Dibutuhkan perjalanan kaki beberapa kilo untuk menuju petilasan, di antara impitan alas. Ada baiknya rekan perjalanan adalah orang yang matematis. Maka, di saat saya menyusuri kedalaman hutan dengan Poppy yang juga penulis, otomatis saya cemas. Poppy adalah blogger yang giat dan khusyuk menulis fiksi di semangkaaaaa.blogspot.com, jadi kalau Poppy berkhayal berpapasan dengan macan, saya akan memperparah khayalannya dengan melihat macan terbang.
Untuk menginjak pedal imajinasi kami, Poppy mengisi kesunyian perjalanan dengan obrolan seputar laki-laki. Kami terus menusuk rerimbunan persemaian dan hutan. Jalan menyempit disesaki dan dipagari gulma. Alih-alih bergelut dengan rasa khawatir karena alas semakin lebat, kami malah terkikik-kikik. Sebab, begitulah topik tentang laki-laki. Akan ada saja bahasan yang patut ditertawakan. Sekitar tiga kilometer dari area perkemahan pandangan kami dipoles dengan pangkal jurang.
Jurang dan tebing, terutama ujungnya belum pernah terbayangkan oleh saya. Saya pernah berselonjor di bibir jurang dan bergidik melihat keremangan nun jauh di bawah sana. Maka di Bedengan, saya terpukau melihat akhir dari kedalaman jurang, bagaimana lekuk tebing, dan sulur akar pepohonan yang berumbai-rumbai. Tonggeret semakin nyaring. Angin berembus sopan. Samar suara burung takur terdengar dan jujur saja seruannya seperti panggilan untuk memasuki gerbang gaib entah di mana.


Paku Bumi Tanah Jawa
Bedengan punya petilasan atau punden, sebagaimana umum disebut, dan kalau sudah berpapasan dengan dinding tebing, itu berarti letak punden tinggal beberapa langkah saja. Sulur-sulur yang bergoyang dibelai angin membuat saya waswas, tentunya ini bukan perkara lumrah bagi orang materialis seperti saya, apalagi saya otomatis beruluk salam. Segala sesuatu di area ini terasa wingit.
Punden dipagari bata yang sudah menghitam, ompong, dijalari rerambat gulma dan gondrong sebab lumut hati menyelimutinya. Lumut yang sama juga bermukim di pahatan lambang Surya Majapahit. Di atas punggung tembok ada beberapa kendi yang dicat menyala merah-putih. Ini membuat saya heran, mengapa orang terobsesi dengan mewarnai segala dengan merah-putih agar itu tampak nasionalis?
Bagi saya, lambang Garuda dan bendera Indonesia yang berkibar kena angin barat sudah cukup menunjukkan bahwa petilasan ini di Indonesia, bukan di Madagaskar sana. Kendi bagai saya selalu sakral. Ada doa-doa pengasih kuno turunan dari kakek-nenek buyut saya yang bunyinya kira-kira begini:
Kubersamai engkau, wahai keturunanku. Kusiangi belukar yang menjerat kakimu. Semoga hidupmu penuh kemudahan, mengalir seperti air yang dikucurkan dari lubang kendi, dan deras seperti arus sungai.


Jadi, tembikar yang dibakar sehingga bisa tampak legam merona dalam lekuk bahenol kendi, dipoles sedemikian rupa sehingga di Bedengan benda filosofis itu tampak seperti celengan hias yang diecer buat turis Kota Batu. Nasionalisme bagi saya adalah resonansi akal budi, bukan dengan cara membaptis benda-benda dengan cat merah-putih.
Bila badan diputar 45 derajat, ada batu petilasan yang mengukuhkan identitas tempat ini. Ia berukiran aksara Jawa dengan dibubuhkan ‘Paku Bumi Tanah Jowo Turunan Soko Gunung Tidar’. Ada totem Garuda lengkap dengan Pancasila di pucuk tiang yang ditegakkan. Patung burung yang lebih mini juga tampak nangkring di atas atap yang menaungi punden.
Buku-buku tebing Bedengan yang menjorok memberi kerindangan atap petilasan. Ini memberi efek gagah, digdaya, dan berwibawa, bisa bikin bulu tengkuk berdiri. Bukan karena kesan menghantui, melainkan sebuah tempat mistis, terpencil, di ujung lidah bumi. Posturnya seperti Kastil Dragonstone di Game of Thrones, tentunya persinggahan antik dan ikonik Daenerys ini kalah dengan Bedengan karena yang terpapar mata saya bukan ilusi buatan CGI.
Kiranya ada petilasan utama dan lebih rendah dari itu. Satu petilasan dinaungi rumah pos sederhana dengan lantai keramik. Petilasan lainnya hanya dipayungi atap mini. Dua petilasan tersebut sudah terpasang sesembahan; secangkir kopi, rokok yang sudah menyala, dan selusin bunga sedap malam. Saya otomatis duduk bertumpu lutut, bersauh doa sekenanya. Hingga tiba-tiba di luar dugaan Poppy menceletuk, “Kalau diganti matca sesembahannya masih sah, gak, ya?”
Bila memandang 360 derajat, petilasan ini hanya berbubuhkan informasi kurang dari satu lusin kata: ‘Paku Bumi Tanah Jowo, Turunan Soko Gunung Tidar’. Papan informasi (tolong), sangat penting untuk area ini. Bukan perkara aneh tentunya minta informasi lebih lanjut, siapa juru kuncinya, mengapa ada dua naungan yang melindungi batu dan sesajen di sana, di sentero batu-batuan tebing mengapa hanya dua itu yang bertuah?
Kalau tidak ada papan informasi, bayangkan, memangnya ada orang di dunia ini yang pergi berziarah ke makam tanpa nama? Atau lebih dipertanyakan lagi, sebongkah batu belaka. Kisah punya satu syarat utama, ia mesti dikisahkan, kalau hanya melihat batu-batu dihias dan disakralkan kisah itu sendiri bakal tewas. Orang yang tak berkisah, akan meninggal tanpa jejak apapun selain namanya itu sendiri, itu pun tidak ada artinya―hanya sebuah nama.
Baiklah, mari mengalah pada kekurangan ini. Kalau merujuk pada referensi serampangan, ada paling tidak setengah lusin video perjalanan di YouTube yang menuturkan hikayat Paku Bumi. Kisah ini sudah sekental darah. Telinga saya tidak garib saat mendengarnya. Kalau kata Ayu Utami, pengetahuan ini bernama gnosis sanguinis. Dari banyak sumber, berikut kisah Paku Bumi.
Tahun 1404 M, dakwah Islam sedang menjalari urat-urat bumi. Misi ini membawa Kesultanan Turki, Sultan Muhammad I untuk mendelegasikan Syekh Subakir ke Pulau Jawa. Bukan sekenanya apalagi lotre, sebelumnya sembilan wali (harus berjumlah sembilan, bukan karena angka hoki atau terinspirasi dari nyawa kucing. Tapi jumlah delegasi yang ahli di bidangnya, misalnya tata negara, pengobatan, dakwah, dan seterusnya) diutus ke Jawa.
Namun, mereka gagal bukan sebab kapal karam atau penolakan dari masyarakat. Peradaban di Jawa yang berfusi dengan hutan belantara terlalu magis untuk ditembus dengan syahadat. Berangkatnya Syekh Subakir, sebagaimana menurut banyak sumber adalah pakar dunia gaib, sehingga misi ini, selain lintas Pasifik juga mesti bisa lintas alam.
Berbekal batu hitam yang sudah ditiup Aji Kalacakra, Syekh Subakir menerka aksis Pulau Jawa bermuara di tengah Pulau Jawa, Gunung Tidar, Magelang. Setibanya di tempat keramat ini Aji Kalacakra dirodok untuk membasmi kekuatan negatif dari iblis tercela. Hawa panas membikin gosong lelembut, sehingga dengan serentak mereka cabut ke Laut Selatan. Boyongan akbar ini tentunya membuat sang danyang tanah Jawa atau dikenal sebagai Sabdo Palon (Ki Semar Badranaya, abdi keraton Majapahit) tersenggol.

Kompromi Dua Dunia
Kerja Sabdo Palon, bagi saya seperti Aang dalam Avatar: The Last Airbender, penyeimbang dunia tampak dan gaib. Ia memiliki suluk. Lagipula sudah fitrahnya untuk menjaga kestabilan Pulau Jawa dari segala gangguan. Lelembut yang terusir dan nilai agama Islam yang anyar meningkatkan kewaspadaan Sabdo Palon, sehingga sebelum menemui jalur mufakat, terjadi perseteruan sengit sepanjang 40 hari 40 malam antara Syekh Subakir dan Sabdo Palon.
Karakter keduanya lebih biner dari air dan minyak. Hamba Allah yang oportunis dan optimis bertemu insan waspada yang sangat berhati-hati. Air tak mungkin kalah lalu melebur menjadi minyak, dan sebaliknya. Itulah mengapa tidak ada yang kalah atau menang. Maka mufakat adalah jalur esa.
Sabdo Palon menyilakan Syekh Subakir untuk menyebarkan Islam dengan empat syarat utama: (1) sekalipun genting, jangan ada pemaksaan kehendak dalam memeluk agama; (2) produk Islami seperti tempat ibadah tidak boleh dibangun untuk membasmi bersih unsur budaya lain yang sudah mengakar di Pulau Jawa; (3) Islam boleh mendirikan monarki di Tanah Jawa, tetapi raja pertama harus lahir dari seorang bapak yang beragama Hindu dan seorang ibu yang beragama Islam; dan (4) orang Jawa yang sudah Islam dan alim tetap wajib menjaga nilai-nilai Jawa.
Konon—mungkin bukan konon, siapa tahu ini tidak konon sama sekali—apabila perjanjian tersebut dilanggar, Sabdo Palon akan muncul kembali di zaman kecerdasan buatan untuk mencari keributan. Perjanjian tersebut harus berlaku sepanjang 500 tahun. Berarti kalau tahun sekarang adalah 2025, 621 tahun berlalu, perjanjian Sabdo Palon dan Syekh Subakir sudah karbitan. Tapi perlu diingat, yang datang kembali setelah 500 tahun bukan Sabdo Palon tapi berupa keributan. Keributan di negeri ini sudah tak terbendung.
Saya mengimani bahwa tidak mungkin ada oknum gabut yang menggotong batuan keramat ke dalam belantara Bedengan. Atau membuat mainan batu-batuan imitasi, sakral-sakralan tanpa memikirkan imbas dari memperjualbelikan keramat. Pasti ada sesuatu di baliknya, dan saya sangat mengharapkan pihak Bedengan memberikan papan informasi.
Kalau tidak begini, saya yang kepalanya sekeras batu kali bakal pindah haluan ke arah sakral yang ternyata bisa saja jadi bahan komersial, sebagaimana dalam Bilangan Fu, Ayu Utami bersabda:
Modernisme adalah alat untuk memperalat.
Takhayul adalah alat untuk diperalat.
Referensi
Aula, L. G. (2024, 3 April). “Sosok Sabdo Palon, Tokoh yang Dikenal Sebagai Penguasa Tanah Jawa”, Espos.id, https://news.espos.id/sosok-sabdo-palon-tokoh-yang-dikenal-sebagai-penguasa-tanah-jawa-1238630.
Lévi-Strauss, C. (1966). The savage mind. Chicago: University of Chicago Press.
Surjaya, A. M. (2024, 30 Januari). “Kisah Syekh Subakir, Ulama Persia Penakluk Penguasa Jawa: Ki Semar & Sabdo Palon”, SindoNews.com, https://daerah.sindonews.com/read/1310121/29/kisah-syekh-subakir-ulama-persia-penakluk-penguasa-jawa-ki-semar-sabdo-palon-1706569319.
Thoreau, H. D. (1854). Walden; or, Life in the woods. Boston: Ticknor and Fields.
Utami, A. (2008). Bilangan Fu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Putriyana Asmarani adalah penulis konten kreatif di salah satu perusahaan pemasaran digital di Malang. Salah satu risetnya Identitas Politik Raja-raja Melayu mendapatkan beasiswa riset di National University of Singapore. Cerpen dan resensi bukunya pernah terbit di The Jakarta Post, Indian Periodical, Djavatimes, SuaraNet.id dan lain-lain.




