TRAVELOG

Cerita menuju Pendidikan Dasar Wanadri 2025

Persiapan sudah, tapi aturan menentukan. Tahun ini saya belum bisa mengikuti Pendidikan Dasar Wanadri (PDW). Terbentur batas usia. Padahal PDW sebelumnya hanya mensyaratkan minimal umur 18 tahun. Mereka yang berusia dua kali lipat lebih, diberi kesempatan mendaftar. Kini, maksimal 30 tahun. 

Tentu banyak yang sedih dan kecewa. Saya pribadi telah menempa fisik sejak 2023. Rutin joging plus beberapa kali naik gunung. Awal 2025, saya mulai mengakrabi sepatu tentara kulit jeruk, salah satu perlengkapan wajib peserta PDW. Sepatu gagah itu saya pakai ketika berlatih jalan malam selepas isya. 

Bukan rahasia, di antara tantangan terberat PDW selain medan rawa laut adalah longmarch 24 jam. Saya ingin membiasakan kaki nempel dengan sepatu lapangan tersebut. Jadi, saat nanti dipakai PDW, tidak perlu adaptasi lagi. Kalau baru dicoba pas PDW, dijamin kaki “rontok”. Tak kuasa menahan gesekan selama perjalanan superjauh. Akibatnya lecet-lecet dan melepuh.

Sayangnya, pupus harapan untuk ikut PDW 2025. Saya sempat bungah saat mendapat surel dari Panitia PDW 2025 (26/2/25): Kami sangat tertarik untuk mengetahui lebih jauh latar belakang dan minat Anda terhadap Wanadri. 

Tidak semua calon responden yang sebelumnya mengisi Survei Minat PDW, mendapat pesan khusus tersebut. Kami meminta kesediaannya untuk mengisi form lanjutan ini sebagai bentuk keseriusan terhadap Pendidikan Dasar Wanadri 2025. 

Cerita menuju Pendidikan Dasar Wanadri 2025
Penutupan PDW 1996 angkatan Elang Rawa di Gunung Tangkuban Perahu/Dokumentasi Wanadri

Di antara pertanyaannya, motivasi saya apa? Mau ngapain setelah selesai PDW? 

Alasan terkuat saya ikut PDW adalah ingin menyenangkan ibu yang suka cerita aktivitas Wanadri. Ibu saya asli Bandung (Sunda). Saat mudanya, beliau kerap bertualang ke Jayagiri dan Situ Lembang. “Pendidikan Wanadri itu berat, tapi berkarakter,” ucapnya.

Lagian, Wanadri terpusat di Bandung. Anggotanya didominasi akang jeung teteh. Secara kultural, saya merasakan kedekatan. Sebagai bentuk kecintaan kepada tanah kelahiran, saya wujudkan dengan mencoba gabung Wanadri. 

Tapi, ya sudah. Saya berbesar hati. Semoga saja PDW berikutnya jodoh.

PDW tahun ini menggaungkan semboyan Setia—Tangguh. Pendaftaran 21 Juli–19 September 2025. Pelaksanaan kegiatan 27 Desember 2025–25 Januari 2026. Biasanya, upacara pelepasan oleh Gubernur Jawa Barat di Gedung Sate. Berlanjut ujian pembuka: jalan kaki menuju Situ Lembang—lokasi latihan Komando Pasukan Khusus (Kopassus).

Cerita menuju Pendidikan Dasar Wanadri 2025
Ian (Elang Rawa, 1996) membaca Buletin Wanadri. Kini ia tinggal di Perumnas Nuri, Kota Cirebon/Mochamad Rona Anggie

Dukungan dari Akang Wanadri

Di Kota Cirebon, tempat saya tinggal sekarang, ada beberapa anggota Wanadri. Salah satunya saya kenal dari zaman SMA (2001–2003), Ian “Bohemian” Hobo. Lelaki gondrong angkatan Elang Rawa (1996), bareng Komandan Latihan PDW 2025, Rudi “Kurdul” Mulyadi dan sidang redaksi Buletin Wanadri, Muhammad Antonius Satya (Anton). 

Termasuk Ketua Dewan Pengurus Wanadri XXI (2008–2010), Darmanto, keluarga Elang Rawa. “Dia PDW-nya Elang Rawa, tapi (pengembaraannya) sama Kabut Lembah,” jelas Ian.

Kediaman A Ian berseberangan dengan rumah saya. Hanya semenit jalan kaki. Sering saya berkunjung. Termasuk saat mengutarakan niat gabung PDW. Lelaki 53 tahun itu menyambut antusias. “Apa enggak terkendala umur?” tanyanya.

“Sebelumnya sih enggak dibatasi, A,” kata saya percaya diri.

“Ya, syukur kalau nanti bisa ikut PDW. Jadi anggota Wanadri itu bukan semata kuat fisik dan mental. Ada keteladanan yang mesti dirawat. Ini tidak mudah,” nasihatnya.

