Stasiun Bengawan. Aku terbangun setelah tertidur cukup nyaman di dalam kereta Bengawan yang sepi. Kala itu pukul 14.30, aku melangkahkan kaki keluar gerbong, memanggul keril berukuran 45L lengkap dengan perabotan lenong didalamnya.

Ada banyak langkah kaki yang bergerak di peron stasiun ini, namun hanya 3 pasang kaki yang kukenal langkahnya, yaitu Doger, Colay, dan Nopol. Ya, kuberi nama samaran saja pada cerita kali ini. Di stasiun ini pun aku mengenal salah satu pendaki yang mungkin akan menjadi karakter utama dalam perjalanan ini, Sigit namanya.

Kami langsung dijemput Mas Asep ketika keluar dari stasiun, ia adalah kerabat Doger. Ia bersedia mengantar jemput kami ke basecamp Candi Cetho sebagai salah satu jalur pendakian Gunung Lawu. Sebelum menuju basecamp, kami berenam mengisi perut dulu di salah satu tempat olahan kambing yang terletak di sudut kota Sukoharjo.

Setelah menghabiskan satu piring tongseng beserta nasi, kami melipir ke salah satu warisan leluhur di kota Sukoharjo yang punya nilai sejarah sekaligus ekonomis, Bekonang!

Tempat yang kami tuju adalah Ciu Bekonang, di sini mereka menawarkan berbagai produk minuman baik alkohol maupun non-alkohol. Gedang klutuk menjadi varian rasa yang dipilih oleh Colay dan Doger saat itu. Mereka berdua cukup antusias, sedangkan diriku hanya tertawa ketika mereka bermaksud membawa minuman ini untuk bekal pendakian.

Aku tak banyak berceramah, aku paham mereka pendaki berpengalaman, terlebih di sela-sela mereka memasukkan logistik ini, mereka berujar “sekedar menghangatkan suasana”. Menurutku, ujaran tersebut khas anak muda Sawangan untuk acara yang berkaitan dengan minuman beralkohol.

Perbedaan gaya hidup Sawangan dan Solo menjadi topik utama pembicaraan kami sepanjang perjalanan menuju basecamp Candi Cetho, sebelum akhirnya kami tiba sekitar pukul 20.00. Setelah melepas Mas Asep di parkiran, kami langsung menuju basecamp serta re-packing untuk pendakian esok pagi. Tepat pukul 23.00 kami semua terlelap.

Pintu pendakian Gunung Lawu via Candi Cetho/M. Husein

Mendaki Gunung Lawu

Dingin membangunkanku pagi itu, meski begitu aku memutuskan bergegas mandi. Buatku, ini salah satu bentuk aklimatisasi dengan suhu udara di sini. Sebelum menyentuh air, aku jongkok dan berimajinasi terlebih dulu. Membayangkan perjalanan akan menyenangkan! Usai sarapan, kami memulai perjalanan mendaki Lawu. Pendakian benar-benar kami mulai pukul 09.00 setelah beres mengurus simaksi, briefing, dan doa bersama.

Kepada Nopol, Doger, Colay, dan Sigit, kuutarakan tentang gaya pendakianku yang tepat waktu. Hal ini bukan tanpa alasan, cedera tendon achilles lima tahun silam memaksaku untuk tak lagi bisa berlama-lama di trek pendakian. Sebabnya, jika melakukan kegiatan luar ruangan khususnya pendakian lebih dari tujuh jam, kaki kiri akan terasa nyeri. Kuceritakan kisah ini kepada mereka supaya mereka dilema sih, dilema harus mengutamakan keselamatan diri atau kepercayaan teman.

Candi Kethek/M. Husein

Bicara ritme pendakian

Tiba di Candi Kethek, aku memperingati diri sendiri bahwasannya pendakian akan berjalan tidak lancar. Bang Sigit yang baru kami temui di stasiun, beridealis tentang perjalanan menikmati trek, tentu berbeda 180 derajat dengan ritme pendakianku. Di titik ini aku masih menahan emosi, sebab rasanya tak pantas mengajari pendaki lain perihal ritme pendakian.

Kalau kita bicara ritme pendakian, Gunung Lawu menjadi salah satu gunung yang sangat detail kuperhatikan manajemen pendakiannya, mulai dari logistik hingga isi keril anggotaku. Ya, kawan ku dari Sawangan sepakat untuk menyerahkan urusan pembagian beban kepada diriku. Dengan durasi perjalanan 3 hari 2 malam, kami meminimalisir beban hingga seringan mungkin mengingat trek Cetho yang terkenal panjang.

Namun semua rencana nampaknya sia-sia tatkala Bang Sigit bergabung. Perbedaan ritme pendakian semakin terpampang nyata, padahal hanya mencapai Pos II waktu itu. Aku dan Nopol tak terasa sudah berjalan cukup jauh, sedangkan yang lain masih di belakang. Terlihat diriku egois, memang. Tapi bukan berarti akan kutinggalkan teman-temanku. Kami memutuskan menunggu mereka di Pos II sembari melinting tembakau yang kubawa dari Sawangan. Kalau dihitung-hitung, tepat pada lintingan ke-16, ketiga teman pendakianku baru terlihat.

Gupak Menjangan/M. Husein

Gupak Menjangan/M. Husein

Tak ingin kehilangan momen pendakian, aku dan Nopol tancap gas menuju Pos III. Tepat pukul 12.00 siang kami sampai di satu-satunya pos bermata air di trek Candi Cetho ini. Ku isi air, dan ku lanjutkan membakar lintingan sembari beristirahat. Di pos ini, aku memberikan sinyal kepada diri sendiri bahwa waktu yang mulai molor, mengingat 2 pos terdepan adalah yang paling curam di trek ini. Kalau aku memiliki limit 7 jam, maka tersisa 4 jam lagi untuk sampai di Pos V, Gupak Menjangan sebagai tempat mendirikan tenda.

Setelah anggota lengkap dan istirahat yang cukup, pukul 13.00 kami melangkahkan kaki kembali. Di momen ini aku tak lagi bisa menahan kegusaran hati, aku memberikan pengarahan ulang bagaimana pendakian ini akan dilanjutkan. Ya agak lucu memang, sebuah pendakian dengan tim lima orang masih dibagi lagi menjadi dua tim.

Aku dan Nopol di depan, dan tiga lainnya di belakang. Kami menerapkan sistem “temu-pisah”. Kami mengulang sistem ini hingga sampai di Gupak Menjangan. Molor di waktu tentunya, namun satu yang pasti. Dengan begini, batas waktu kakiku mungkin akan terlewat, meski begitu aku bisa beristirahat lebih panjang sembari menunggu tiga orang lain di belakang.

Gupak Menjangan dengan garis oranye ku dekati. Pukul 17.00 diriku sampai terlebih dahulu dan langsung bergegas mendirikan tenda. Mendirikan tenda saat gelap adalah salah satu hal yang aku hindari selama mendaki. Selain keterbatasan cahaya yang membatasi mobilitas, waktu istirahat pun berkurang. Tepat pukul 18.30 semua sudah rapi dan lengkap, acara santap malam kami lancarkan dengan singkat. Tak butuh waktu lama kami semua pun terlelap. Kami berencana menuju hargo dumilah pukul 03.00 dini hari.

Pendakian Lawu via Candi Cetho/M. Husein

Perjalanan menuju puncak Gunung Lawu/M. Husein

Menuju Puncak Gunung Lawu

Waktu menunjukkan pukul 02.00 ketika kami berempat menyantap sereal. Bang Sigit, tidak ikut summit kali ini. Setelah berkemas serta menyesap damar wangi dalam lintingan, kami bergegas memantapkan headlamp. Kebetulan malam itu cuaca cerah karena bintang terlihat megah, namun tidak dengan anginnya yang cukup kuat menggoyang frame tenda tenda kami. Tak patah arang, kami tetap lanjut melangkahkan kaki menuju Hargo Dumilah.

Hanya terlihat rumput kering saat sorot cahaya headlamp menuntun kami, tak terasa memasuki kawasan hutan. Lawu memang terkenal dengan mistisnya, namun aku cukup bersyukur kala itu, tubuh dan pikiran dalam kondisi prima walaupun mungkin banyak hal tak kasat mata mengganggu. Kami berempat berusaha mencairkan suasana supaya dan menekan hawa yang tak mengenakan tersebut. Tak lama, kami tiba di “kantin gunung” Hargo Dalem. Bangunan dengan lampu-lampu ini membalikkan mood pendakian yang mulai runyam sedari tadi.

Kami melanjutkan pendakian, trek yang mulai menanjak dan berbatu mengiring langkah. Kami banyak diam, selain karena berbagi nafas, tapi juga karena angin yang tak kunjung reda. Sekitar pukul 04.30, terdengar suara “tang, tang, tang..” dari tiang bendera yang tertiup angin, jadi pertanda angin kalau angin di puncak sangat kencang. Kami memutuskan untuk berhenti sejenak. Menyalakan kompor dan menyeduh liong sembari menunggu cahaya matahari bersinar.

Garis oranye mulai terlihat dari kejauhan, lautan awan tentunya tak mau kalah menunjukkan kemegahannya. Kami langsung membereskan kompor dan menuju puncak. Kami di puncak tidak lama, hanya Sekitar 30 menit saja. Harus diakui bahwa aku sudah tidak lagi kuat menahan angin di titik ini. Kami langsung turun menuju Hargo Dalem.

Sarapan pecel di tempat Mbok Yem

Pecel Mbok Yem sudah ku bidik sejak dari Sawangan. Namun sebelum sampai di Mbok Yem, kami baru tersadar bahwasannya matahari terbit saat kami turun dari puncak. Hal ini cukup menggelikan, mengingat kami selalu bertemu sunrise saat menuju maupun sampai puncak, namun kali ini kami justru bertemu saat perjalanan turun.

Mengiis perut di Gupak Menjangan/M. Husein

Usai berswafoto kami bergegas menuju Mbok Yem, menemui Adit, monyet yang menjadi penjaga pintu warung si Mbok. Setelahnya, kami kembali ke tenda. Aku berjalan cepat karena rasanya perutku sudah mulai berkontraksi untuk mengeluarkan isinya, dua temanku juga berjalan cepat karena mereka tak sabar mencicipi bekal kesayangan kami. Waktunya, bekonang!

Banyak pelajaran pada pendakian kali ini, entah tentang manajemen emosi serta ritme pendakian. Diriku yang selalu menjadi time keeper dalam pendakian tak pernah menyangka akan mengalami kemunduran rencana yang lumayan lama. Namun bukan berarti diriku mendiskreditkan Bang Sigit lho.

Meski kami berbeda dalam ritme pendakian, namun kami satu pandangan dalam memaknai pendakian di era ini, bagaimana pandangannya terhadap tujuan orang orang mendaki maupun permasalahan di dalamnya.

Eh kok di akhir cerita ini rasanya aku begitu dekat dengan Bang Sigit?

Karena ada satu hal, yang tidak diceritakan di tulisan ini. Sebenarnya, aku dan dia berbagi matras yang sama dan eksklusif di dalam tenda 2p bawaannya sehingga percakapan kami tentunya lebih intens kala malam semakin larut.

Tinggalkan Komentar