Bersepeda ke Monumen Kilometer Nol Indonesia yang berada di ujung barat Indonesia, tak pernah terpikirkan olehku sebelumnya. Monumen yang menandakan titik 0 kilometer Indonesia ini seharusnya berada di Pulau Rondo—karena berada paling luar di barat Indonesia—yang berbatasan langsung dengan Nikobar, India. Namun, karena aksesnya tidak memungkinkan dan alasan keamanan, Pulau Weh menjadi tempat berdirinya monumen ini.
“Tujuan itu statis, tapi proses untuk mencapai tujuan tersebut yang dinamis.”
Prinsip itu yang aku pegang sampai saat ini ketika aku sedang bertualang ke mana pun. Berawal dari mimpi, semua bisa jadi pasti. Asalkan kita mau berusaha dan menikmati setiap proses untuk mencapai tujuannya.
Perjalanan ini membawaku untuk menembus garis batas ujung negeri pada akhir bulan Juni 2022. Selepas dari Medan, dan beberapa hari sebelumnya aku mengunjungi Danau Toba dan Pulau Samosir, aku memutuskan melanjutkan perjalanan ke provinsi paling ujung Pulau Sumatra yaitu Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di sana, ada kawan-kawan dari mahasiswa pencinta alam Universitas Syiah Kuala, yaitu Mapala Leuser yang bersedia “menampungku”.
Pulau Weh terlihat dari pinggiran pantai kota ketika kami sedang melihat matahari terbenam. Aku bulatkan niat dan tekad untuk mencoba hal lain untuk menuju ke sana. Sebetulnya, ada banyak transportasi yang bisa dipakai untuk menuju Sabang, namun yang terlintas di benakku adalah sepeda.
Yang terbesit dalam pikiranku adalah, tempat tujuan bukan menjadi hal paling penting, tetapi bagaimana perjalanan untuk mencapai tempat tujuan tersebut. Toh, sepeda pun merupakan alat transportasi yang ramah lingkungan, bukan?
Bang Fuad, salah satu kawan dari Mapala Leuser dengan baik hati berkenan meminjamkan sepedanya untuk aku pakai beberapa hari ke depan. Malam harinya, kami mengambil sepeda di rumah indekosnya. Esok pagi akan menjadi hari yang panjang bagiku.
Banda Aceh pagi itu sangat sendu. Hujan rintik sedari subuh tak membuat niatku untuk mengayuh sepeda luntur. Aku tutup pintu Sekretariat Mapala Leuser saat para penghuninya masih terlelap. “Bro, aku berangkat dulu ke Sabang ya,” pesan kukirimkan kepada Fiqra yang mungkin baru akan membacanya ketika sudah bangun tidur. Tali sepatu aku ikat kencang, tak lupa helm sebagai peralatan safety, ku pakai. Kayuhan pedal sepeda pertama pun aku mulai.
Gerimis menemani awal perjalananku bersepeda di kota ini. Beberapa menit berselang, aku melipir terlebih dahulu ke suatu kedai kopi di pinggir jalan, tak jauh dari Masjid Baiturrahman. Seperti biasanya, pagi hari, setiap kedai kopi di Banda Aceh selalu ramai. Ada polisi, pegawai, anak kuliahan, semuanya sibuk dengan secangkir kopinya masing-masing. Semangkuk nasi uduk dan secangkir kopi sanger cukup untuk mengisi awal tenagaku ini. Aku lanjutkan kayuhan sepeda ini menuju ke salah satu pelabuhan yang bisa mengantarku menyebrangi lautan.
Pelabuhan Ulee Lheue sudah padat oleh calon penumpang yang ingin menyebrang ke Pulau Weh. Aku bergegas pergi ke loket pembelian tiket yang tak jauh dari pintu gerbang pelabuhan. Sebuah pengumuman terdengar dari pengeras suara, menginformasikan kapal masih tertahan dan belum bisa berlayar seperti waktu biasanya karena terjadi badai dan gelombang ombak yang tinggi. Rasa cemas menghampiriku, apa boleh buat, semoga perjalanan ini baik-baik saja.
Setelah menunggu cukup lama di pelataran parkir bongkar muat kendaraan, akhirnya para penumpang boleh masuk ke dalam kapal bernama KMP Aceh Hebat 2. Ada rombongan komunitas motor, wisatawan asing yang menggunakan sepeda motor sewaan, dan ada juga pasangan yang sedang bermesraan di atas jok. Hanya aku seorang diri yang menggunakan sepeda di balik kerumunan kendaraan yang memadati parkiran di dalam kapal. Aku taruh sepeda di samping mobil dan motor yang berjajar rapih.
Satu jam kemudian, kapal mulai berlayar menembus lautan untuk menuju Pulau Weh. Aku pergi ke atas kapal, mencari tempat untuk bisa bersandar dan meluruskan kaki sambil mengistirahatkan badan. Pulau Nasi dan Pulau Breueh di sebelah timur terlihat dengan jelas di seberang hamparan biru sana. Perlahan sinyal tenggelam membuat diri ini terlelap sebentar.
Setelah lebih satu jam, kapal mulai bersandar di Pelabuhan Balohan, pintu masuk untuk menuju ke Kota Sabang. Suasana Pelabuhan Balohan cukup ramai, mungkin karena banyak wisatawan juga yang pergi ke tempat ini. Aku buka Google Maps untuk mengarahkan jalan ke pusat kota. Gerbang “Selamat Datang di Kota Sabang” membuat aku semakin semangat untuk melanjutkan perjalanan ini.
