“Bagaimana bila hujan itu berbentuk cahaya matahari. Di mana sinarnya seperti tetes-tetes air, tidak lagi hanya memberikan kesejukan tapi juga menerangi. Tidak ada lagi ceria hujan dengan mendung gelap. Tapi hujan dalam suasana yang cerah.”
—selamat hujan-hujanan, Kurniawan Gunadi
Jika kau masih bingung karena belum menemui bacaan yang cukup ringan, tapi akan menggugah perjalananmu, buku Hujan Matahari ini sungguh akan cukup membantumu. Bacaan yang cukup ringan dan mudah dipahami. Bahkan bisa membuatmu mengulang-ulang. Entah karena senang dengan beberapa bagian ceritanya, atau kau masih ingin coba memahaminya lebih dalam lagi.
Buku ini aku dapat dari seorang kawan. Cukup lama buku ini ada di tanganku sampai akhirnya memutuskan untuk membacanya. Banyak mitos atau fakta soal peristiwa hujan dan matahari. Ada yang mengaitkannya dengan kematian atau kesialan.
Kawanku di Tabanan, Bali, pernah bercerita, jika di saat hujan kemudian ada matahari, mayoritas orang menyebutnya “hujan ai”. Dipercaya saat itu terjadi peristiwa makhluk halus yang sedang menikah (beranak). Sedangkan di Sulawesi, kampung halamanku, matahari yang bergabung dengan hujan atau gerimis identik dengan pertanda akan ada yang meninggal di sekitar tempat itu. Selain itu, orang tua akan berteriak dari rumah untuk tidak bermain di luar. Sebab, dipercaya akan mudah sekali untuk sakit.
Babak-babak dalam Hujan Matahari
Dugaanku patah saat membaca pengantar dari buku ini. Sangat jauh berbeda dengan bayangan soal mitos yang aku dengar. Buku ini malah merangkum tulisan-tulisan dengan romansa nilai religi yang dikemas sangat sederhana dan tidak akan menyudutkan siapa pun. Buku Hujan Matahari karya Kurniawan Gunadi ditulis berlandaskan sebuah kejadian yang akan menimbulkan sebab dan akibat.
Seperti saat hujan dan matahari sedang teriknya, Kurniawan menuliskan bahwa hanya orang-orang yang berani yang akan menantang dingin dan terik. Tulisan-tulisan di dalamnya sungguh masuk kenyataan dengan perlahan. Buku Hujan Matahari terbagi dalam empat babak, yaitu Sebelum Hujan, Gerimis, Hujan, dan Reda.
Dari judul tiap babak pun sudah tergambar sedikit isinya. Ini adalah ritme hujan ketika akan mengguyur, entah ia deras atau hanya sekadar gerimis. Namun, dari pembagian babak, buku ini membaginya dengan perjalanan “Hujan” akan datang dengan deras, lalu reda dengan akan munculnya “Matahari”.
“Sebelum Hujan”, apa yang sering terjadi? Mendung? Angin kencang? atau bahkan seperti tidak akan ada yang terjadi? Di babak awal terdapat beberapa bagian pertanyaan atau pernyataan yang cukup menjadi pengantar sebuah dialog dalam cerita. Bagian ini dijadikan sebuah prolog. Ada ucapan terima kasih, tetapi dikemas dengan singkat dan sampai.
“Sebelum Hujan” adalah babak pertama yang cukup singkat, karena merupakan kumpulan-kumpulan narasi terima kasih dan alasan-alasan kecil dari penulis mengapa akhirnya menciptakan buku ini. “Sebelum Hujan” adalah sebuah pengantar menuju kejadian selanjutnya (babak kedua), yaitu “Gerimis”.
Terkadang jika ada awan mendung. jarang sekali hujan akan langsung deras. Kebanyakan ia akan turun pelan-pelan (gerimis). Orang-orang di sini akan mulai waspada dan bergegas, tapi tetap menerobos dengan bermodalkan jaket atau tangan untuk melindungi beberapa bagian tubuh. Lebih seringnya menutup atas kepala dengan tangan agar kepala tidak pusing atau demam setelahnya. Dalam Hujan Matahari, babak “Gerimis” diisi dengan kumpulan pertanyaan dan pernyataan yang tidak jarang kita temui di tongkrongan, yang pembahasannya cukup serius di setiap malam.
Satu dari Dua Favorit: “Kamu Baik, Masa Lalumu Tidak”
Bagaimana jika ada seseorang yang datang kepadamu lalu dengan gamblang mengatakan hal ini: apakah jantungmu rasanya tidak ingin pamit saja? Atau tanganmu tiba-tiba saja berkeringat dingin, sembari memikirkan bagaimana orang ini dengan santainya mengatakan hal seperti itu?
Dalam babak di buku ini, pernyataan secara gamblang seperti itu paling sering berseliweran jika seseorang akan menuju babak baru dalam hidupnya. Katakan jika aku keliru. Namun, yang sering aku dapati adalah perjalanan hidup seseorang akan mempertanyakan hal tersebut, jika ia akan mulai jatuh hati pada seseorang yang sungguh jauh berbeda dari dirinya.
Ada kalimat yang cukup menarik dari babak satu di buku ini, “Perempuan lebih suka dengan laki-laki yang datang dan membicarakan masa depan, bukan masa lalu“. Ini ada benarnya juga. Sebagai perempuan aku cukup kesal jika ada seorang yang tidak cukup dekat dan tidak begitu sering berjumpa, kemudian ia menanyakan soal “bagaimana kamu dulu?“.
Terlebih jika pertanyaan itu berasal dari satu lelaki yang aku percaya akan jadi kawan hidup yang asyik. Lantas bagaimana ia akan menjadi asyik jika yang ia bicarakan adalah masa lalu. Bukankah ia bersama dan memilihku saat ini sebab tahu masa depannya adalah aku? Atau aku terlalu percaya diri, sungguh memang benar seorang perempuan lebih senang dengan pertanyaan “akan berapa anak kita nanti, tinggal dimana kita nanti?”.
Daripada kamu membawa kata maaf, “Maaf dulu aku adalah seorang pembunuh, maaf aku dulu pencuri”; dan sebagainya. Sejujurnya aku pun tidak terlalu mempersoalkan hal itu.
Halaman ini kurang lebih membahas bagaimana seorang pria begitu tidak percaya diri karena masa lalunya. Padahal, ia tengah menyukai seorang perempuan yang sungguh berbanding terbalik dengan “masa lalunya”. Namun, di balik ketakutan yang dituliskan, selalu ada penyangkalan yang cukup menjawab sebenarnya, seperti “tidak ada orang benar-benar memiliki masa lalu yang baik”.
Akan tetapi, seperti kata banyak orang, ingatan seseorang akan lebih kuat jika mengingat kesalahan-kesalahan orang lain dibanding harus mengingat kelakukan baiknya. Seperti babak “Gerimis”, ia adalah bentuk kegelisahan dan pertanyaan yang gamang, tetapi cukup membuat tidurnya tidak nyenyak. Di akhir, penulis menuliskan narasi mengenai “seburuk-buruknya manusia selalu ada ampun paling besar dari Tuhan”.
Babak “Hujan”: Kita Tidak Bisa Menentukan Kapan Kita Mati
Menurut KBBI, hujan punya beberapa arti; 1) titik-titik air yang jatuh dari udara karena proses pendinginan, 2) yang datang dan sebagainya banyak-banyak. Dalam pengertian ilmiah, hujan adalah presipitasi berwujud cairan. Sedang menurutku, hujan adalah air yang dulu sudah ada di bumi, tetapi menguap ke langit dan membentuk awan. Lalu setelah awan itu terisi penuh dengan air, maka ia akan tumpah lagi menjadi hujan. Begitu seterusnya, yang aku pahami ketika belajar di sekolah dasar mengenai proses hujan.
Dalam buku ini, “Hujan” menjadi babak selanjutnya setelah diantar oleh mendung dan gerimis. Yang artinya, ia cukup deras untuk membuat kamu berlindung jika tidak ingin basah-basahan saat itu. Seperti hujan deras yang tentu membuat kamu basah kuyup, bagian-bagian dari babak ini juga cukup mampu membuat kamu basah sangat kuyup. Entah matamu, dadamu, atau isi kepalamu. Sebab, bagian-bagian dalam babak tersebut didominasi pernyataan yang cukup singkat, seperti “Akhir Kematian”.
Bagian ini cukup membuatku menelisik sebelum membaca lanjutan mengenai akhir setelah seseorang telah mati. Apakah pemandangan di bawah sana akan benar gelap? Menakutkan untuk mereka yang dosanya cukup banyak di dunia dan sebaliknya; pemandangan cukup asyik dengan cahaya yang begitu menyilaukan bagi mereka yang semasa hidupnya sudah berbuat baik.
Apakah yang mati akan bisa melihat yang hidup dari atas sana?
Dan masih banyak pertanyaan yang lebih banyak rasa takutnya soal kematian. Mungkin sadar kalau selama hidup ini perbuatan jahatku juga banyak. Entah sangat banyak atau cukup, tapi yang terasa adalah aku juga pernah berbuat jahat pada manusia dan ciptaan Tuhan lainnya.
Bagian “Akhir Kematian” lebih lebih singkat dari beberapa bagian yang ada di buku ini. Di awal kita disambut dengan kalimat, “kita tidak bisa menentukan kapan kita mati, tapi kita bisa memilih bagaimana kita mati”. Sama halnya kamu bisa memilih kamu akan menyapa siapa hari ini, minum kopi apa hari ini atau lebih spesifiknya kamu harusnya selalu berhati-hati selama hidup. Menjaga diri dari banyak hal buruk atau malah bersikap bodoh amat.
Seperti yang sering aku dengarkan ketika ke gereja saat Natal dan Paskah. Romo akan sering mengatakan di setiap homilinya, “Berjaga-jagalah Sebab Kerajaan Sorga Sudah Dekat”. Aku menangkapnya bahwa “keselamatan” yang identik dengan kematian di keyakinanku adalah sesuatu yang bisa datang kapan saja, tetapi kamu sungguh bisa menyiapkan bekal untuk Kerajaan Sorga.
Penulis sepertinya menuliskan bagian itu berlandaskan kisah nyata. Sebab, bahasan selanjutnya adalah pembahasan mengenai kematian tidak begitu menyenangkan untuk jadi perbincangan saat di tongkrongan. Jawaban yang akan sering bermunculan adalah tak perlu memikirkan kematian, hidup sekarang cukup dijalani, bukankah semua orang juga akan mati. Nikmati saja apa yang ada sekarang. Biasanya orang yang pembicaraannya seperti ini dipotong adalah ia yang sudah cukup mendalami nilai agama dan menyampingkan nilai duniawi.
Namun, di balik itu semua tentu semua orang punya hak untuk memberitahu hal-hal baik sesama manusia. Diterima atau tidaknya adalah hak setiap manusia. Semoga lebih banyak orang yang menerima dengan legowo bahasan-bahasan sensitif itu, yang nantinya akan dianggap lumrah.
(Bersambung)
Judul: Hujan Matahari
Penulis: Kurniawan Gunadi
Penerbit: Cantrik Pustaka, Yogyakarta
Cetakan: Pertama, 2014
Tebal: 204 Halaman
ISBN: 978-602-1904-81-7
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.