya menggenjot langkah tanpa henti, sampai akhirnya Pos 1 Cigowong terlihat. Gembira rasanya menempuh titik 1.450 mdpl satu jam saja.
Sekelompok gadis ayu foto bareng di pos ojek dekat gerbang masuk. Mereka serius mengabadikan momen. Memasang timer otomatis di ponsel yang dicengkeram tripod, ingin semua kawan tampil lengkap dalam satu bingkai.
Keringat saya bercucuran. Riuh tawa dan obrolan seru menyambut di area perkemahan. Pengunjung memenuhi pinggiran warung. Saya menuju sebuah bangku di bawah pohon besar yang batangnya berlumut. Menikmati suasana hutan, menenangkan pikiran, menarik dan mengembuskan napas. Berulang kali. Merelaksasi tubuh sebisanya. Menghirup oksigen alami sebanyak mungkin.
Saya sempatkan mengitari sekeliling, lalu mengisi ulang botol minum dengan air yang mengalir lewat pipa dari sumber mata air. Begitu menenggaknya dahaga sirna. Air dingin membasahi tenggorokan. Nikmat sekali.
Niat makan siang di warung Cigowong saya urungkan. Sudah 20 menitan, saya segera turun gunung. Saya tidak melihat ibu yang membawa anaknya tadi. Mungkin mereka kembali ke bawah sebelum mencapai tujuan.
Senang bisa jalan pagi ke Cigowong. Aliran darah terasa lancar, otot kaki menguat, dan terbayang makan siang di warung Cadas Poleng. Di tengah kegembiraan itu, petualangan lainnya menanti: saya mesti cari tumpangan turun, mengambil motor di penitipan, lalu mencari bengkel terdekat untuk memperbaiki motor supaya bisa pulang ke rumah. Ah, hari yang penuh tantangan sekaligus tak terduga.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.