Cerita menuju Pendidikan Dasar Wanadri 2025
Pelatih siaga memantau siswa PDW/Dokumentasi Wanadri

Begitu syarat pendaftaran PDW diumumkan di Instagram Wanadri, Ian mengabari. Saya bilang, sudah kirim direct message pula; mengonfirmasikan pertimbangan syarat usia. Sayang, tidak berbalas. “Saya bayangkan itu typo, mungkin maksimal 50 tahun,” gurau saya ke admin.  

Di tengah hasrat itu, A Ian sempat mengajak saya mendaki Ciremai bareng Kang Anton bersama keluarganya. Tapi urung, berganti personel Tapak Lembah yang naik ke atap Jawa Barat dikawal Ian.

Ian membocorkan alasan di balik batas maksimal usia peserta PDW 2025. “Berdasarkan pengalaman,” ucapnya lantas merinci hambatan mereka yang berumur semakin tua, punya kesibukan berlipat. “Selain urusan pekerjaan, juga tanggung jawab keluarga,” tambahnya.

Yang terjadi kemudian, lanjut dia, usai PDW mereka biasanya “menghilang”. Sementara dewan pengurus punya seabrek program bagi Anggota Muda Wanadri (AMW). Meliputi masa bimbingan sekitar satu sampai dua tahun. Termasuk pengembaraan sebagai syarat menjadi anggota penuh dan meraih nomor registrasi pokok. 

“Akan mengganggu program lanjutan, kalau tidak komitmen. Masuk Wanadri jangan setengah hati, harus total!” tegas lelaki yang baru dikaruniai momongan lagi.  

Panitia PDW 2025, kata Ian, punya harapan besar pada peserta yang masih 30 tahun. Bisa leluasa mengatur waktu, dan lebih serius berlatih.

Silaturahmi ke Wanabon

Sebagai persiapan, saya beberapa kali mendaki gunung. Terakhir naik Ciremai ditemani salah satu anak kembar saya, 9–10 April 2025. Di jalur ke Pos 1 Cigowong (Palutungan), saya berpapasan dengan lelaki gondrong memakai kaus Wanadri. Saya sapa dan berkenalan. Namanya Demon, asli Kuningan. 

“Rumah saya dekat A Ian.”

“Oh, Ian. Ya, titip salam,” ucapnya semringah, tak lupa mendorong anak saya untuk daftar PDW. “Belum bisa, Kang. Masih kelas satu SMA,” sahut saya. Padahal dalam hati, saya yang mau ikut, kok!

Belum lama ini, Kamis (31/7/25), saya juga silaturahmi ke Kang Herry Gunawan (Rawa Laut). Herry (70) ikut PDW tahun 1978 ketika masih mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Padjadjaran.

“Zaman saya PDW, medan rawa laut pertama kali dikenalkan ke siswa,” kenang kakek empat cucu itu. “Lokasinya di Pantai Eretan (Indramayu) dipakai terus hingga sekarang,” imbuhnya.

Kang Herry mengungkapkan, sebenarnya wong Cheribon boleh berbangga. Sebab, pendiri Wanadri berasal dari Kuningan dan Cirebon. Mereka punya hubungan famili. 

“Di grup WA Wanabon (Wanadri Cirebon), ada dua pendiri, Kang Harrie dan Yayat,” ujar lelaki yang aktif dalam Dewan Pengurus IX Wanadri (1980–1984), dengan ketua Gustav Afdhol Husein. “Masa itu sekretariat kami di Jalan Wastukencana No. 29.”

Keenam pendiri Wanadri itu Hardiman “Harrie” Soebari (W-001 PEN), Ronny Nurzaman (W-002 PEN), Bambang Pramono (W-003 PEN), Satria Widjaja Soemantri (W-004 PEN), Eddy Achmad Fadillah (W-005 PEN) serta Achmad Hidayat/Yayat (W-006 PEN). “Lima di antaranya memiliki relasi paman-keponakan,” beber Herry.

Kini, keseharian Kang Herry setelah pensiun dinas di Sumatra, gemar mengoleksi tanaman hias di rumahnya, Perumnas Gunung Agung. Untuk menjaga kebugaran, dia suka bersepeda dan berenang. “Kalau ada undangan pembukaan dan penutupan PDW, saya datang bareng Mustofa,” tuturnya.

Penelusuran penulis, Kang Yayat tinggal di Perumnas Gunung Bromo. Sabtu (2/8/25), saya bertemu lelaki yang pada 17 Agustus 2025 berulang tahun ke-75.

Kiri: Kang Herry (Rawa Laut) rutin gowes di usia 70 tahun. Kanan: Kang Yayat (W-006 PEN) memandangi potret kakak kandungnya (alm) Eddy Achmad Fadillah (W-005 PEN) di kediaman Perumnas Gunung Bromo, Kota Cirebon/Mochamad Rona Anggie.

“Saya tidak boleh jauh keluar rumah. Pesan dokter begitu,” kata Kang Yayat yang sebulan sekali cek jantung ke rumah sakit. “Sudah mau PDW lagi, ya! Semoga lancar, deh,” doa kakek sepuluh cucu itu. 

Sementara Mustofa (Elang Rawa), sebelumnya aktivis Pencinta Alam SMAN 1 (PASS) Cirebon. Kiprahnya terselip di buku Menggapai Angkasa Nusantara, perjalanan terbang solo pesawat trike (Sabang–Merauke) yang dilakoni anggota Wanadri Saleh Sudrajat (Kang Usol), tahun 2008.

Petualangan Kang Usol di langit Indonesia menegaskan pernyataan Komandan Resimen Para Komando Angkatan Darat (RPKAD) Sarwo Edhie Wibowo: Tak ada gunung yang tinggi, rimba belantara, jurang curam dan lautan serta angkasa yang tak dapat dijelajahi oleh Wanadri—mengacu pada pola pendidikan prajurit infanteri yang bisa ditugaskan di medan apa pun.

Di Cirebon juga ada Ahmad Zaeni angkatan Hujan Rimba (2005). Dia merampungkan PDW bareng Ardeshir Yaftebbi—Ketua Tim Pendaki Ekspedisi Tujuh Puncak Dunia (Seven Summits) Wanadri (2010–2012).

Bang Zaeni senior saya di Mapala UMY. Dua dekade lalu, waktu dia ikut PDW, kami menyebutnya lagi “S2”. Zaeni yang dikaruniai empat anak, mudah terlihat di seputaran Perumnas sedang jalan kaki tanpa alas. Dia konsisten melatih kekuatan otot kaki dengan meminimalisasi naik kendaraan. “PDW mengutamakan keselamatan peserta. Medan latihan yang bervariasi bakal menempa kita,” paparnya.

Cerita menuju Pendidikan Dasar Wanadri 2025
Buletin Wanadri bacaan favorit saya masa SMA (2001-2003)/Mochamad Rona Anggie

Terkenang Buletin Wanadri

Niat saya ikut PDW juga ingin jumpa tokoh pegiat alam terbuka negeri ini, semisal Galih Donikara dan Iwan “Kwecheng”. Keduanya turut dalam Ekspedisi Everest 1997, kolaborasi pendaki militer (Kopassus) dan sipil (Wanadri, Mapala UI, FPTI).

Sewaktu SMA, saya pelanggan Buletin Wanadri. Di beberapa edisi ada kisah pendakian Kang Galih ke deretan Pegunungan Sudirman (Papua). Puncak tertingginya Carstensz Pyramid (4.884 mdpl). Kang Galih mengoleksi pucuk-pucuk gunung yang saat itu masih berselimut es. 

Sementara Kang Kwecheng bersama tim Wanadri berhasil memanjat Tebing Bukit Kelam, Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat, tahun 2002. Secara teknikal ilmu panjat tebing, Kwecheng salah satu andalan Wanadri. Namanya kian berkibar usai menziarahi tujuh puncak tertinggi di tujuh benua (seven summits). 

Di akunnya, Kang Galih pernah menulis begini: Perjalanan terjauh dan terberat adalah menuju Masjid. Para pemuda kuat dan bertubuh sehat yang mampu melakukan pendakian ke puncak gunung pun sering mengeluh ketika diajak ke Masjid dengan beragam alasan. 

Memberi teladan bagi generasi muda, sejauh apa pun pengembaraan, jangan lupa untuk bersujud kepada Allah. Kini, Kang Galih menikmati hari tua didampingi istri yang juga seorang Wanadri, serta dua bocah lelaki menggemaskan. 

Wanadri di hatiku. Selamat berlatih untuk kalian yang akan berjuang menapaki PDW. Jangan sia-siakan kesempatan. Semoga ilmu yang didapat bisa dibaktikan kepada nusa bangsa dan kemanusiaan. Tabah sampai akhir. Wanadri!

Foto sampul: Sepasang sepatu tentara kulit jeruk, salah satu perlengkapan wajib Pendidikan Dasar Wanadri (Mochamad Rona Anggie)

(Foto sampul: Penutupan PDW 1996 angkatan Elang Rawa di Gunung Tangkuban Perahu/dokumentasi Wanadri)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Mochamad Rona Anggie

Mochamad Rona Anggie tinggal di Kota Cirebon. Mendaki gunung sejak 2001. Tak bosan memanggul carrier. Ayah anak kembar dan tiga adiknya.

    Tinggalkan Balasan

    Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

    Worth reading...
    Menjemput Senja di Kampung Pesisir Cirebon