Travelog

Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (2)

Dan hari itu adalah kali keduaku ke Pantai Hutan Nipah setelah tiga puluh tahun yang lalu. Meskipun bernama “nipah”, kenyataannya, hutan itu lebih banyak ditumbuhi pohon buni yang buah-buahnya menjadi makanan makaka. Di tepi hutan, kesenyapan itu meruapkan hawa wingit. Apalagi di belakang kami tiba-tiba muncul sosok tua bertongkat kayu dengan kemeja dan celana pendek belel.

“Siapa, ya?” bisikku kepada Iko.

“Jangan bilang beliau siluman,” jawab pemuda itu sambil melepas dan melilitkan jaket Reebok dongker di pinggang, menampakkan kaus kelabu yang membungkus torsonya. 

Sebenarnya aku tahu, si orang tua berharap kami memberinya sedekah. Kondisi pariwisata yang oleng mungkin mendesaknya meminta-minta. Kami membiarkannya mengikuti kami. Siapa tahu ia bisa menghalau bila ada monyet edan mendadak menyerang.

Legenda Raden Segara 

Merasuki relung hutan, beberapa makaka mulai terlihat, campur-baur suara satwa terdengar, dan cahaya matahari tertutup rimbun pepohonan. Jalan setapak Nipah cukup lebar, tak banyak kelokan, teduh, dan sedikit gelap. Beberapa meter setelah tikungan terakhir, jalan buntu.

Di sudut hutan itulah sejulang pohon buni bertubuh lebar berdiri kokoh meski telah sepuh, setua kisah Raden Segara. Raga pohon diselimuti selembar kain berwarna kuning mencolok, menunjukkan bahwa makhluk itu dikeramatkan.

Suatu kali, ketika melihat foto pohon itu, seorang kawan bertanya, “Kenapa kuning? Itu Jawa sekali.” Aku tak punya jawaban pasti. Bisa jadi sarung kuning itu cuma kebetulan. Namun, kalau mau othak athik gathuk, aku ingat empat warna dalam kisah Dewa Ruci, cerita yang amat berarti dalam falsafah kebatinan orang Jawa. Dalam kisah itu, Werkudara masuk ke perut Dewa Ruci. Di lambung sang dewa liliput, ia menjumpai empat warna hasrat. Kuning merepresentasikan nafsu supiah, hasrat duniawi.

“Itu petilasan Raden Segara,” ucap si kakek sambil menunjuk rantai batu yang melingkar di bawah pohon buni. Kualihkan pandang ke papan besi yang berdiri di sebelah buni. Plakat bercat putih tersebut menerakan kisah Raden Segara. Di akhir cerita, hulubalang Gilingwesi bertanya kepada Tanjung Sekar perihal ayah Raden Segara. Ketika perempuan itu menjawab, “Siluman”, kedua ibu-anak mendadak lenyap seolah-olah menyusul sang ayah ke negeri para peri. Lokasi moksa tersebut ditandai kain kuning yang melilit pohon buni dengan lingkaran batu di kakinya.  

Maka, kain supiah menjadi penanda bahwa Raden melepaskan takhta dan syahwat duniawi. Sebab, di situlah dahulu keraton sang pangeran didirikan. Warna kuning berunsur air, seperti ‘Segara’, nama daging sang Raden yang harus ditanggalkan untuk menyongsong jati dirinya yang lain, identitas gaib sang ayah sebagai sosok yang berasal dari dunia roh.

Karena tak dibutuhkan lagi, aku merogoh selembar rupiah dan menyerahkannya kepada si kakek. Kepergian orang tua itu berbarengan dengan berkumpulnya beberapa makaka di sekitar kami. Aku menyesal tidak membawa pisang atau kacang. Sementara Iko masih khusyuk menekuni cerita Raden Segara di papan itu.

Sungguh, kisah Raden Segara punya beberapa varian. Cerita Raden Segara di papan itu seversi dengan yang ditulis Zainal Fattah dalam Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-Daerah di Kepulauan Madura dengan Hubungannja (1951). Namun, Sangkolan: Lègènda bȃn Sajara Madhurȃ (2005) karya A. Sulaiman Sadik mengakhiri kisah dengan kembalinya Raden Segara dan ibunya ke Jawa setelah berhasil mengalahkan legion Cina yang berusaha menginvasi Kalingga.

Baik versi satu maupun versi yang lain bagiku memiliki motif politis. Aku menduga, hilang atau perginya Raden Segara dalam kisah itu merupakan penolakan orang Madura sebagai zuriat Jawa. Sebab, sang pangeran hengkang dari Madura ketika ia masih lajang dan tak meninggalkan keturunan. Penafian ini bisa jadi didorong oleh rasa tak senang orang Madura atas ekspansi Jawa di tanah mereka. Penampikan akar genealogis tersebut mengembalikan kita pada spekulasi Rifai bahwa penduduk mula-mula Madura berasal dari gelombang migrasi Proto-Melayu. Jika tidak, kita hanya akan menemui riwayat Madura yang berselubung halimun.

Di Hutan Itu, Raden, Mengapa Kau Ditelan Sejarah? (2)
Kawanan Makaka nongkrong di pohon tumbang/Royyan Julian

Para Penggawa Raden Segara

“Aku baru tahu legenda ini,” tukas Iko usai membaca papan itu.

Aku lebih beruntung karena telah mendengar cerita Raden Segara ketika masih duduk di sekolah menengah awal. Waktu itu, seorang teman mempresentasikan tugasnya yang mengangkat kisah Raden Segara di depan kelas. Saat pertama berkunjung, aku hanya tahu Hutan Nipah dihuni para monyet tanpa mengerti legenda satwa tersebut. Kini, lawatanku ke Nipah semacam tapak tilas cerita Raden Segara dan Tanjung Sekar.  

“Jadi, monyet-monyet di sini jelmaan para penggawa Raden Segara setelah ia pergi dan keratonnya ikut lenyap,” simpul Iko dengan mengedipkan mata sipitnya. Kami berjalan meninggalkan pohon buni bersarung kuning. “Tapi, kenapa harus jadi monyet? Kenapa enggak jadi sapi aja?”

“Monyet lebih mirip manusia,” tebakku sekenanya. Karena kemiripan morfologis itulah, dalam banyak dongeng, monyet sering dihubungkan dengan manusia: Subali Sugriwa, Lutung Kasarung, Ciung Wanara. Bahkan, dalam kitab suci, Bani Israel dikutuk jadi monyet ketika melanggar hari Sabat. Jauh sebelum Charles Darwin menyiarkan manifesto ilmiahnya tentang kekerabatan genetik manusia dengan monyet, legenda-legenda itu telah menyiratkan keintiman asosiatif kita dengan primata berekor panjang tersebut.

Eman, kita enggak bisa ngomong sama monyet-monyet ini,” keluh Iko sambil mencari tempat duduk aman di pendopo bertabur tahi cicak dan kalong. Sebagaimana semua sarana di sini, pendopo itu juga terbengkalai.

“Padahal makaka punya tiga ratus kosakata,” sahutku menghampiri kawanan monyet yang nongkrong berjajar di bekas pohon tumbang. Seekor ibu monyet tampak waspada dengan mendekap erat-erat bayinya yang menyesap ambing.

“Kalau paham bahasa mereka, kita bakal bisa menyimak khotbah tentang Raden Segara versi tradisi monyet Nipah,” gelak Iko, melambaikan helai-helai rambutnya yang lurus.

“Kita butuh ilmuwan gigih kayak Jane Goodall yang memahami bahasa simpanse. Atau, orang yang meneliti tiga ratus kosakata makaka perlu kita undang untuk berbicara dengan monyet-monyet di sini.” 

Sayang, percakapan itu harus diakhiri matahari yang bergeser ke barat dan dingin yang mulai menyusup. Kami keluar dari permukiman monyet seperti Raden Segara meninggalkan hutan itu. Di gerbang, kami tak menjumpai kakek pembuntut. Kami hanya bersemuka dengan derau gelombang laut, pasir putih, dan orang-orang yang tak ada lagi. Aku bayangkan, beginilah suasana Nipah setelah Raden Segara sirna, setelah pangeran Jawa itu ditelan kabut misteri, setelah ia memutus riwayat di jantung sejarah Madura yang sayup.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Royyan Julian

Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.

Royyan Julian adalah penulis esai, fiksi, dan puisi. Saat ini bergiat di Universitas Madura dan sejumlah komunitas kebudayaan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Karapan Sapi, Karapan Besi (1)