TRAVELOG

Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana

Saya cukup beruntung. Setelah berkeliling Kota Malang, Jawa Timur, saya bisa mengunjungi Museum Musik Indonesia pada Mei 2023, sebelum museum itu pindah lokasi. Sebab, di lokasi yang ditempati Museum Musik Indonesia saat itu, gedungnya memuat kisah lain yang tak kalah menarik.

Berada di lantai dua Gedung Kesenian Gajayana, Jalan Nusakambangan, Malang, Museum Musik Indonesia menyewa tempat yang tidak terlalu besar untuk sebuah museum. Saat masuk, banyak rak yang berisi kaset-kaset, piringan hitam, dan CD.

Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana
Tampak depan Gedung Kesenian Gajayana di Malang saat masih ditempati sebagai Museum Musik Indonesia/Fandy Hutari

Koleksi Hasil Sumbangan 

Usman, salah seorang perawat museum itu mengajak saya mengobrol di kursi kayu di dalam museum. Dia lantas menawari saya ingin mendengar musik apa. Pilihannya, jatuh ke lagu yang dibawakan grup musik Genesis. Usman lantas menyetelnya lewat turntable di salah satu sudut ruangan.

“(Awalnya) berdiri tahun 2009, (namanya) masih Galeri Malang Bernyanyi,” ujar Usman, mengawali perbincangan.

“Jadi museum (tahun) 2016, pindah ke sini.”

Perjalanan museum ini cukup panjang. Kerap kali pula berpindah-pindah lokasi. Tahun 2013, museum itu terletak di perumahan Griya Shanta, Malang. Menurut pendiri Museum Musik Indonesia, Hengki Herwanto kepada ANTARA News1, gagasan mendirikan museum bertujuan menyelamatkan sejarah musik Indonesia. 

Menurut Hengki, selama ini banyak hasil rekaman lama musik di Indonesia yang sulit didapat. Ternyata, ada sejumlah orang yang menyimpan koleksi lama, lalu diserahkan ke pihak museum. Dia mengatakan, museum itu didirikan dengan dana dari sekelompok orang yang peduli terhadap musik Indonesia.

Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana
Usman, salah seorang perawat museum tengah menyetel piringan hitam/Fandy Hutari

Usman menyebut, ketika dihitung pada 2022, koleksi museum sekitar 35.000, terdiri dari kaset, CD, piringan hitam, buku, dan majalah. “(Koleksi) itu sumbangan, utamanya dari Indonesia. Tapi ada juga yang dari Belanda, Italia, Amerika Serikat,” kata Usman.

Di salah satu ruangan, terdapat aneka jenis alat musik tradisional. Menurutnya, alat musik tradisional tersebut juga disumbangkan dari wali kota seluruh Indonesia.

“Waktu Malang ada (acara pertemuan) Apeksi (Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia) tahun 2017, (para) wali kota ke sini, kita surati harus membawa alat musik tradisional tadi,” tutur Usman.

Kaset, CD, dan piringan hitam terdiri dari berbagai macam genre, mulai dari pop, keroncong, jazz, rock, dari dalam dan luar negeri. Ada pula kaset anak-anak dan lawak. Usman mengatakan, kaset paling tua dari tahun 1979. Di beberapa rak pun tersimpan kaset lagu-lagu daerah dari berbagai provinsi.

Selain itu, kita bisa melihat poster grup musik, foto-foto, pernak-pernik grup musik, dan sebagainya. Tersimpan juga kostum grup musik Guruh Gipsy. Buku-buku tentang musik pun ada. Tak kalah menarik, majalah-majalah lawas tentang dunia hiburan, seperti Violeta.

Usman menyebut, piringan hitam grup musik The Tielman Brothers adalah yang paling langka. Tielman Brothers adalah grup musik Indonesia-Belanda, yang dibentuk anak-anak Herman Tielman dan Flora Lorine Hess, antara lain Andy (vokal dan gitar), Reggy (gitar), Ponthon (bas), dan Loulou (drum). Mereka tumbuh besar di Indonesia. Lalu, pada 1956, Tielman Brothers pindah ke Belanda.

Di buku Musicking in Twentieth-Century Europe2 disebut, dalam kariernya di Eropa, Tielman Brothers menjadi salah satu penampil paling populer dan inovatif dari Indo-rock, yakni gaya musik yang memadukan rock and roll dengan beberapa elemen keroncong. 

Sebelum membahas bagaimana grup yang kemudian dikenal sebagai Tielman Brothers berperan penting dalam pembentukan gaya Indo-rock Belanda, penting untuk menyoroti bagaimana pengalaman mereka di Indonesia hingga saat mereka pindah ke Belanda yang menggambarkan proses pertukaran dan perpaduan musik.

Namun, karena faktor-faktor lokal di Belanda, Tielman Brothers tetap menjadi band yang hanya dikenal di kalangan tertentu. Faktor-faktor tersebut meliputi ambivalensi Belanda terhadap komunitas mereka, lambatnya penerimaan rock and roll di Belanda, dan kekhawatiran luas tentang sifat musik yang dianggap tidak sehat (faktor Elvis Presley), terutama ketika dimainkan oleh pemuda Indo-Belanda.

Beberapa koleksi musik lawas di galeri museum/Fandy Hutari

Pada 1958, Tielman Brothers mendapat terobosan besar di Belgia melalui Brussels World Exhibition. Salah satu penampilan mereka yang mengesankan direkam dalam siaran televisi di Belanda pada 1960, menampilkan salah satu lagu ikonik mereka, “Black Eyes Rock.” Penampilan mereka terkenal karena aksi panggung yang spektakuler, seperti melempar gitar.

Lainnya, piringan hitam album Koes Plus bertajuk Dheg Dheg Plas. Album ini dirilis pada 1969. “(Album tersebut dirilis) itu karena dulu Koes Bersaudara, (mengubah nama) menjadi Koes Plus,” ucap Usman.

Terbentuknya Koes Plus terjadi setelah Nomo Koeswoyo memutuskan mundur dari Koes Bersaudara, usai merilis To The So Called The Guilties dan Djadikan Aku Dombamu pada 1967. Menurut Adhiyatmaka3, album Dheg Dheg Plas yang dirilis pada 1969 tidak diterima penggemar. Sebab, mereka tidak bisa dengan mudah menerima langkah yang diambil Tonny, Yon, dan Yok, yang menggantikan Nomo dengan Murry. Akibatnya, publik tak menyambut antusias album itu, bahkan mengabaikannya.

“Keajaiban” terjadi saat Koes Plus tampil di acara Jambore Grup Musik IK di Istora Senayan, Jakarta. Koes Plus tampil membawakan lagu-lagu baru ciptaan mereka yang cenderung jauh dari musik rock, ketika band lain membawakan lagu-lagu rock milik grup musik luar negeri. Penampilan Koes Plus berhasil memikat banyak orang. Lalu, album Dheg Dheg Plas mulai laku di pasaran dan membuat nama Koes Plus menjadi semakin besar.

Kepindahan Museum Musik Indonesia ke Gedung Kesenian Gajayana pada 2016 diresmikan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Pemkot Malang mengizinkan Museum Musik Indonesia berkantor di sini.

Arief Wibisono4 menulis, gedung ini dibangun perkumpulan Tionghoa Ma-Chung pada 1934. Lantas, pada 1960-an, Pemkot Malang mengambil alih gedung ini, menggantinya menjadi Gedung Cenderawasih. Lalu, pada 1989 baru dinamakan Gedung Kesenian Gajayana. Tahun 1974 hingga 1990, gedung ini pernah menjadi kantor Dewan Kesenian Malang (DKM), sehingga dikenal juga dengan nama Gedung DKM.

Harta Karun Musik dan Kisah Dardanella di Gedung Kesenian Gajayana
Koleksi alat musik tradisional di Museum Musik Indonesia, Malang/Fandy Hutari

Pentas Nostalgia Dardanella 

Saat membuka pintu Museum Musik Indonesia di lantai dua, pandangan saya langsung tertuju pada kursi-kursi pertunjukan yang menghadap ke panggung. Berbagai pentas kesenian pernah diadakan di sini, di antaranya konser Koes Bersaudara, Dara Puspita, dan Titiek Puspa. Kemudian ketoprak Siswo Budoyo, komedi Lokaria, dan wayang orang Pancabudi.

Gedung ini pun pernah dijadikan tempat pentas reuni rombongan tonil atau sandiwara Dardanella. Pada 1959 dan 1960, beberapa anggota Dardanella, sebuah rombongan tonil atau sandiwara besar di masa kolonial, mementaskan lakon “Dr. Samsi” karya Andjar Asmara.

Ramadhan KH5 menulis, Malay Opera Dardanella didirikan di Sidoarjo, Jawa Timur pada 21 Juni 1926. Pendirinya seorang Rusia kelahiran Penang, Willy Klimanoff, atau yang terkenal dengan nama A. Piedro. Dardanella merombak kebiasaan-kebiasaan panggung yang lazim dilakukan stambul. Pertama, ketika layar diangkat, mereka segera bermain. Tak ada introduksi dahulu. Kedua, mengutamakan adegan. Nyanyian diperdengarkan bila perlu saja.

Perkumpulan ini punya nama-nama beken di panggung sandiwara, seperti Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Riboet II, Astaman, dan Ferry Kock, yang disebut The Big Five. Dardanella melakukan pertunjukan keliling dunia pada 1935. Mereka memiliki misi untuk menampilkan tari-tarian Indonesia di sejumlah negara, seperti Singapura, Malaysia, Nepal, India, Yunani, Turki, hingga Amerika Serikat. Setelah itu, anggotanya terpecah. Ada yang ikut serta, ada yang tetap tinggal di Indonesia.

Pementasan reuni Dardanella bermain di Gedung Pekan Raya Surabaya pada Juni 1959, Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan di Bandung dan Gedung Kesenian Jakarta pada 8 Juli 1959. Pertunjukan terakhir diadakan di Gedung Ma-Chung (sekarang Gedung Kesenian Gajayana) pada 8–10 April 1960. 

Di Malang, pertunjukan dimainkan pula oleh Gelanggang Kesenian Tjahaja Timur. Penyelenggaranya Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Malang. Pentolan Dardanella yang ikut pementasan reuni itu, antara lain Tan Tjeng Bok, Dewi Dja, Astaman, Raden Ismail, dan Ali Yugo. Saat pertunjukan di Malang, Tjeng Bok juga menyanyikan lagu keroncong “Kemajoran Lama.” Secara keseluruhan, pertunjukan ini disebut-sebut berjalan baik dan mendapat sambutan meriah publik.6

Pada November 2023, Museum Musik Indonesia pindah lokasi ke Gedung Penunjang Museum Mpu Purwa di perumahan Griya Shanta, Malang. Kepada wartawan Surya Malang7, Ketua Museum Musik Indonesia, Ratna Sakti Wulandari mengatakan, alasan kepindahannya lantaran Gedung Kesenian Gajayana akan dikembalikan fungsinya sebagai gedung pertunjukan.


  1. ANTARA News. (2012, 8 Desember). Galeri Malang Bernyanyi akan dirikan museum musik. https://www.antaranews.com/berita/347540/galeri-malang-bernyanyi-akan-dirikan-museum-musik, diakses 7 April 2025. ↩︎
  2. Klaus Nathaus & Martin Rempe (ed.), Musicking in Twentieth-Century Europe (Berlin: Walter de Gruyter GmbH & Co KG, 2020). ↩︎
  3. Ignatius Aditya Adhiyatmaka, Dari Ngak Ngik Ngok ke Dheg Dheg Plas (Jakarta: Binatang Press dan Irama Nusantara, 2021). ↩︎
  4. Arief Wibisono, Sejarah Musik Kota Malang Era 60-90 (Malang: Media Nusa Creative dan Museum Musik Indonesia, 2021). ↩︎
  5. Ramadhan KH, Gelombang Hidupku, Dewi Dja dari Dardanella (Jakarta: Sinar Harapan, 1982). ↩︎
  6. Katalog pertunjukan “Dr. Samsi” di Gedung Ma-Chung Malang, 1960. ↩︎
  7. Kukuh Kurniawan, (2023, 2 November). Alasan Pemindahan Museum Musik Indonesia ke Museum Mpu Purwa, Kota Malang. Surya Malang Tribunnews. (https://suryamalang.tribunnews.com/2023/11/02/alasan-pemindahan-museum-musik-indonesia-ke-museum-mpu-purwa-kota-malang, diakses pada 7 April 2025. ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Fandy Hutari

Jurnalis, tinggal bersama istri di Jakarta. Gemar membaca dan jalan-jalan.

Jurnalis, tinggal bersama istri di Jakarta. Gemar membaca dan jalan-jalan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *