Sabtu kemarin di tanggal cantik 10102020 seharusnya aku dan teman-teman pulang naik kereta lokal jurusan Cicalengka-Padalarang dari Stasiun Kiaracondong. Sayang, gara-gara aku terlambat kami gagal menumpang kereta itu. Aku tiba di stasiun dua menit setelah kereta berangkat.
Kalau mau menunggu kereta berikutnya yang berangkat dari Kiaracondong, kami mesti bersabar sampai setengah tiga. Tapi, aku dan teman-teman malah memilih naik angkot ke Jalan Jakarta untuk menumpang bus kota jurusan Cicaheum-Cibeureum.
Namanya Bandung saat weekend, apalagi tengah hari, tentu akan terasa kemacetannya. Aku, satu orang teman pria, dan empat teman wanita sewaktu SMA yang sudah hampir masuk usia setengah abad ini mau tak mau harus menikmati kenyataan itu. Ternyata kami tetap gembira dan masih bisa groupie dalam kesemarakan Bandung siang itu.
Setelah berbulan-bulan harus tinggal di rumah saja, tentu perjalanan ini jadi momentum menarik. Temanku yang seorang guru TK, Dedeh namanya, berinisiatif: kenapa tidak menggunakan kesempatan itu untuk jalan-jalan seputaran Kota Bandung? Kebanyakan dari mereka sebenarnya orang Bandung. Pastilah mereka sudah terbiasa dengan kota itu. Tapi pandemi ini membuat semua orang kurang piknik sehingga kota yang sudah familiar pun jadi tampak menarik. Aku hanya tersenyum-senyum saja menanggapi ajakan itu.
Turun dari angkutan kota, kami menunggu kedatangan bus kota yang dimaksud seraya foto-foto bareng di pinggir Kiara Artha Park yang diresmikan setahun yang lalu itu. Siang itu taman sepi. Hampir dua puluh menit menunggu, kendaraan umum milik pemerintah itu tak kunjung datang. Yang muncul justru bis kota ukuran tiga perempat Trans Metro Bandung yang menempuh trayek berbeda, yakni Antapani-Stasiun Bandung. Ketika kondektur menawarkan pada kami untuk naik busnya, kami mengangguk. Kami sudah sepakat bahwa pulang urusan belakangan. Yang penting bisa jalan-jalan dulu di Kota Bandung.
Kondektur bus itu lalu cerita bahwa Jalan Jakarta sejak pagi ditutup karena sedang ada pekerjaan pembuatan jalan layang di sana. Raut cemas tampak dari wajah sahabatku, Alis, sebab, pertama, ia harus mengambil rapor anaknya dan, kedua, akan ada acara haul di rumahnya. Tapi mau bagaimana lagi. Ketimbang pulang sendiri, ia memilih ikut saja jalan-jalan naik bus kota itu.
Yang kemudian membuatku heran, penumpang bus itu cuma kami. Usut punya usut, sang kondektur lalu bercerita kalau trayek baru Trans Metro Bandung yang sudah dicanangkan sejak satu tahun lalu itu ternyata sepi peminat, padahal jalur yang dilalui termasuk jalan-jalan protokol. Perjalanan bus hari itu, menurut sang kondektur, cuma formalitas saja agar mereka dianggap bekerja.
Seorang teman dari Cimahi mendadak heran melihat ada lembaga pemasyarakata di Jalan Jakarta. Kubilang itu penjara namanya LP Kebonwaru tempat dulu Ariel Noah sempat mendekam setelah terjerat skandal video porno. Kemudian sang teman bertanya, kalau para koruptor di mana penjaranya? Kujawab: LP Sukamiskin. Kukasih bonus begini: kalau yang terlibat narkoba di LP Banceuy, Jalan Soekarno-Hatta.
Kami mesti terjebak macet hampir empat puluh lima menit di sekitar Jalan Jakarta—proyek yang dibilang kondektur tadi. Beruntung bus itu ber-AC sehingga kami tak kepanasan. Teman-teman wanita masih bisa selfie ria seolah-olah lupa umur. Sudah tuir tapi kalau jalan-jalan seperti ABG. Senda gurau dan obrolan asyik terus mengalir menghiasi perjalanan. Kami bisa leluasa karena tak ada penumpang lain dalam bus. Perjalanan naik bus itu seperti menghibur kami yang baru saja ketinggalan kereta—dan mungkin mengalihkan kekesalan mereka atas keterlambatanku.
Ketika berbelok ke Jalan Sukabumi, terlihat gedung megah tempat wakil rakyat bekerja, yaitu Kantor DPRD Kota Bandung. Di depannya adalah markas pemadam kebakaran Kota Bandung yang bersebelahan dengan Dinas Perhubungan Provinsi Jawa Barat. Tentu saja Ike, temanku yang sudah lama tak keliling Kota Bandung, terheran-heran dengan perubahan yang terjadi di Kota Kembang itu. Ia terakhir kali melihat daerah itu sewaktu kuliah.
“Usia kamu sekarang ‘kan 48 tahun,” aku menanggapi. “Dua puluh delapan tahun kamu tidak tahu daerah ini, pasti, dong, banyak perubahan.”
“Untungnya ada kesempatan bisa keliling,” ujarnya. Naik bus ini bikin dia tahu bagaimana Bandung di masa kini.
“Ya, sekali-kali kita adain [jalan-jalan] bareng teman yang lain. Bosen aja seharian ngajar TK di rumah,” Dedeh ikut menimpali percakapan kami berdua. “Biar aku sudah punya cucu dua dan anak yang masih empat tahun, tapi aku butuh jalan-jalan juga kalee.”
Ide yang bagus dan kupikir harus diwujudkan, sebab kami perlu jalan-jalan juga di tengah pandemi ini, sekadar melepas lelah setelah melaksanakan tugas-tugas harian. (Saat itu Kota Bandung sebenarnya masuk zona merah, tapi kami tetap berusaha menjaga protokol kesehatan agar tidak terpapar COVID-19.) Perjalanan naik bus kota jelas lebih asyik ketimbang memikirkan kapan pandemi ini akan berakhir.
Ketika bus kota memasuki kawasan Jalan R.E. Martadinata, kami melihat jejeran factory outlet yang menjual pakaian-pakaian bermerek. Kafe dan restoran juga banyak. Rupanya bus Trans Metro Bandung itu lewat Jalan Ir. H. Juanda—yang lebih dikenal sebagai Jalan Dago—lalu belok ke Jalan Merdeka melewati Balai Kota Bandung. Bis berusaha mengejar pukul 14.00 WIB agar bisa masuk kawasan Jalan Asia-Afrika, sebab jalan itu akan ditutup guna mencegah menumpuknya kendaraan dan manusia.
Alun-alun Kota Bandung dan tamannya tampak sepi. Dua orang teman dari Cimahi memilih turun di tempat itu. Mereka hendak melanjutkan perjalanan ke Cimahi menggunakan angkutan lain. Selain itu, rupanya mereka ingin jalan-jalan ke tempat lain dulu sebelum pulang ke rumah masing-masing.
Setelah berhenti sebentar, bus melanjutkan perjalanan. Sekitar lima belas menit kemudian, setelah memutar sedikit, akhirnya bus sampai di Stasiun Bandung. Kami berhenti di sana. Sang kondektur tak menagih ongkos. Namun, kebaikan awak Trans Metro Bandung itu membuat kami menyodorkan Rp24.000 ke tangan sang kondektur.
Sebelum berpisah, Dedeh mengajak kami membeli rujak, lalu foto-foto bareng sebentar di depan bus Trans Metro Bandung sembari menunggu angkutan kota yang akan membawa kami ke tujuan masing-masing.
Naik bus menembus kemacetan Kota Bandung akhir pekan ternyata menyenangkan. Perjalanan itu terasa semakin istimewa karena bisa kembali mengakrabkan aku dan teman-teman yang selama ini jarang bersua.