”Bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Dimana sinarya seperti tetes -tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi cerita hujan dengan mendung gelap tapi hujan dalam suasana cerah.”
Menuju Bagian Akhir: “Reda”
Reda? Aku punya kawan bernama Reda. Asalnya dari Surabaya, kukenal dari satu kawan yang kutemui saat mengikuti volunteer di Bencana Masamba tahun 2021. Reda? Aku mengenal musik yang penyanyinya Ari Reda. Dulu kupikir itu adalah satu orang yang sama, ternyata dua orang yang berbeda.
Reda? dulu tidak pernah ada di bayanganku kalau akan ada manusia yang diberikan nama ini oleh kedua orang tuanya. Apa mereka lahir saat hujan sudah reda? Bukankah itu unik? Kira-kira apa yang diipikirkan oleh orang tuanya?
Reda? Karena ini membahas soal Hujan dan Matahari, maka kusimpulkan “Reda” adalah “Matahari”. Mengapa? Alasannya cukup klasik dan sederhana. Aku selalu mendapati atau mungkin karena sewaktu kecil aku sering melihat matahari yang cantik sekali dan pelangi setelah hujan. Mataharinya benar-benar oranye, lalu ada pelangi mengikut di balik bukit. Di TV aku menonton di ujung pelangi itu ada segentong berisi koin emas dan unicorn dengan tanduk berwarna merah muda, biru, kuning, dan putih.
Selain itu, soal reda yang aku tahu sepertinya tidak ada lagi. Menurutku reda adalah sesuatu yang berakhir dengan baik di waktu yang tepat, entah bagaimana dan kapan. Percaya pasti ia reda dengan cara yang sudah baik.
Dalam babak “Reda” ini, banyak bagian atau bahkan dominan dibuat begitu singkat. Mungkin karena bagian akhir dan berada di babak “Reda”, maka hanya pesan-pesan yang tidak menggurui dengan kemasan sederhana. Tentu diikuti nilai-nilai religi didalamnya.
Satu bagian menarik dari babak “Reda” adalah “Maukah Kau Mencoba Menjadi Angin”. Bagian ini cukup menarik perhatianku. Sebab, sewaktu kecil aku percaya bahwa aku memiliki kemampuan memanggil angin—lebih tepatnya percaya aku adalah (titisan) Dewi Angin. Imajinasi anak kecil yang cukup aneh kala itu jika diingat.
Sewaktu kecil pun aku tidak pernah memproklamasikan bahwa aku memiliki kemampuan memanggil angin pada kawan-kawanku. Aku percaya kemampuan ini tidak boleh diketahui orang lain karena cukup berbahaya. Lalu bagaimana aku percaya bahwa aku adalah Dewi Angin? Sebab, beberapa kali—bahkan seingatku setiap kawan merasa gerah dan mengeluh tidak ada angin—aku sering sekali untuk mengambil posisi sendiri (mojok) lalu berkata dalam hati, “angin datanglah, angin datanglah.” Dan tidak lama kemudian, benar, angin sungguh datang. Dari situlah aku percaya bahwa aku memiliki kemampuan itu.
Dalam bagian ini tentu tidak membahas soal seseorang yang percaya bahwa ia adalah Dewi Angin. Namun, tidak jauh dari kepercayaanku dulu bahwa aku memiliki kemampuan itu, di sini “Ia” yang menjadi subjek pertama mengatakan bahwa dirinya pernah menjadi “Angin”.
“Mengalir dari ketinggian. Menghempaskan tubuhnya sendiri. Tidak tahu hendak ke mana. Tidak tahu kapan berhentinya. Tidak tahu kapan akan tiada. Aku memenuhi seluruh hidupmu, tapi tidak pernah kau sadari keberadaanku. Aku selalu ada di dekatmu, baik dalam jarak maupun dalam doa.”
Kalimat-kalimat tersebut sungguh enak sekali untuk dibaca berulang-ulang. Ada beberapa analogi dari “Ia adalah angin” dan mendeskripsikannya dengan begitu sederhana, tetapi cukup melow juga.
Pertama, buku ini memasukkan banyak nilai religi di setiap tulisan secara tersirat. Ini juga dibahas melalui bagian “Maukah Kau Menjadi Angin?”. Dengan sederhana Sang Pencipta ingin diibaratkan dengan sangat sopan, yaitu “Angin”. Ia memenuhimu, Ia selalu ada di dekatmu yang sering tidak kau sadari keberadaannya. Sama seperti jika seorang yang mendengarkan berita yang gampang sekali untuk hilang, kita sering menyebutnya “angin lewat”. Kau tahu Ia ada, tetapi masih saja tidak cukup acuh dengan keberadaannya. Padahal Ia sungguh dekat.
Penulis menggambarkan Pemilik Semesta yang sungguh sangat dekat dan bahkan terasa sangat nyata di setiap sudut. Namun, masih saja banyak yang tidak cukup sadar, seperti jika kau sedang kepanasan dan mengeluh. Bisa saja Ia mendengarkannya sebagai doa, lalu angin berembus ke permukaan tubuhmu. Jadi, benar bahwa Ia sungguh-sungguh dekat. Bahkan dalam ucapan-ucapan kecil yang menguap menjadi doa kemudian diaminkan. Memberikan kesejukan dan ada di dekat banyak orang, Ia lalu mengajak kamu untuk berbuat demikian.
Apakah kau mau menjadi “Angin”? Menjadi sejuk saat siang hari cukup terik, jadi yang paling sering ada bahkan badai sekalipun. “Angin” itu tetap ada di dekatmu. Menemani burung-burung untuk tetap bisa terbang tinggi. Maukah kau mencoba menjadi angin?
Catat dan Ingat Ini
Akan jadi babak perenungan baru untukku dan untukmu, jika kamu tertarik untuk membacanya. Kumpulan cerita dan prosa dalam Hujan Matahari dikemas dengan sederhana oleh seorang lelaki, yang jika melihat bentuk tulisannya, ia sungguh mengenal detail perasaan jatuh, bangun, jatuh, dan begitu terus.
Buku ini cukup ringan jika kamu butuh bacaan untuk merangsang keinginanmu membaca. Ada sekitar 200 halaman yang tiap harinya kau bisa sisihkan waktumu sehari atau setiap pagi untuk berkunjung di satu bagian.
“bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Di mana sinarnya seperti tetes-tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi ceria hujan dengan mendung gelap. Tapi hujan dalam suasana yang cerah.” —selamat hujan-hujanan, Kurniawan Gunadi.
Judul: Hujan Matahari
Penulis: Kurniawan Gunadi
Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 204 Halaman
ISBN: 978-602-1904-81-7
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.