TRAVELOG

Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (2)

Kami kemudian berpamitan kepada Pak Yono setelah diberi kesempatan menjelajahi Masjid Agung Jami’ Malang. Mungkin sekitar satu jam kami berada di masjid. Perjalanan lalu berlanjut ke selatan. Tepat di sebelah masjid berdiri bangunan dengan dominasi warna putih. Dari bentuknya, terlihat gedung ini peninggalan era kolonial. Dari luar pagar, terlihat jelas sebuah pintu yang menghadap alun-alun sudah ditutup permanen.

“Kita berhenti sebentar di sini. Sedikit cerita tentang bangunan ini. Jadi, bangunan yang sekarang jadi Bank Mandiri ini didirikan tahun 1930-an, antara tahun 1935 atau 1936, di atas lahan bekas sekolahan. Dulunya, di awal tahun 1900-an, ada sekolah perempuan di sini, Meisjes School atau Sekolah Putri. Kemudian hari, dibikinlah bangunan yang memang diperuntukkan sebagai bank,” ujar Om Ir.

Bangunannya didesain arsitek terkenal, Wolff Schoemaker. Karya-karya Schoemaker menghiasi sejumlah kota di Hindia Belanda. Salah satu yang terpopuler adalah Villa Isola milik taipan media kala itu, Dominique Willem Berretty. Menariknya, bangunan di hadapan kami ini menjadi satu-satunya karya lelaki yang pernah menjabat Rektor ITB di Kota Malang.

Sewaktu naik ke lantai atas masjid, kami juga sempat mengamati bagian belakang bangunan ini, terutama atapnya. Menurut Om Ir, secara fasad, gedung ini masih utuh.

Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (2)
Bangunan kolonial karya Wolff Shoemaker di belakang Masjid Agung Jami Malang/Dewi Sartika

Rumah-rumah Tua yang Bercerita

Selesai mendengarkan penuturan singkat bangunan buatan Schoemaker, kami menyeberang ke Jalan Wahid Hasyim. Namun, Om Ir menahan langkah kami dengan mengajak berhenti lagi di depan sebuah sekolah. Kami tidak memasukinya dan hanya melihatnya dari luar pagar.

Bangunan lawas yang kini menjadi SDN 1 Kauman ternyata bangunan lama, terutama bagian depan yang menghadap Jalan Merdeka, tempat alun-alun berada. Selain jendela berukuran besar yang menjadi salah satu ciri khas bangunan kolonial, ciri lain yang dimiliki bangunan ini berupa ventilasi setinggi lutut yang terletak di bawah dan berbentuk setengah lingkaran sehingga ruangan terasa sejuk.

“Awalnya bangunan ini memang sekolah, ya. Dulu namanya Holland Chinese School, dibangun tahun 1900-an. Di balik sekolah ini juga ada sekolah TK yang juga didirikan sekitar tahun yang sama oleh kelompok Freemason. Dari awal memang untuk TK dan bangunannya masih utuh dan benar-benar masih asli.”

Kami meneruskan perjalanan, menyeberang lalu memasuki sebuah gang. Lebarnya mungkin sekitar dua meter. Suasana terlihat lengang. Permukiman yang akan kami lalui masih masuk dalam kawasan Kauman. Ngomong-ngomong tentang Kauman, saya jadi ingat sewaktu menaiki bus Macito yang membawa penumpang wisata melewati sejumlah jalan maupun tempat bernilai historis. Si pemandu mengatakan bahwa kepanjangan Kauman adalah ‘kaum beriman’.

Permukiman padat penduduk yang hendak kami lewati bernama Gandekan. Dinamakan demikian karena dulunya di kawasan ini banyak orang yang bekerja sebagai tukang kenteng atau teter. Hanya beberapa meter dari mulut gang, kami langsung mendapati sejumlah rumah tua yang masih berdiri. 

“Ini rumah lama. Kami beberapa tahun lalu pernah masuk ke rumah ini. Dalamnya masih utuh, dan dikatakan ini anak keturunannya yang ketiga. Dulu, si bapak ini pegawai kantor kabupaten. Jadi, memang blok ini memang rumah-rumah kaum pribumi yang jadi pegawai kabupaten saat itu,” jelas Om Ir saat berdiri di sebuah rumah bercat ungu dan putih. Pendopo Kabupaten Malang letaknya dekat dengan Alun-alun Merdeka.

Tepat di sebelahnya, ada rumah yang lebih tua lagi. Dari penuturan Om Ir, ciri rumah ini lebih tua dibanding dua rumah sebelumnya, bisa dilihat dari dinding samping bangunan yang dilapisi anyaman bambu atau disebut gedek karena rumah zaman dulu dindingnya dari gedek. Sebenarnya, dinding rumahnya sendiri tidak seluruhnya dari gedek. Separuh tembok, separuh gedek. Orang-orang menyebutnya rumah klenengan.

  • Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (2)
  • Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (2)
  • Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (2)

Gang Mebelan, Hilang Ditelan Waktu

Masih di Gandekan, saya dan lainnya juga mendapat cerita menarik tentang usaha mebel di kawasan ini. Ketika tur pertama sewaktu Ramadan lalu, rute yang kami lalui berbeda dengan rute tur sekarang. Ketika itu kami melewati Kampung Kauman yang ada di belakang Masjid Agung Jami’ lalu menyeberangi Jalan Kauman. Ditemani hujan deras, Om Ir berdiri di depan sebuah gang dengan jalan menurun karena kami berada di tempat yang lebih tinggi. Gang Mebelan, begitulah Om Ir menyebutnya. Ada juga yang menamainya ledokan. Dalam bahasa Jawa berarti tanah yang lebih rendah.

Pada tur kali ini, sebelum belok kiri, kami sempat berhenti sejenak mendengarkan kembali  cerita Gang Mebelan. Disebut Gang Mebelan karena dulunya di sini ada orang jualan mebel. Ini terlihat dari deretan bangunan memanjang yang berdiri di salah satu sisi gang yang telah tutup permanen.

Dugaan Om Ir, Gang Mebelan ini merupakan pindahan dari Jalan Pertukangan atau Jalan Gatot Subroto yang di era kolonial dinamakan Jalan Mebel (Meubelmakerstraat) yang berada di Pecinan bagian utara. Dahulu, kebanyakan tukang mebel saat itu adalah orang-orang Tionghoa. Namun demikian, Om Ir mengaku, masih belum bisa dijelaskan di kemudian hari mengapa ada perkampungan mebel di daerah ini. Diperkirakan Gang Mebel ini mulai ‘punah’ sejak tahun 2000-an.

Kami kemudian menyusuri gang menuju Jalan Ade Irma Suryani. Uniknya, tanpa disadari ternyata kami berjalan di atas aliran sungai yang sudah berubah menjadi jalan alias ditutup. Aliran air berasal dari sungai yang berada dekat trotoar Kayutangan yang letaknya juga berada di perkampungan.

Blusukan ke Kampung Arab: Jejak Komunitas Muslim di Kota Malang (2)
Lorong sunyi Gang Ledokan atau Gang Mebelan/Dewi Sartika

Tongan, Berawal dari Tong Parfum

Menuju Jalan Ade Irma Suryani atau lebih dikenal dengan Tongan, kami harus meniti anak tangga karena letak jalan gang yang baru saja kami lewati lebih rendah. Aroma gulai menguar dari rumah makan di samping gang sewaktu para peserta melakukan foto bersama di anak tangga.

Kami menyeberang lalu berhenti lagi. Om Ir mengajak kami untuk melihat aliran sungai yang kami lalui tadi di sepanjang Gang Mebelan. Ia menunjukkan kepada kami foto lama yang memperlihatkan aliran sungai di bawah Jalan Ade Irma Suryani. Kemudian, di salah satu gang, kami mendengarkan cerita asal usul daerah Tongan.

“Dulu, orang lama menyebut potongan perempatan dari sana yang mengarah ke sini dengan nama Jalan Tongan. Tongan itu dari kata ‘tong’. Kisahnya, dulu, orang jualan parfum itu, kemasannya pakai tong kayu. Nah, tong-tong yang enggak dipakai itu lalu dijual. Pengepulnya di daerah ini. Tong-tongan, pokoknya tempat orang-orang jualan tong.”

Meskipun nama jalan telah berganti, tetapi nama Tongan seakan masih terpatri di benak orang-orang. Om Ir kemudian menunjuk sebuah bengkel resmi motor pabrikan Jepang yang masih menggunakan nama Tongan. Begitu pula rumah sakit yang letaknya di pojok perempatan yang menghubungkan Jalan Ade Irma Barat dan Timur serta Jalan Syarif Alqodri dan Jalan Wahid Hasyim, yang lebih populer dengan nama Rumah Sakit Tongan ketimbang nama resminya.

Kami berjalan kembali memasuki gang yang menjadi permukiman orang Arab di masa kolonial. Sama seperti di gang Jalan Wahid Hasyim, di sini juga masih bisa dijumpai bangunan-bangunan lawas. Salah satu bangunan menarik perhatian kami semua. Mengadopsi gaya indische empire abad ke-19 dengan dua daun pintu kembar dan sepasang jendela besar di kanan-kiri, rumah ini terlihat mencolok dibanding rumah-rumah lain. Daun pintu yang semula terbuka salah satunya langsung menutup saat kami mulai bergerombol di depan rumah yang dibatasi pagar tinggi.

Selanjutnya, kami belok ke kiri melalui gang yang lebih kecil lagi. Sejujurnya, jalan-jalan di perkampungan seperti ini seperti melewati labirin menuju jalan keluar. Kami berhenti di sebuah toko antik. Koper-koper tua berdebu diletakkan di luar rumah, tepatnya di bagian atas. Belum lagi benda-benda tua lainnya. Saya tak sempat melihat-lihat ke dalam karena tokonya memang kecil dan peserta lainnya juga sedang mengabadikan bagian dalam toko melalui ponsel masing-masing. 

Toko ini milik Pak Supa’i. Ia mengaku meneruskan toko peninggalan ayahnya yang sudah ada sejak tahun 1992. Tak sempat melihat-lihat koleksi benda yang dijual, pendiri ICH lainnya bernama Albertus Eko Ari Purwoko yang juga turut serta dalam tur, menyarankan saya untuk mengintip media sosial toko ini. Saya menyempatkan diri untuk melihat-lihat koleksi benda antik milik toko ini di media sosial, seperti patung perunggu, setrika arang dari bahan kuningan, macam-macam medali dan keris. 

Hanya sebentar kami di toko tersebut. Tak jauh dari situ, kami menemukan lagi rumah lawas di permukiman padat penduduk yang fasad depannya masih utuh. Kali ini rumah bergaya jengki yang mengusung semangat antikolonialisme serta populer di tahun 1950-an.  Kami lalu melewati jalan setapak sebelum mencapai Jalan Syarif Alqodri. Kembali, kami menjumpai rumah tua dengan fasad samping yang masih utuh meski bagian depannya sudah berubah.

(Bersambung)


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Dewi Sartika

Dewi Sartika, ibu rumah tangga yang tinggal di Malang. Menyukai hal-hal yang berhubungan dengan sejarah dan menulis tulisan "historical fiction". Menjadi anggota komunitas literasi serta telah menghasilkan sejumlah antologi.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menelusuri Jejak Sejarah di Sudut Kota Malang (1)