Siapa tak kenal Balada Si Roy, novel klasik yang hadir menemani para remaja dan muda-mudi Indonesia di tahun 80-an. Awalnya cerita Roy merupakan cerita bersambung yang muncul di Majalah Hai, cerita ini lalu dibundel menjadi sebuah serial. Diceritakan, si Roy seorang anak muda yang berani melawan status quo dan represi yang jelas tergambarkan pada masanya.
Di akhir tahun 2020, kabar mengenai film Balada Si Roy menjadi sorotan. Pasalnya, selain jelas akan menjadi film nostalgia di beberapa kalangan, juga menjadi film yang bisa merefleksikan kehidupan anak muda era itu melalui sesosok Roy. Film ini disutradarai oleh Fajar Nugros dan diproduksi oleh IDN Pictures. TelusuRI berkesempatan untuk mewawancarai Salman Aristo, penulis naskah film Balada Si Roy.
Kiprah Mas Aris dalam menyulap novel menjadi naskah film sudah tidak asing lagi. Selain Balada Si Roy, Mas Aris juga telah sukses menyulap Ayat – Ayat Cinta oleh Habiburrahman El Shirazy, Laskar Pelangi oleh Andrea Hirata, dan Ronggeng Dukuh Paruk oleh Ahmad Tohari menjadi film yang berjudul Sang Penari.
Balada Si Roy dan Salman Aristo
Bagi Mas Aris, novel Balada Si Roy adalah sebuah karya yang ikonik pada masanya. “Gue punya karir yang lebih panjang lagi yaitu sebagai pembaca Balada Si Roy,” ujarnya. Namun lebih dari itu, cerita Balada Si Roy ternyata memiliki kedekatan karakter dengan Mas Aris.
“… bahwa Balada Si Roy adalah salah satu hal yang membentuk gue di usia remaja, selain Slank dan Iwan Fals. Balada Si Roy yang membentuk bagaimana gue bersikap, ada kedekatan dalam representasi dengan karakternya. Mindset yang tidak mempertanyakan segala hal tapi dengan sikap yang jelas, tidak mudah tunduk, itu dari Balada Si Roy,” tegasnya.
Karena kedekatan itulah, di awal karir perfilmannya Mas Aris memang bermimpi untuk bisa terlibat dalam pembuatan film Balada Si Roy. Rencana pembuatan film Balada Si Roy beberapa kali sempat sayup-sayup dikabarkan jauh sebelumnya, namun baru ramai terdengar pasti di tahun 2020. Ketika mengetahui bahwa Fajar Nugros yang akan menyutradarai Balada Si Roy Mas Aris sempat bertanya-tanya “Kok makin deket ya aksesnya,” ucap Mas Aris.
Mas Aris dan Fajar Nugros sebelumnya sudah pernah dipersatukan dalam sebuah film berjudul Queen Bee. Keterlibatan Mas Aris dalam film pertama yang digarap oleh Fajar Nugros menjadikan hubungan mereka cukup erat. “Jadi gue berpikir kaya memang sudah jalannya untuk bisa bertemu dengan salah satu mimpi gue,” jelasnya.
Karakter Roy di layar lebar
Karakter Roy diakui sebagai sebuah karakter yang ikonik pada masanya, sehingga proses adaptasi dari novel ke layar lebar pun diakui Mas Aris melalui proses pengembangan yang cukup panjang. Ketika ditanya bagaimana Mas Aris menghidupkan karakter si Roy ke layar lebar, Ia menjelaskan “… kita memutuskan untuk memakai tahun yang sama persis dengan tahun cerita di novel karena berbagai macam pertimbangan salah satunya adalah Roy menjadi hidup di zamannya. Bisa jadi sikap Roy jika dibawa ke jaman sekarang terlalu banyak modifikasi sehingga karakternya bukan Roy lagi,” ia bertutur dengan antusias.
Dalam konferensi pers virtual film Balada Si Roy di kanal YouTube IDN Times, Mas Aris menyebutkan bahwa Roy adalah karakter yang anti-stagnan. “Buat si Roy stagnan itu artinya mati, dia mau terus berada di dinamika perubahan.”
Karakter ‘memberontak’ khas anak muda inilah yang paling kuat terlihat dari si Roy, khususnya karena latar cerita ini ditulis pada masa yang ‘stag’ atau tepatnya adalah sebuah rezim. Prinsip karakter Roy yang menolak stagnasi dan represi inilah yang digambarkan Mas Aris dalam film ini.
Jika kalian adalah pembaca setia Balada Si Roy, kalian pasti sadar bahwa jiwa petualang dan karakteristik si Roy sebagai seorang pejalan, tergambar di hampir seluruh novelnya. Menariknya, esensi perjalanan Roy menurut Mas Aris berbeda daripada pandangan orang kebanyakan yang melihat perjalanan hanya sekedar ketertarikan terhadap alam dan kegiatan berfoto ria saja.
“Kalau mau lebih dari sekedar turis, coba baca Joe Balada si Roy, bahwa berpetualang, berkunjung ke tempat lain, bertamu, akan jauh lebih punya makna kalau semangatnya lebih dari sekedar turistik.”
Ia menyayangkan pandangan turistik yang terlalu mendambakan keindahan alam Indonesia saja. “Gua punya agenda untuk bilang bahwa barang siapa yang masih berpikir kalau sumber kekayaan Indonesia berasal dari kekayaan alam adalah pola pikir yang sangat kolonial.”
Menurut Mas Aris keindahan Indonesia itu terletak di masyarakatnya yang beragam. “Jadi it’s in the people dan itu yang dicari sama Roy di sepanjang perjalanan. Kalau kita baca di buku-buku berikutnya, yang dicari Roy kan orang, masalah, masyarakat, karakter yang dia temui karena memang itu Indonesia,” lanjutnya.
Mas Aris juga menuturkan bahwa kegelisahan karakter Roy membuat Ia berani jadi seorang yang belajar dari perjalanan. “Karena Roy jalan-jalan bukan untuk melihat pemandangan, dia mau keluar dari status quo yang mengekang, keberanian itu yang membuat dia memilih untuk berjalan, sehingga ia mendapat pelajaran tentang hidup dan tentang Indonesia.”
Namun sayangnya, karena novel yang diadaptasi adalah novel pertama; Joe maka perjalanan Roy sendiri sebenarnya belum dimulai. Walaupun begitu, Mas Aris menekankan bahwa pesan moral yang ingin disampaikan melalui film Balada Si Roy ini disasarkan kepada anak muda Indonesia.
“Artinya dalam keseharian, dalam proses berfikir, dalam proses melihat, dalam proses berinteraksi, tidak boleh terjebak di zona nyaman dan stagnasi, harus lapar dengan yang namanya dinamika dan kemungkinan-kemungkinan.”
Film Balada Si Roy ini nampaknya tidak cukup hanya sebagai bahan bernostalgia, cerita si Roy perlu kita pahami bahwa itu adalah sejarah peran dan sikap anak muda pada masa itu. Mas Aris pun berpesan bahwa “Balada Si Roy adalah catatan sejarah yang bisa dipelajari, tidak hanya sekedar bahan bernostalgia,” tutup Mas Aris mengakhiri perbincangan kami.Nah, kamu termasuk orang yang menunggu penayangan film ini Balada Si Roy, kah?