Ada benang-benang yang tak tampak namun saling terhubung di Abepura. Benang-benang itu saling mengaitkan anak-anak mudanya, menyimpul lewat makan pinang bersama, menyeruput saguer, atau entah-kegiatan-apa sebagai perlawanan untuk menunda pagi, sebelum kembali menghadapi rutinitas membosankan yang menyongsong esok hari, lusa, setelah lusa, dan setelahnya, dan setelahnya. (Di kota ini, hari-hari seperti terlalu cepat dilelehkan oleh matahari. Dan orang-orang perlu memutar otak untuk memaksimalkan pengalaman melewatkan malam-malam yang pendek.)
Di pelataran parkir Mal Abepura simpul itu juga ada. Saat saya tiba di sana, dengungan azan Isya masih bisa saya dengar meskipun sayup-sayup. Musik mendentum-dentum dari pengeras suara. Randi Mozza sang disc jockey tampak berusaha sekali menghalau sunyi malam dan memanggil keramaian untuk mampir ke Abepura. Malam Minggu ini, pelataran parkir, yang seharusnya jadi tempat mobil beristirahat sambil menunggu pemiliknya belanja, dikuasai oleh anak-anak muda Abepura. Dandanan mereka kasual—kaos longgar, celana jin baggy, hoodie, dan topi. Penampilan cuek itu mengesankan bahwa mereka sedang merayakan kebebasan dari seragam sekolah.
Adalah vernacular dance—yang populer dengan sebutan street dance—yang menjadi alasan mereka berkumpul. “Ngamen di jalan,” mereka bilang. Kegiatan ini mereka adakan minimal sekali sebulan.
Musik dan tarian memang tidak bisa dipisahkan dari masyarakat Papua. Sejak dahulu, mereka yang tinggal pesisir maupun yang bermukim di gunung-gunung memasukkan unsur tari dan musik dalam kehidupan keseharian. Menikmati musik dan menari seperti sudah senatural menghirup oksigen.
Saya masih ingat, saat masih sekolah dasar, setiap Jumat pagi, kami dikumpulkan di tengah lapangan untuk melakukan senam kesegaran jasmani (SKJ), program massal dari pemerintah untuk sekolah-sekolah. Sehabis SKJ, biasanya kami akan menari yospan (yosim-pancar). Itu adalah tarian pergaulan yang sering dibawakan muda-mudi sebagai ekspresi persahabatan. Yospan dan street dance memiliki peran yang sama, yakni mengumpulkan anak muda.
Ada beberapa sanggar tari di Abepura, dari yang khusus tarian tradisional hingga tarian kontemporer seperti modern dance. Semuanya menanamkan nilai-nilai tentang disiplin, kepercayaan berkelompok, dan juga menghargai waktu. Atmosfer skena hip-hop dan pengaruh gerakan-gerakan tari tradisional membuat modern dance tumbuh subur di Abepura.
Dalam street dance diperlukan stamina tubuh dan kedisiplinan berkelompok. Gerak tubuh mereka seperti diatur oleh musik, meskipun bukan berarti patuh. Tempo yang kadang-kadang cepat lalu beralih ke lambat membuat para penari mesti tetap waspada. Insting juga berperan di sini. Keluwesan dan penghayatan ritme adalah dua hal yang menjadi kunci. Para penari yang maju ke lantai dansa akan mencoba mengeluarkan jurus terbaiknya. Ditampilkan di pusat keramaian seperti Mal Abepura, tarian jalanan dengan gerakan-gerakannya yang atraktif dan bebas akan membuat siapa saja menjadi penasaran.
Mereka berkumpul layaknya semut mengerubungi gula, melingkari arena tanding seperti sudah tak sabar untuk mengeluarkan jurus pamungkasnya. Dengan komando dari Kaka Douglas selaku MC, dari sisi kanan sudah ada yang meliuk-liukkan tangan kaki dan leher dengan gerak kaku. (Bila gerakan bertambah cepat, mereka akan kelihatan seperti orang kena setrum.) Ini bernama gerakan elektrik boogie. Kadang pundak kanan dinaikkan diikuti tangan kanan berbentuk huruf L lalu tangan kiri menumpang pada tangan kanan—agak susah mendeskripsikan apa yang sedang terjadi. Penonton pun cuma bisa mengeluarkan teriakan penyemangat. Persis adegan-adegan dalam film Step Up.
Saya tak tahu bagaimana menilai—saya bukan penari apalagi juri. Bagi saya, semuanya layak mendapatkan tepuk tangan. Sedikit-sedikit, dari berbincang dengan mereka dan mengulik referensi, saya mengerti bahwa cukup banyak gaya menari yang ada dalam street dance, seperti b-boying, popping, locking, krumping, tutting, liquid, housing, Melbourne shuffle, c-walking, jumpstyle, hip-hop dance, dll. Masing-masing gaya itu pun ada yang kemudian memiliki anak aliran, seperti animation dan robotting yang telahir dari popping, atau creep walk dan crown walk dari c-walking.
Ada satu hal yang familiar dari gerakan-gerakan mereka itu. Kaki mereka menari-nari seperti gerakan tari yospan yang dulu rutin saya dan teman-teman lakukan usai SKJ. Entah secara sadar atau tidak, mereka meliuk-liuk mencampur “luar” dan “lokal.” Harmonis. Luwes. Seluwes burung cendrawasih yang sedang menggoda pasangannya; sekuat buaya saat menerkam mangsanya.
Tapi, usai “bertempur” mereka bersalaman. Sportif sekali mereka. Laku mereka itu seolah membantah kenyataan bahwa tingkat kekerasan antar-remaja di Jayapura cukup besar. Mereka seperti menemukan arena untuk berekspresi dan rekreasi. Walau terlihat seperti memberontak dan tak taat aturan, street dance malah mengajarkan sportivitas pada anak-anak muda itu. Adu tonjok diubah jadi gerakan tari tanpa menyentuh lawan. Yang merasa jurusnya kalah harus siap mundur. Semua mesti legawa.
Street dance seolah menyampaikan pesan bahwa pertarungan tak harus berakhir dengan tubuh yang babak belur dan muka lebam. Peluh keringat, napas yang tersengal-sengal, dan badan sedikit pegal rasa-rasanya sudah lebih dari cukup.
Berimajinasi seperti anak-anak, bersemangat ala pemuda, dan bijaksana layaknya orang tua.