Semua dari kita pernah (merasa) tersesat dan semua dari kita selalu dalam perjalanan mencari jati diri. Entah karena kita masih meragukan tujuan hidup kita, atau sekedar melipir dari kehidupan yang penuh hura-hara. Berdiri tegak dan melawan dunia. Begitulah kira-kira pemikiran kita bekerja. Dulunya pemikiran seperti ini pernah diinisiasi kaum hippie yang memimpikan tatanan dunia baru, menghancurkan tembok kehidupan yang mengekang, hidup nomaden dengan kebebasan yang sebebas-bebasnya.
Musik rock, rambut gondrong, seks bebas, pakaian mencolok, dan obat-obatan terlarang adalah ciri khas kaum hippie.
Buku Paulo Coelho yang berjudul Hippie merupakan salah satu novel yang mengangkat tema kehidupan para hippie. Paulo Coelho pada masa mudanya merupakan orang yang menyukai kebebasan dan cinta. Pengalamannya sebagai kaum hippie membawa dia jauh ke berbagai belahan dunia, berkelana ke Eropa dan Asia. Novel ini merupakan pengalaman langsung oleh Paulo muda namun dikemas dari sudut pandang orang ketiga.
Buku ini dimulai dengan penggalan puisi dari sastrawan Bengali peraih nobel bidang sastra, Rabindranath Tagore.
Puisi ini seakan-akan merangkum kisah buku ini dalam beberapa kalimat yang indah, dan tentunya berhasil membuat saya semakin penasaran dengan halaman demi halamannya.
Prolog dibuka dengan pemaparan Paulo tentang kehidupan kaum hippie; digandrungi pemuda, dibenci orang tua. Surat-surat kabar selalu memojokkan pemberitaan tentang hippie dengan berbagai penafsiran “kelompok berbahaya” yang merusak generasi muda dengan gaya hidup sembrono. Tetapi eksistensi hippie justru semakin menjamur, meski terkesan masih ‘di bawah tanah’. Komunitas hippie bermunculan dan terjalin antar negara dan benua dan melakukan perjalanan antar negara dengan kondisi ‘memprihatinkan’. Tujuan-tujuan populer kaum Hippie saat itu yang dipopulerkan oleh koran siluman—begitu Coelho menyebutnya untuk paduan kaum hippie—adalah Machu Picchu, Tiahuanaco, dan Lhasa, dan juga Kathmandu.
Karla (salah satu tokoh utama dalam buku ini) juga mengawali perjalannya sebagai hippie untuk menumpang sebuah magic bus yang berangkat dari Amsterdam, melewati berbagai negara, hingga tujuan akhir Kathmandu. Karla sedang berusaha mencari partner perjalanannya dengan menemui beberapa pria, tetapi dia tidak merasa cocok dengan satupun dari mereka.
Karla kemudian mendatangi seorang peramal karena sudah tidak karuan akan nasibnya yang mencari sejawat dalam perjalanan ke Kathmandu.
Cerita kemudian beralih ke Paulo dan seorang temannya yang sedang menuju Belanda yang masih gamang akan nasib mereka. Adegan berlanjut flashback Paulo saat di Brazil bersama teman wanitanya, menyusuri La Paz dan untuk pertama kalinya bertemu dengan kamu hippie. Pengalaman berkelananya ini diakhiri dengan kejadian yang tidak menyenangkan, yang tentu saja masih membayang-bayanginya.
Pertemuan Karla dan Paulo adalah takdir. Takdir menjadi seorang pengembara dalam tudung “hippie”. Sudut pandang orang ketiga membuat Paulo bisa memberi kesan dari sudut pandang Karla maupun dia sendiri, membuat cerita dari seakan mengalir dari dua keran yang berbeda. Ketika mereka berdua bertemu, cerita sesungguhnya dimulai. Konflik yang dihadirkan antara dua tokoh utama ini terasa ego-sentris, pemberontakan khas anak muda, dan mampu memancing pembaca untuk membuka lembar demi lembar hingga buku ini habis. Semisal ketika mencari pemaknaan surga—yang menurut pandangan barat terasa menjemukan—ke arah timur yang berbeda perspektif, kebosanan akan kehidupan barat yang materialistis, hingga pencapaian spiritual yang tak disangka.
Paulo muda yang gamang terus menerus mendapatkan pelajaran mengenai cinta, kehidupan, dan spiritualitas. Pengalaman ini juga yang membentuknya menjadi penulis besar saat ini. Berhasilkah Paulo dan Karla menuju Kathmandu? Bagaimana mereka menangani konflik yang terjadi di antara mereka?
Buku ini sekilas adalah buku perjalanan Paulo muda dari Brazil, Amsterdam, hingga Kathmandu tetapi lebih dari itu, buku ini nampak adalah pemaknaan dan nostalgia Paulo dalam mengenang masa-masa dia mencari kedamaian. Pada awal sampai pertengahan buku, konflik yang diceritakan terbelah oleh masing-masing sudut pandang tokoh utama, ada juga alur mundur menceritakan pengalaman perjalanan Paulo sebelumnya.
Menilik kisah yang ditulisnya dalam buku sebelumnya, Sang Alkemis, saya jadi mengamini bahwa kebijaksanaan perlu waktu dan pengalaman, seperti yang dituliskannya pada buku ini. Banyak kalimat-kalimat bijak yang ia tuliskan, sedikit banyaknya pasti ada yang menyentuh hati pembaca. Buku ini memang bukan yang terbaik dari Paulo Coelho, tetapi seperti karya-karyanya yang lalu, buku ini sangat layak dijadikan koleksi, apalagi untuk anda yang menggemari perjalanan dan filsafat.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!
Penikmat budaya lintas masa dan lintas benua.