Perut rasanya dikocok-kocok, mual sekali. Sedangkan perjalanan menuju homestay kami, Aman Griyo Farmhouse masih cukup panjang. Saya meminta Deta untuk menepi sejenak, membeli teh panas sebagai pereda mual. Dua jam lalu saya baru saja menyantap ayam kampung goreng dari Warung Pak Yadi di Magelang, sayang sekali kalau sampai muntah. Nggak rela.
Malam itu jalan menuju Dieng dari Wonosobo tampak lebih sepi, dibandingkan perjalanan sebelumnya dari Magelang ke Temanggung. Warung makan masih ada yang buka, meski hanya beberapa.
Usai menyeruput segelas teh panas, kami kemudian melanjutkan perjalanan.
Sesampai di Dieng; “Lewat mana? Saya lihat rumahnya, tapi nggak tau jalan ke sana lewat mana.” Sapa saya kepada Kukuh yang saat itu sudah berada di homestay via telefon. Ia menjemput kami, dan begitu tiba di homestay perbincangan tentang solo camping mengalir hingga pagi hari.
* * *
Kuh, kenapa sih Outdoor Cooking Indonesia ganti nama jadi Saltoutfire?
Jadi begini, OCI itu kan dibuat berdua bareng temen pada Agustus 2019. Partner lah aku nyebutnya. Sedangkan beberapa waktu belakangan, dia ada kesibukan yang belum bisa ditinggal. Makanya, sejak diajak TelusuRI awal tahun lalu sampai sekarang, buat live cooking pas camping belum kesampaian.
Ya karena kami punya kesibukan masing-masing dan belum bisa ketemu waktu yang pas. Kalau mau live sendiri, nggak enak dong. Kami ‘kan bangun OCI berdua.
Sebulan setelah kita bagi-bagi giveaway bertepatan satu tahun terbentuknya OCI bulan Agustus 2020 lalu, dia mengundurkan diri karena sibuk di kerjaan, udah gak bisa bagi waktu lagi buat camping. Dia minta aku untuk ngelanjutin OCI sendiri. Sementara itu, dia adalah main talent alias chef-nya OCI, jadi aku nggak tau mau ngapain setelah dia mundur.
Rasanya kalau terus pakai nama OCI terlalu berat karena harus masak-masak sendiri. Sedangkan aku kan nggak ada background sekolah masak atau chef, gitu. Dan juga ekspektasi orang kalau suatu saat camping sama OCI pasti bakal dimasakin yang enak-enak. Itu beban jika aku harus tetap menjalankan OCI sendirian.
Makanya habis itu ganti nama. Itupun aku izin dulu sama dia untuk ganti nama, misal suatu saat dia mau gabung lagi ya nggak masalah, walau lebih banyak nggak mungkinnya sih. Tapi aku selalu terbuka.
Oh gitu, ya. Terus sekarang @saltoutfire ngapain? Kayaknya udah lama juga tuh nggak posting konten masak.
Konsep yang aku usung agak berubah dari yang tadinya masak-masak, sekarang lebih ke solo camping. Konten masak tetep ada, walau cuman dikit. Hanya sekitar 20% aja tersisa. Soalnya banyak pertimbangan kayak yang aku sebutin tadi.
Pertimbangan lain, ada? Apa salah satunya karena logistik yang harus dibawa banyak?
Iya, salah satunya itu. Di Saltoutfire ini aku nyoba ngelakuin semuanya sendiri, nggak bergantung sama orang lain. Kalau dulu ‘kan ada partner, jadi bawaan segambreng. Sekarang karena jalan sendirian, aku jadi belajar mengatur peralatan camping dan logistik.
Kalau dulu ada Zacky dan Ridho yang bantuin video dan editing, sekarang aku harus belajar juga tentang video dan editing ini supaya kedepannya bisa lebih baik. Jadi melakukan apa yang aku suka berdasar apa yang aku bisa dan punya aja. Sesimple itu, Ren.
Oh iya sih, dulu bawaanmu banyak ya. Alat masak sendiri satu tas sendiri, belum bahan makanan, tenda, dan alat-alat lain. Bisa 4 ransel gede. Nah, kalau sekarang bawaan pas solo camping gimana?