Baru saja beberapa menit mengayuh, aku dihadapkan dengan tanjakan yang sangat terjal. Aku menelan ludah. Niat sudah terkumpul, aku pindahkan ke gigi satu, dan perlahan betisku mulai tersiksa karena tanjakan ini. Beberapa kendaraan silih berganti menyusulku sembari memberi klakson tanda memberi semangat. Alhamdulillah, masih ada yang perhatian juga kepadaku!
Terik sang mentari tepat di atas peraduan. Rumah penduduk masih menemaniku di samping kiri dan kanan jalan. Aku melipir ke salah satu warung di pinggir jalan. Es jeruk dan beberapa sereal makanan ringan cukup untuk mengisi kembali tenagaku sekaligus untuk menunggu baterai telepon genggam terisi penuh.
Pemandangan sudah berganti dari bebetonan menjadi pepohonan. Sesekali terlihat hamparan laut diujung sana. Aku banyak menghabiskan waktu untuk berhenti mengambil gambar yang memanjakan mata. Betisku sempat terasa tegang, kram menghajar kakiku. Beberapa kali aku harus turun dari sepeda dan mendorongnya untuk melewati tanjakan demi tanjakan terjal. Maklum, aku sudah lama tidak melakukan olahraga ini. Rutinitas sehari-hariku jauh dari kegiatan olahraga. Apa boleh buat, kupaksakan apa yang harus aku selesaikan ini.
Tepat pukul empat sore, aku sampai di Pantai Iboih. Memang, tujuanku hari ini adalah beristirahat satu malam terlebih dahulu sebelum tujuan terakhirku ke Monumen Titik Nol. Pantai ini cocok untuk checkpoint karena ramai dan banyak akomodasi untuk beristirahat.
Aku segera mencari tempat makan, karena sedari siang perutku belum terisi. Pulau Rubiah terlihat di seberang pantai ini. Wisatawan silih berganti ke tepian pantai setelah menyebrang kembali dari pulau. Memang, Pantai Iboih dan Pulau Rubiah adalah spot wisatawan terkenal di Sabang. Banyak pengunjung yang datang untuk menikmati keindahan bawah air dengan snorkling, diving, atau sekedar berenang di tepian pantai.
Setelah membayar makan dan minum, aku bertanya kepada ibu penjaga warung dan suaminya. Aku meminta saran tempat penginapan dengan harga yang terjangkau. Perlu diketahui, di sini, harga sewa penginapan untuk satu malam paling murah ada pada kisaran harga Rp250.000–Rp300.000. Tentu, aku perlu memutar otak soal ini. Ibu penjaga warung menyarankan supaya aku bertanya juga ke penginapan di paling ujung deretan kios-kios penjualan souvenir. Katanya, aku bakal menemui penginapan dengan harga murah di sana.
Aku kemudian bertanya kembali, kali ini kepada salah satu ibu yang sedang duduk di depan warung dari arahan sebelumnya.. Dengan muka melas, aku menanyakan harga penginapan. Ibu tersebut bilang kepadaku ada kamar seadanya, ia hanya menyewakan bersama fasilitas kipas angin dan kamar mandi luar, harganya hanya Rp100.000.
Bagiku, harga segitu lebih dari cukup. Apalagi aku sedang malas mencari pelataran tempat yang bisa aku tumpangi secara gratis. Belum lagi, aku harus beristirahat cukup karena perjalanan esok hari masih panjang. Ternyata kedatanganku dengan sepeda membuat perhatian orang-orang sekitar. Seperti biasa, pertanyaan dari mana, mau ke mana, dan lain sebagainya. Jawabanku membuat mereka antusias.
Aku lalu segera membersihkan tubuh dan tidur lebih cepat malam ini. Aku bergumam, semoga esok pagi tidak telat bangun dan semoga badan tidak pegal-pegal.
Pagi hari itu, kayuhanku langsung berhadapan dengan jalan menanjak kembali. Untungnya, udara segar masih menyertai rimbunnya pepohonan. Kawasan menuju Monumen Kilometer Nol Indonesia merupakan kawasan hutan lindung, tidak heran jika aku melihat hutan yang begitu lebat dengan udara sejuk. Terlihat beberapa gerombolan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) sedang bermain di beberapa pohon yang ada di pinggir jalan. Rombongan motor Harley dengan suara keras bergantian menyusulku dari belakang. Aku tersenyum, mungkin tujuan kami sama tapi “perjuangan” kami untuk mencapai tujuan tersebut berbeda.
Entah berapa putaran kayuhan yang aku tempuh untuk sampai di sini. Plang yang menunjukkan bahwa aku sudah memasuki kawasan wisata Monumen Kilometer Nol Indonesia terlihat. Aku kencangkan kayuhan sepeda. Deretan warung cinderamata berjajar rapih, aku izin kepada salah satu bapak penjaga untuk membawa sepedaku masuk ke dalamnya.
Monumen dengan ketinggian sekitar 43 meter ini terpampang di depan mata. Terdapat dua lingkaran seperti angka nol dan di dua sisi angka terdapat rencong yaitu pisau atau belati khas Aceh. Aku pergi ke atas monumen ini dengan melewati beberapa tangga. Hamparan laut nan luas terpampang di sana, menandakan tempat ini daratan terakhir ujung batas kawasan Nusantara.
Aku mengingat kembali apa yang telah aku jalani, mulai dari awal perjalanan yang aku tempuh hingga akhirnya tiba di sini, juga merenungi apa yang telah aku jalani untuk hidup ini. Perjalanan ini mengajariku bahwa proses tidak akan mengkhianati hasil. Terima kasih telah bertemu, ujung barat Indonesia. Izinkanlah aku suatu saat bertemu pasanganmu di ujung timur Indonesia sana. Semoga.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.