TRAVELOG

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor

Hari itu, embun masih menggantung di ujung daun, dan suara ayam kampung membelah pagi di kaki Gunung Salak. Seorang mahasiswa dari Singapura tampak berhenti sejenak, menatap sawah yang menghampar di hadapannya. Di tangannya, sebilah daun singkong sebentar lagi akan diubah menjadi wayang. Di sekelilingnya, tawa orang-orang di kampung bersahut-sahutan, bercampur aroma bandrek yang mengepul dari dapur kayu di pendopo kampung adat.

Bagi sebagian orang, belajar mungkin identik dengan ruang kelas, layar presentasi, atau tumpukan buku. Tapi bagi mereka yang ikut dalam perjalanan ini, belajar justru dimulai saat kaki menjejak tanah, saat tangan kotor oleh lumpur sawah, saat cerita-cerita dari warga desa menyelinap perlahan ke dalam kesadaran, mengubah cara pandang tentang hutan, pangan, dan hidup itu sendiri.

Inilah yang disebut experiential learning, sebuah pendekatan belajar yang tumbuh dari pengalaman langsung. Bukan sekadar mendengar teori, tapi turut mengalami dan merasakan napas kehidupan masyarakat yang menggantungkan harap pada hutan dan tanah. Di kawasan social forestry (perhutanan sosial atau sosial forestri), proses belajar menjadi sesuatu yang hidup, konkret, dan bermakna.

Perhutanan sosial di Indonesia bukan hal baru. Di banyak kampung, hubungan masyarakat dengan hutan telah berlangsung jauh sebelum istilah itu diperkenalkan. Hutan bukan hanya sumber kayu atau hasil kebun, melainkan juga ruang spiritual, warisan nenek moyang, dan pondasi ekonomi keluarga. Di sinilah nilai-nilai kemandirian, gotong royong, dan keberlanjutan dijalankan hari demi hari, dalam diam namun penuh kekuatan.

Selama tiga hari, mahasiswa dari Singapore University of Social Sciences (SUSS) diajak menyelami kehidupan di tiga kampung perhutanan sosial di Bogor. Mereka belajar tentang agroforestri kopi, ikut menanam padi, memasak dengan alat tradisional, bahkan mencicipi kopi hasil kebun rakyat yang ditanam tanpa pupuk kimia. Di balik setiap aktivitas itu, tersimpan pelajaran tentang relasi manusia dengan alam relasi yang dibangun bukan dengan dominasi, tapi dengan saling jaga.

Dan dari sana, kita mulai memahami: bahwa pendidikan sejati tak selalu lahir dari papan tulis atau sertifikat, tapi dari pertemuan. Pertemuan antara rasa ingin tahu dan kearifan lokal, antara pemuda dan petani, antara generasi yang datang dan pengetahuan yang diwariskan. Semua dimulai dari keberanian untuk pergi, mendengar, dan mengalami.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Mahasiswa membuat wayang dari daun singkong sebagai bagian dari pengenalan nilai budaya Sunda (14/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Pertama: Menyulam Tradisi di Sindangbarang

Perjalanan dimulai dari Kampung Budaya Sindangbarang, Tamansari, kampung adat tertua di Bogor yang masih menjaga kuat warisan budaya Sunda. Para mahasiswa disambut dengan alunan musik Angklung Gubrag dan segelas bandrek hangat, seolah mengantar mereka masuk ke dimensi waktu yang berbeda.

Di sini, mereka tak hanya belajar tentang filosofi hidup masyarakat Sunda, seperti Tri Tangtu di Buana yang mengajarkan keseimbangan antara manusia, alam, dan leluhur, tapi juga ikut ambil bagian dalam aktivitas budaya sehari-hari: menumbuk padi dengan lesung, membuat wayang dari daun singkong, memasak nasi dalam aseupan, dan menanam padi di sawah secara gotong royong.

Ritual Marak Lauk, tradisi syukuran atas hasil bumi dan air menjadi puncak dari hari itu. Kegiatan ditutup dengan permainan rakyat seperti rengkong dan parebut seeng, yang menyiratkan makna kebersamaan dan kerja kolektif.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Mahasiswa mencicipi hasil kebun seperti pisang dan kelapa di area agroforestri Patani Coffee, Leuwiliang (15/62025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Kedua: Mengenal Kebun Rakyat di Leuwiliang

Keesokan harinya, peserta beranjak ke Patani Coffee di Leuwiliang, kebun kopi rakyat seluas 4,5 hektare yang dikelola dengan pendekatan agroforestri. Di bawah rindangnya pohon pelindung, mahasiswa menyusuri kebun yang tak hanya ditanami kopi, tapi juga pisang, singkong, kelapa, dan berbagai tanaman pangan lainnya—semuanya dikelola tanpa pupuk kimia.

Mereka ikut memberi pakan kambing, mengenal tanaman tumpangsari, hingga menyimak cerita petani tentang bagaimana kebun menjadi penyangga pangan keluarga saat harga kopi turun. Tak hanya itu, mahasiswa diajak melihat langsung proses pascapanen kopi: dari penyortiran biji, penjemuran, hingga menyeduh kopi dengan metode bamboo drip dan kopi tarik.

“Kopi ini bukan hanya soal rasa. Ini tentang bagaimana kami bertahan,” ujar Pak Arifin, penggagas Kopi Patani.

Mahasiswa mengamati demplot kopi (kiri) dan wisata edukatif di Cibulao, kawasan hulu Puncak (16/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Hari Ketiga: Melihat Harapan Baru dari Cibulao

Hari terakhir berlangsung di Cibulao, kampung kecil yang terletak di tengah kawasan hutan lindung Puncak. Dulu, desa ini nyaris terisolasi, terimpit di antara lahan HGU (Hak Guna Usaha) perkebunan teh, dan sebagian besar warganya menggantungkan hidup sebagai buruh harian. Kini, wajah Cibulao perlahan berubah.

Melalui skema perhutanan sosial, warga membentuk Kelompok Tani Hutan (KTH) dan mengembangkan agroforestri kopi sebagai bentuk diversifikasi mata pencaharian. Tak hanya mengurangi ketergantungan pada pekerjaan buruh, inisiatif ini juga memulihkan hutan yang dulunya rusak dan gundul.

Para mahasiswa ikut menanam pohon di lahan kritis, menyusuri jalur agroforestri, mencicipi kopi Cibulao yang telah memenangkan kontes kopi nasional, hingga belajar tentang pengembangan wisata edukatif berbasis komunitas. Di akhir kunjungan, mereka mengikuti sesi cupping, mencicipi kopi hasil panen petani yang diolah secara mandiri.

Dari Kopi hingga Tradisi: Mengenal Perhutanan Sosial di Kampung-Kampung Bogor
Kegiatan penanaman pohon di lahan konservasi Cibulao sebagai bentuk kontribusi peserta terhadap keberlanjutan (16/6/2025)/Annisa Aliviani via LATIN

Social Forestry, Ruang Belajar dan Harapan Masa Depan

Program ini merupakan bagian dari Akademi Sosial Forestri, inisiatif Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) untuk memperkuat transfer pengetahuan lintas generasi dan membangun empati ekologis di kalangan muda. Melalui pendekatan pembelajaran berbasis pengalaman, sosial forestri atau perhutanan sosial tak lagi dipahami sekadar sebagai kebijakan, melainkan sebagai cara hidup yang konkret, adaptif, dan penuh makna.

Di tengah ancaman krisis iklim dan ketimpangan sosial, perhutanan sosial hadir sebagai jalan tengah yang menjawab kebutuhan ekologis sekaligus sosial. Ia merawat hutan sambil merawat kehidupan. Dan generasi muda seperti para mahasiswa ini adalah bagian penting dari masa depan itu. Mereka bukan hanya pengamat, melainkan juga pelaku yang bisa menjaga, meneruskan, dan menyuarakan cerita-cerita dari akar rumput.

Sebab, seringkali belajar yang paling membekas bukan yang kita catat di buku, melainkan yang kita alami sendiri di tengah hutan, di ladang, di rumah-rumah sederhana yang menyambut kita dengan cerita dan secangkir kopi hangat.


Teks dan foto oleh Annisa Aliviani, koordinator komunikasi di Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN)

Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) didirikan pada tanggal 05 Oktober 1989 di Bogor. LATIN merupakan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berdedikasi untuk mempromosikan dan mendukung pengelolaan sumberdaya alam yang adil dan beradab bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam khususnya hutan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Optimisme dari Lembah Grime