Sekarang lebih ringkes yang jelas. Tas maksimal bawa dua. Alat masak dan alat makan juga bawa secukupnya. Tenda selalu bawa tapi di mobil, kalau sendirian gini lebih simple camping pakai flysheet sama hammock.
Alat-alat makan yang dari kayu, kuksa, dan printilan lain nggak aku bawa semua. Sendok-garpu kayu bawa dua set, untuk masak dan makan dan satu sendok kayu kecil buat ngeteh. Ironcast dibawa menyesuaikan logistik yang sudah direncanakan dari rumah, kalau mau masak daging pastinya ironcast otomatis dibawa. Alat masak lain yang dibawa paling cuma kompor gas beserta tabung canisternya, Picogrill 398, Snow Peak Trek 900 tempat masak titanium yang bisa sekaligus buat makan, Trangia Mess Tin 210 buat masak nasi, sama satu lagi mini bowl aluminium kayak yang dulu tak kasih ke dirimu itu.
Sesimple itu?
Iya lah. Kan sendirian, barang bawaan harus diatur dengan baik.
Itu tadi kan soal alat ya, kalau bahan makan sendiri gimana? Masih bawa bahan makanan seribet dulu?
Dulu sebenernya nggak ribet karena ada partner. Kalau sekarang, ya menyesuaikan dengan alat yang dibawa dan berapa lama kempingnya.
Pilihan menu juga lebih sederhana. Kayaknya nggak pernah deh bawa makanan basah kayak daging, ikan, ayam, dan lainnya. Eh pernah ding sekali bawa sayap ayam dan di lokasi camp cuma digoreng doang. Yang sering aku bawa sekarang misalnya beras, mie instan/spaghetti, roti, selai, telur, buah, dan teh tubruk. Misalpun bawa sayur juga paling kentang sama jamur kancing kalengan. Pokoknya yang masaknya nggak ribet deh.
Aku kan orangnya nggak begitu seneng ngopi ya, jadi selalu bawa teh. Belakangan aku juga eksperimen sama teh ini, biar rasanya nggak gitu-gitu aja, enaknya dicampur sama apa. Awalnya cuman dicampur lemon sama madu, terus iseng-iseng kucampur sama mangga muda, leci kaleng, jeruk nipis, juga sereh dan yang terakhir kemarin dicampur buah pala.
Ngomong-ngomong soal teh, rasa dan aroma teh tubruk ini enak banget. Sepet-sepet gimana gitu, itu teh apa?
Sebenarnya itu campuran dari tiga jenis teh tubruk. Biasanya angkringan-angkringan pakai resep ini. Makanya rasa sama aromanya beda. Baru-baru ini aku dikasih teh sama temenku, brandnya Nala Organic Tea. Teh organik gitu, tapi sayangnya belum sempet eksperimen racik pas lagi solo camping.
Ini juga sih yang jadi motivasi buat inget bikin konten masak, soalnya beberapa waktu lalu aku dikasih kuksa sama salah satu brand di Bali. Nggak enak dong kalau nggak dipakai, apalagi kuksa ini punya pemilik workshop. Ukirannya unik, cuman ada satu, nggak dijual lagi.
Wah, menarik ya. Nggak cuman racik-racik makanan, tapi juga minuman. Nah, nanya lagi boleh ya! Selama solo camping kamu ngapain aja? Ngga bosen sendirian di hutan? Bawa buku atau apa gitu buat killing time?
Ada banyak sih. Aku kalau solo camping, bisa aja lho mainan api di Picogrill dari malem sampai subuh. Ya cuman otak atik, bolak balikin kayu, jaga api supaya nggak mati. Kan anget ya, di udara dingin, kabut bahkan kadang hujan, duduk di depan bara api. Biasanya pagi setelah subuh baru tidur.
Hah, niat banget dirimu. Dolanan geni tekan isuk! Terus, kalau siang?
Siang paling bikin konten! [Tertawa.]
Eh, ngomong-ngomong soal konten nih.. Kan di Instagram @saltoutfire ada konten video. Bikinnya gimana tuh? Sendirian, terus take berkali-kali?
Yo iya lah. Jadi emang aku ambil semua gambarnya sendiri. Buat video ini, aku pasang dulu kameranya di sekitar lokasi yang udah aku tentuin buat mendirikan shelter [flysheet dan hammock], lalu akting jalan. Namanya sendirian ya, jadi harus mengira-ngira sudut penangkapan kameranya kayak gimana. Nggak selalu sekali jadi, kadang satu adegan bisa dua sampai lima kali take [gambar].
Nanti pas ambil adegan kedua dan seterusnya ya sama. Pasang kamera dulu, pencet tombol record, baru akting. Aku bener-bener ngerasain produksi video sendiri pas ini. Angkat junjung kamera sama cari-cari angle sendiri. Ya dirimu pasti paham juga lah ya gimana prosesnya.
Aku kebayang sih gimana ribetnya, jujur aja kalau aku jadi kamu tuh mending aku nggak ngonten!
Males ribetnya ‘kan? Tapi justru ini yang ngambil banyak waktuku selama solo camping, nggak berasa aja tau-tau udah sore. Nggak berasa tau-tau udah pagi lagi. Sesekali coba lah, Ren.
Ah, enggak. Aku tim anti ribet, Kuh! Eh, jadi selama solo camping yang kadang bisa tiga hari dua malem itu kamu begitu terus?
Iyo, bahkan ada yang pernah ngeliatin dan berbisik kepada temannya gitu [Tertawa.]
Wah, mungkin ada yang menganggapmu nggak waras! [Ikut tertawa.]
Terus nih, selama di Aman Griyo ini kan kamu juga sendirian. Udah dua malem, dan akan lanjut sampai hari Minggu. Ngapain aja di sini, gabut banget.
Ya sama sih, paling gitaran, ambil-ambil gambar, aku lagi belajar timelapse. Kayak pas solo camping, laper tinggal masak. Bedanya dengan solo camping, fasilitas di sini lengkap jadi nggak ribet-ribet banget.
Tetep ya, mau tidur di alas atau di homestay tetep aja dewekan. Btw ya Kuh, salah satu tantangan solo camping lain menurutku adalah keberanian. Nggak ada rasa takut-takutnya apa, tinggal di hutan sendirian selama beberapa hari?
Ya banyak yang nanya sih soal ini, cuman pas di lapangan akunya biasa-biasa aja. Selama nggak “ngganggu mereka” ya nggak akan diganggu balik. Eh pernah tuh, kapan itu aku posting video malem-malem, terus ada temen indigo yang komen. Dia bilang kalau di sebelahku ada sesuatu yang juga ikutan nyender, di belakang pohon [tempat aku gantung hammock] juga ada.
Pas di sana ya aku nggak ngerasain apa-apa, pernah sih sesekali terdengar ketawa kecil dari pinggir hutan. Aku biasanya coba noleh ke sumber suara, tapi ketika gak ada apa-apa ya aku cuekin aja. Katanya kalau suaranya kecil dan jauh gitu justru itu sedang berada di dekat kita [tertawa]. Temenku ini bilang, “mereka” ini cuman pengen nemenin. Ya percaya nggak percaya ya, tapi emang begituan itu ada. Aku justru takut kalau tiba-tiba ada orang bawa golok mau ngerampok kamera dan hp ku [tertawa lagi.]
Wah, kalau aku sih udah ngibrit.
Eh, jadi, kapan mau [Instagram] live sama TelusuRI tentang masak-masak atau solo camping?
Kapan ya? [Tertawa.]
Ini aja dulu lah dibikinin konten sosmednya, tar kapan-kapan kalau udah bisa camping lagi di tempat yang enak, ada sinyal, kita [Instagram] live bareng.
Can put on camp and other things yang nyambung, tapi make sure there include salt and fire – Freatik, Saltoutfire.
Tau nggak kalau Saltoutfire berarti “garam di atas api,” kayak idiom aja dari memasak. Kukuh bilang, salt out fire menekankan: lagi nggak masak di dapur tapi secara implisit pas denger atau bacanya tuh, “ini masak-masak tapi ada hal lain yang ingin ditampilkan” gitu.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu