Selain kopi, diplomasi terkuat di Nusa Tenggara Timur adalah sepak bola. Orang-orang begitu terobsesi dengan sepak bola. Begitu pula dengan orang-orang di Pulau Adonara, sepak bola adalah permainan yang digemari berbagai kalangan: tua, muda, anak-anak, tidak peduli laki-laki atau perempuan.

Di Mekko, bagi anak-anak muda, kegiatan bermain sepak bola adalah kompetisi nomor satu—yang tidak bisa dibilang hanya sekedar hiburan—karena sepak bola lebih dari sekedar permainan bagi orang timur. 

Sepakbola merekatkan pemuda Mekko, yang pada setiap sore akan selalu bermain
Sepakbola merekatkan pemuda Mekko, yang pada setiap sore akan selalu bermain/Arah Singgah

Alkisah, suatu ketika ada dua orang Bajo dari Labuan Bajo datang ke Mekko untuk melatih orang-orang Mekko bermain sepak bola, dua orang ini memang sudah terkenal dengan kemampuannya yang hebat. Mereka bersepakat membentuk tim baru dengan nama Hercules Mekko—menggantikan tim sebelumnya yang kurang mentereng. Sempat menembus delapan besar, namun sayang kesebelasan ini harus gugur sebelum mencapai partai pamungkas. Sampai sekarang, Hercules Mekko adalah klub sepak bola kebanggaan orang-orang Mekko.

Menurut Pak Said, orang-orang di Adonara bermain dengan adat. Taktik, adat, dan kemampuan adalah hal yang harus dimiliki pesepak bola Adonara. Orang yang ingin menang akan melakukan segala cara, tetapi tanpa adat, kemenangan tidak akan pernah bisa di dapat. Ketika dulu bermain membela Mekko, Pak Said pernah bertemu lawan yang menggosokkan minyak babi ke tubuh mereka, agar licin dan tidak dipegang oleh orang-orang Bajo.

Beberapa orang memilih untuk menonton pertandingan untuk menghabiskan waktu sore
Beberapa orang memilih untuk menonton pertandingan untuk menghabiskan waktu sore/Arah Singgah

“Main bola di Adonara ini macam perang saja,” ucap Ale mengomentari cerita Pak Said. 

Ale bercerita bagaimana di tempat asalnya, Larantuka, persaingan sepak bola itu adalah persaingan gengsi antar desa. Siapa yang menanglah yang akan membawa harum nama desa. Meskipun kompetisi ini dalam skala kecil, antusias orang-orang untuk melihat pun tak terelakkan. Saya melihat sendiri bagaimana supir mobil yang kami tumpangi di Larantuka turun di tengah jalan dan lebih memilih untuk menonton sepak bola daripada mengantarkan kami sampai ke tujuan, hingga akhirnya salah satu temannya lah yang mengantarkan kami sampai ke Pelabuhan Pante Palo.

Sepak bola adalah salah satu cara membaur termudah bagi saya. Di beberapa daerah yang pernah saya singgahi, saya selalu menjajal kemampuan saya untuk beradu bola kaki dengan pemuda-pemuda kampung. Pada suatu petang, lapangan berukuran 100 x 50 itu sudah digeromboli pemuda. Ada yang memakai jersey dan sepatu, lengkap dengan kaus kaki panjang. Ada yang bertelanjang kaki dan kaus katun kumal. Saya termasuk golongan yang kedua. Pak Said berencana meminjamkan sepatu, tapi saya menolak, karena ukuran sepatu saya agak sulit untuk dicari. Sore itu lapangan dipenuhi 18 pemain yang dibagi dua. Kaki saling beradu di antara pasir dan rumput. Gol demi gol bersarang di masing-masing gawang.

Kumpulan bocah yang tidak mau ketinggalan untuk bermain bola/Arah Singgah

Pertandingan bola berakhir 15 menit sebelum azan Magrib berkumandang, menyisakan waktu untuk beristirahat dan membeli minuman dingin. Uniknya, saya diberitahu bahwa setiap pertandingan bola di Mekko, pasti ada salah satu dari kedua belah pihak yang bertanding untuk bertaruh uang, siapa yang bakal menang. Meski tensi pertandingan seperti terlihat biasa saja, ada aroma persaingan yang kuat tentang siapa yang terbaik, siapa yang berhak mewakili Mekko untuk bertanding keluar.

“Besok main lagi ya!” ucap salah satu dari mereka selepas pertandingan usai. Saya mendapat kado spesial dari lapangan ini, dua jempol kaki saya melepuh karena menginjak batu tajam.

“Kalau di sini, main harus pakai adat juga,” lagi-lagi celoteh soal adat keluar dari mulut salah seorang dari mereka, seakan menegaskan kata yang diucapkan Pak Said kepada saya sebelumnya. Di sisi lain dusun, kumpulan bapak ibu ikut meramaikan suasana sore di Mekko dengan bermain voli. Olahraga ini tidak mengeluarkan energi yang terlalu banyak, dan mainnya pun bisa sambil santai, ketawa-ketiwi. 

Ngobrol bersama pak Bakri
Ngobrol bersama pak Bakri/Arah Singgah

Menyinggung soal adat, Pak Bakri menegaskan kepada saya bahwa adat di Adonara itu sangat kuat. Saya mencoba memahami apa arti adat yang ia maksud. Kalau boleh diterjemahkan secara bebas, adat di Adonara merujuk pada pemahaman “kualat”.

Menurut keyakinan orang Adonara, apapun dalam hidup bergantung dengan adat, termasuk pertandingan bola tidak akan bisa dimenangkan oleh mereka yang melanggar secara adat kepada orang dari kampung lain. “Biar bagaimana orang di sana atau pakai tenaga bayaran, sedangkan kita pemain kampung semua, kalau kita terbebas dari semua (adat) itu, tetap akan kalah mereka,” ucap Pak Bakri bersemangat. Adat memanglah bukan sebuah ritus atau bagian dari praktek agama, tetapi ia mengakar jauh dalam sanubari masyarakat nusantara sebagai nilai-nilai yang menjaga kesopanan dan pantangan. Kepercayaan ini mengakar kuat di berbagai daerah di Indonesia dengan mengambil macam bentuk dan kata yang berbeda dengan maksud yang sama, seperti kualat, pamali, kapuhunan, dan adat.

“Banyak dari anak-anak kita, saudara-saudara kita yang masuk pesantren tidak percaya adat lagi. Karena mereka menganggapnya syirik,” celotehnya.

“Kau masuk ke Adonara, kau tidak percaya itu barang (adat), kau mati!” Pak Bakri kembali menegaskan perkataannya.

Kalau ditelaah, pantangan-pantangan yang diberikan semua masuk akal dan kalau sekiranya dikaitkan dengan agama pun sudah pasti akan sesuai. Contohnya di Adonara, meskipun pukat seorang nelayan sudah penuh, jangan sekali-kali mencoba mengambilnya, karena malapetaka akan datang pada seorang yang berbuat jahat. Apa yang kau tanam, itulah yang kau tuai. Itulah adat Adonara. Deheman Pak Bakri di akhir kalimat yang ia ucap, cukup menyimpulkan bagaimana hidup harus sesuai laku, baik atau buruknya akan berbalas kepada diri sendiri.

***

Pada Agustus 2022, TelusuRI mengunjungi Bali, Kupang, Pulau Sabu, hingga Flores Timur dalam Arah Singgah: Menyisir Jejak Kepunahan Wisata, Sosial, Budaya—sebuah perjalanan menginventarisasi tempat-tempat yang disinggahi dalam bentuk tulisan dan karya digital untuk menjadi suar bagi mereka yang ceritanya tidak tersampaikan.

Tulisan ini merupakan bagian dari catatan perjalanan tersebut. Nantikan kelanjutan ceritanya di TelusuRI.id.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar