Dua tahun lalu, sekitar Maret 2022, saya terlonjak kaget menemukan 10 liter susu sapi perah murni masih terbungkus, ditadah dalam dandang jumbo di atas meja dapur. Keluarga kami hanya terdiri dari lima orang, saya kemudian memekik, “Bu, semua ini buat menyusui siapa?”

Seperti kapten kapal dagang Saint-Antoine yang menghemat bubuk mesiu untuk dikirim ke Venezuela, ibu saya bertitah, “Jangan diminum. Itu takaran sudah pas untuk bikin pupuk cair.”

Sontak saya membayangkan 10 liter susu sapi diguyur di atas tanah. Untuk memastikan itu saya memutuskan menghampiri ibu saya yang tengah mengolah sesuatu—yang entah apa—di dapur. Terbelalak, saya semakin tercengang setelah mendapati apa yang ia kerjakan. Ibu saya tengah merebus 10 liter susu kedelai. Ini juga untuk pupuk cair. 

Orang memanggil ibu saya: Bu Jamik. Semua orang di Dusun Juwetrejo mengenalnya.  Jadi, bisa dipastikan serunyam apa pun gang di Kecamatan Gondang, Kabupaten Mojokerto, kurir tak bakal tersesat mencari rumah Bu Jamik. Lahir dari keluarga petani, ibu saya pandai berdagang. Mungkin ini termasuk kasus gen menyimpang dalam silsilah keturunan karena seluruh Bani Kasmadi adalah petani, kecuali dirinya. Ia mengelola toko bahan pangan sejak 1996.

Namun, akhir-akhir ini ia mendapatkan julukan baru karena obsesinya terhadap tanaman. Orang semakin menggila saat mendengar ibu saya berhasil menumbuhkan labu kendi yang hanya muncul di legenda Tiongkok lama. “Memang betul dia Bani Kasmadi.”

Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
Lanskap jalan kampung Dusun Duwetrejo dan persawahan berlatar Gunung Welirang/Putriyana Asmarani

Racikan Nyeleneh Bu Jamik

Rahasia paling besar ibu saya di desa adalah pupuk cair premium miliknya. Dibuat dari susu sapi, kedelai, dan bahan lainnya, yang tampaknya hanya saya dan orang suruhannya yang tahu. Mengapa ini jadi rahasia? Karena orang akan menyerang dan berkilah soal dunia pupuk-memupuk nyeleneh-nya. Jangankan orang lain, saya sendiri kurang bisa memahami konsep kesuburan tanah.

Meskipun dianggap nyeleneh, pupuk bikinan Bu Jamik terbukti manjur. Pengetahuannya didapat bukan dari kelas-kelas resmi pertanian, tetapi grup menanam di Facebook. Dari Facebook, ia kemudian tergabung dalam grup menanam di Whatsapp dan mendapatkan informasi perihal perkebunan di sana. Misalnya, informasi soal lapisan tanah, pH tanah, daya resap tanah, cara meracik biang POC (Pupuk Organik Cair), pupuk kohe (kotoran hewan), serta dosis POC dan kohe.

Adapun satu-satunya logika perkebunan bagi orang awam seperti saya, hanya sebatas Isaac Newton duduk di bawah pohon apel lalu apel jatuh tergelincir ke permukaan tanah. Paling jauh mungkin hanya sebatas biji jadi tunas, tunas jadi pohon, pohon disirami, bunga mekar jadi buah, lalu buah ranum bisa dikonsumsi. Maka saya kepayahan menarik kesimpulan logis dua puluh liter susu sapi campur susu kedelai digunakan untuk memupuk tanaman, sementara Dewi Demeter saja hanya menyerahkan sebuah obor untuk mengajari kaumnya menanam.

Itu pun belum mencapai batasnya. Saya pernah diamanahi tugas mencari penjual nanas kupas di Pasar Pohjejer, sekitar 60 meter sebelah barat Balai Desa Pohjejer. Tidak, saya tidak disuruh membeli buah nanas, tetapi beli sampah bekas kupasan kulit nanas. Saya tidak bisa melupakan tatapan nanar penjual buah nanas di keramaian pasar. Ia menolak sampah itu dibeli. Namun, saya tetap membayar dengan membeli buah nanas untuk menutupi biaya sungkan.

Kebanyakan air kelapa gratis didapatkan di Pasar Pohjejer. Biasanya orang datang membawa botol tanggung. Dengan senang hati penjual kelapa akan mengisi botol tanggung tersebut dengan air kelapa. Akan tetapi, karena ibu saya datang membawa jeriken, penjual kelapa jadi speechless. Saya yakin di kepalanya sedang berputar pertanyaan berulang, “Emang boleh? Emang boleh?”

Pernah pada suatu hari ibu saya mendatangkan ahli kimia, atau sebagaimana ibu menyebutnya “ahli pertanian” ke rumah untuk meracik bahan-bahan pupuk yang sudah disiapkan. Alasannya adalah membuat pupuk cair harus mengikuti takaran tertentu di mana ia kurang paham soal itu. Ahli kimia tersebut rupanya mantan pegawai toko pertanian. Padahal saat itu saya tengah membayangkan petugas lab betulan datang ke rumah. Atau ahli kimia Timur Tengah, yang dijumpai seorang penggembala kambing Andalusia karangan Paulo Coelho, punya urusan dengan kebun di rumah.

Saya jadi paham mengapa Elizabeth Lavenza adalah karakter paling kasihan di zamannya karena mencintai ilmuwan optimis nan ambisius, seperti Victor Frankenstein. Saya menjumpai keoptimisan yang sama dari Frankenstein dan Dr. Jekyll pada ibu saya. Maka sangat perlu bagi saya menjadi manusia gubahan yang hidup dari eksperimen Frankenstein, untuk mempertanyakan semua kemustahilan pada pupuk cair.

Saya mencoba mencuri kesempatan dan memohon restu pada ibu saya, apakah ia berkenan bila harus terpampang wajahnya di media koran sebagai penanda 205 tahun kebangkitan ambisi Dr. Jekyll dan Frankenstein? Tak disangka, ia berkenan.

  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
  • Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo

Rona Kehidupan di Tanah Wingit

Semua ini bermula dari sepetak kebun di samping rumah. Di sana teronggok sumur tua bertuah dan dulu ada pohon nangka angker. Bapak cilik (paklik) saya pernah bilang area itu cukup wingit. Di sisi lain nenek juga setuju dengan menyodorkan sejibun bukti.

Misalnya, dulu ada saudara meninggal secara misterius di sekitar pohon nangka (kini sudah ditebang). Lalu terdapat jalur lalu lintas gaib di belakang sumur; maksudnya jalur ini dipakai untuk makhluk gaib datang mondar-mandir. Jadi, ketika pukul lima sore, kalau seandainya lengan tersenggol selembar daun beluntas, rasanya seperti seseorang entah siapa mendorong hingga jatuh tersungkur. Ada pula suatu kejadian orang tersandung lalu terjungkal hingga lumpuh, hanya karena tersandung selempeng pecahan genteng.

Dulu, setelah pohon nangka ditebang—sebelum COVID-19—area samping rumah hanya ditumbuhi dua pohon mangga saja. Kini bermacam-macam tumbuhan berbuah di sana. Misalnya, di belakang sumur tumbuh subur labu kendi yang cukup populer di legenda Tiongkok. Meski hidupnya singkat, pohon rambat ini telah berbuah lebih dari enam puluh labu sebelum kemudian diganti dengan pohon markisa jumbo. Siapa sangka, area yang dulunya angker ini bisa gemah-ripah.

Ini mengingatkan saya pada petuah lama Jawa “tresna marang bumi menika mujudaken wajibing gesang”, artinya tugas utama manusia adalah menjaga dan mencintai bumi. Ibu saya sendiri tidak heran jika semua tanamannya tidak pernah menghilang secara misterius, atau membusuk karena ulah entah apa pun itu. Penghuni alam lain tak akan mengusik manusia yang tengah menunaikan tanggung jawabnya pada alam. Setan ora doyan, demit ora ndulit.

Gemah-Ripah di Tanah Wingit Juwetrejo
Media tanam labu kendi yang tumbuh subur/Putriyana Asmarani

Sebagai contoh, sekitar pukul sepuluh sampai dua siang burung-burung ciblek (sejenis perenjak jawa) mematuk-matuk buah arbei. Meskipun begitu, mereka tidak pernah bikin onar. Entah di mana burung-burung kecil ini belajar etiket. Berbeda dengan codot yang mencotok satu buah dan tidak dihabiskan, lalu menyerang buah lainnya yang masih bulat segar. Kecuali codot, burung-burung lainnya, seperti merbah cerukcuk, cucak kutilang, tekukur, madu sriganti, si manis tledekan, dan pipit tidak pernah merusak atau melampaui batas. 

Kedengarannya, makhluk-makhluk tersebut adalah hama pengganggu. Namun, melihat mereka sewaktu-waktu di kebun, seperti menukik rendah, melompat-lompat, berkejaran dengan berpasang-pasangan, bahkan sesekali mencomot arbei; membuat kesan tersendiri bahwa saya tak perlu ke alam baka terlebih dahulu untuk mengunjungi Taman Eden. 

Tidak hanya para sahabat kecil—burung-burung—berkeriap dan berkicau, kupu-kupu berukuran kecil, tanggung, dan jumbo pun sibuk bergelayutan di kelopak bunga kertas dan asoka. Berbeda dengan burung-burung yang cenderung pemalu dan ambyar saat pemilik kebun memperhatikan, kupu-kupu menyesap anteng saat dipotret bahkan dalam jarak dekat.

Para pengunjung kebun, dari yang bertubuh molek sampai kelompok reptil macam ular sawah dan biawak sekalipun, singgah di kebun lalu membuat resapan baru pada Kidung Reksabumi; reksa bumi ajeg asri, mindha among karsa sagotro. Mungkin kidung ini juga berarti bahwa berkebun turut berperan menyediakan pasokan pangan untuk satwa liar dan menyeimbangkan lingkungan.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar