“Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantumu meraihnya.” — Paulo Coelho, Sang Alkemis (2005)

“Suatu saat saya ingin: kapan, ya, saya bisa pameran tunggal di sini?” kenang Nugrahanto Widodo dengan raut wajah mengingat masa lalu. Saya mewawancarainya di pintu masuk gedung Bentara Budaya Yogyakarta (BBY) pada Selasa (15/10/2024).

Itulah idealisme atau cita-cita Nugrahanto Widodo sejak masa kuliah dulu yang terealisasi tahun ini. Nugrahanto Widodo, atau akrab disapa Totok Kontil, akhirnya bisa tampil di BBY dengan pameran tunggalnya yang bertajuk “Kembali”.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Suasana galeri di hari terakhir pemeran tunggal Mas Totok/Danang Nugroho

Mas Totok cerita, ia dulu kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta. Kalau menonton pameran dulu biasanya di Purna Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM). Zaman dulu bus kota hanya sampai pukul lima sore. Jadi, kalau pulang habis nonton pameran itu biasanya malam hari dan jalan kaki. Ia selalu melewati BBY karena sudah tidak ada angkutan. Berawal dari sinilah keinginan untuk pameran tunggal di BBY bermuara.

Pameran ini dibuka hari Selasa, 8 Oktober 2024. Dibuka oleh Nasirun, dikuratori Kuss Indarto, dan diberi pengantar esai oleh Alexander Supartono. Pameran berlangsung pada 9–15 Oktober 2024.

Sebelum perbincangan hangat saya dengan Mas Totok itu terjadi, saya sempat masuk pameran terlebih dahulu. Saya menilik karya demi karya seni lukis Mas Totok yang berjumlah 42. Ketika saya selesai menyelami pameran dan hendak keluar, saya berjumpa Mas Totok. Ia sedang duduk dan melukis di depan pintu masuk gedung BBY. Di situlah ia menceritakan perjalanan dan tema “Kembali” kepada saya.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Saya foto bersama Nugrahanto Widodo (kiri) di depan karya berjudul Dodol Balon di dalam gedung pameran BBY/Danang Nugroho

Perjalanan Totok Kontil dan Tema “Kembali”

Mas Totok lahir di Mojokerto, Jawa Timur. Kini tinggal di sebuah gang buntu di Jalan Kayu Manis, Kelurahan Pondok Cabe Udik, Pamulang, Tangerang Selatan. 

Dulunya, setelah lulus SMA, Mas Totok sempat kuliah Ilmu Arsitektur selama tiga tahun di ITN Malang. Setahun berikutnya ia berhenti, tidak mau kuliah. Akhirnya, karena desakan orang tua, Mas Totok melanjutkan studinya di jurusan Seni Lukis ISI Yogyakarta. Ia masuk pada 1992 dan lulus satu dekade kemudian. Saat mengerjakan skripsi, ia pernah menggelar pameran tunggal di Warung Senja, daerah Taman Sari.

“Kalau di ISI itu ada dua tugas akhir, yaitu skripsi karya atau skripsi penelitian. Saya memilih tugas akhir skripsi karya minimal 20 lukisan. Akhirnya saya pemeran tunggal [skripsi karya] pertama di Warung Senja dekat alun-alun kidul. Waktu itu saya cukup bangga, walaupun belum masuk galeri, saya bisa menampilkan di warung-warung supaya karya saya bisa dinikmati orang-orang,” ucap Mas Totok tersenyum.

Pada 1998–2005, ia juga sempat mengikuti Komunitas Taring Padi. Setelah itu, Mas Totok pergi ke Jakarta sebagai guru paruh waktu dan mengajar di beberapa sekolah, mulai dari Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur, hingga Pondok Cabe di Tangerang Selatan.

Bagi Mas Totok, Jakarta waktu itu tidak mudah. Maksudnya, perjalanan mengajar di sana sangat menyita waktu. Dulunya angkutan umum sulit dicari. Perjalanan ke sekolah pun antara 1–2 jam baru sampai. Kelelahan psikis juga terjadi, lantaran banyak siswa di sana yang jika ditegur lapor orang tua. Faktor ini menghambat Mas Totok berkarya di depan kanvas ataupun medium lain.

“Karena hal itu, saya tidak punya waktu untuk menggambar,” ungkapnya.

Setelah menjadi guru tetap di salah satu sekolah di Jakarta, Mas Totok masih merasa mandul dalam berkreasi. Dalam setahun, ia hanya menghasilkan satu atau dua karya saja. Bahkan pernah tidak sama sekali.

Ia lalu mencoba coretan-coretan di kertas ukuran A3 untuk melatih kembali kreativitasnya. Hasilnya kemudian dipamerkan di Survival Garage (pameran tunggal kedua). Karena merasa kurang maksimal, menjelang tidak lagi bekerja sebagai guru, selama dua tahun terakhir semangatnya dalam berkreasi kembali menggebu. Mas Totok berusaha mengasah kembali kreativitasnya melukis menggunakan media kertas.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Seorang pengunjung mengamati karya-karya Mas Totok. Hasil kreativitas yang kembali tumbuh setelah lama vakum/Danang Nugroho

“Saya pensiun [tahun ajaran] 2023/2024, ya, di situ saya aktif menggambar dengan media kertas. Supaya apa? Supaya bisa saya bawa ke mana-mana. Dengan pulpen dan kertas, di mana pun bisa saya coret-coret,” jelasnya.

Semangat yang menggebu itu akhirnya bermuara pada pameran ini. “Kembali” sebagai sebuah proses kreatif dan ia bawa ke Yogyakarta, agar bisa diapresiasi kembali oleh masyarakat atau seniman di daerah istimewa tersebut. 

“Saya mengambil tema ‘Kembali’ karena saya memang ingin menampilkan kembali karya-karya saya, setelah vakum dari 2005 sampai 2024 tidak pernah menampilkan karya saya di publik Yogyakarta. Pameran kedua saya di Survival Garage itu kurang maksimal, karena saya merasa tempatnya pada waktu itu masih kecil dan belum dikenal banyak orang, jadi masih minim apresiasi. Akhirnya saya memilih di BBY ini,” tutur Mas Totok.

Pameran tunggal “Kembali” menjadi pameran ketiga Mas Totok. Perjalanan dan tema “Kembali” Mas Totok juga bisa ditilik melalui kanal Youtube Bentara Budaya berjudul “KEMBALI Sebuah Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo” dan katalog elektronik di situs web bentarabudaya.com.

Berkarya dengan Jujur

Usai membicarakan perjalanan dan tema “Kembali”, saya mencoba mengulik karya-karya Mas Totok yang dipamerkan. Karya-karya yang saya lihat banyak menggambarkan masyarakat kelas bawah. Namun, ada juga karya yang timbul dari pengalaman pribadi Mas Totok.

Karya Jangan Mudah Berjanji, misalnya. Lukisan ini memperlihatkan Jokowi yang tengah membawa keranda yang bertulis SIPON, disertai tameng, dedaunan rimba, dan kawat berduri di depan gambar sosok Presiden ke-7 Indonesia itu. 

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Karya Jangan Mudah Berjanji yang mengkritik Jokowi/Danang Nugroho

Mengutip dari artikel Kilas Balik Janji Presiden Jokowi Cari Wiji Thukul yang dimuat di TEMPO (7/6/2023), saat menjadi calon presiden semasa Pilpres 2014, Jokowi pernah berjanji akan mencari Wiji Thukul yang belum ditemukan sejak peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Sipon atau Siti Dyah Sujirah, istri sang penyair, awalnya merasa salut dengan keberanian Jokowi mengucapkan janji tersebut. Namun, setelah berbagai upaya yang Sipon lakukan, hasilnya selalu nihil. Sipon pun mulai meragukan janji Jokowi.

“Tapi Pak Jokowi, maaf kalau dengar atau baca ini, pesan saya jangan mudah berjanji,” kata Sipon kepada Tempo (15/5/2018). 

Hal itulah yang diamini Mas Totok dalam karya Jangan Mudah Berjanji. Dengan wajah prihatin, Mas Totok berkata, “Saya berkarya tidak bisa bohong. Waktu itu saya baru aja baca koran tentang Pak Jokowi saat periode pertama pernah berjanji pada istrinya Wiji Thukul, Sipon, bahwa pernah akan mencarikan jasad suaminya. Tapi sampai Sipon meninggal [5 Januari 2023] tidak terlaksana. Saya cuma mengingatkan saja, orang itu gampang mengucapkan, namun sukar untuk melaksanakan.”

Selain itu, ada lukisan lain yang berjudul Transaksi di Bawah Meja. Karya ini memperlihatkan dua orang yang tengah memberikan kertas bertulis “PAJAK” di atas meja dan transaksi uang di bawah meja.

“Karya itu menceritakan keadaan di sebagian besar perusahaan besar. Kebetulan itu juga [terjadi] di perusahaan [tempat kerja] saya tentang pembayaran pajak. Jadi, kadang pajak yang dipotong tidak sesuai dengan yang diomongkan—maksudnya bisa dimanipulasi. Manipulasi itu antara pemilik perusahaan dan pegawai pajak,” ungkap Mas Totok.

Kedua ide karya tersebut merupakan hasil dari pengalaman pribadi Mas Totok. Pertama, setelah membaca koran, lalu yang kedua dari perusahaan tempat kerjanya. Memang benar, Mas Totok tak bisa berbohong pada karyanya. Ia tak banyak merenung dulu untuk berkarya, tetapi langsung mengeksekusi jika perlu dan penting untuk dituangkan sesuai fakta.

Belajar Mencapai Cita-Cita melalui Pameran Tunggal Nugrahanto Widodo
Lukisan Transaksi di Bawah Meja yang dihasilkan dari pengalaman kerja Mas Totok/Danang Nugroho

Gambaran Masyarakat Kelas Bawah melalui Karya Seni Lukis

“Saya biasanya seneng jalan, Mas. Ada sesuatu yang menarik akan saya gambar,” ujar Mas Totok.

Cerita dari Mas Totok belum usai. Perbincangan hangat terus kami lakukan. Saya mengulik karya-karya lain yang Mas Totok pamerkan, terutama yang menggambarkan masyarakat kelas bawah dengan suasana kegembiraan. Hal itu juga yang diungkapkan Ilham Khoiri pada esainya di e-katalog “Kembali”.

Ilham mengungkapkan bahwa gambaran Mas Totok serupa catatan harian yang memotret pernak-pernik kehidupan warga di sekitarnya. Karya Mas Totok cenderung menangkap keramaian aktivitas masyarakat bawah, ada orang-orang nongkrong, jual beli di pasar, keluarga lagi berpiknik di tempat wisata, atau warga bepergian dengan naik kendaraan yang melaju di jalanan.

Seperti karya berjudul Pasar Loak Beringharjo. Mas Totok cerita, itu adalah gambaran keramaian pasar. Tentu pasar barang bekas itu menjadi incaran utama bagi masyarakat kelas bawah.

Kemudian, karya berjudul Uyek-uyekan. Diceritakan bahwa di daerah Babadan, lereng Gunung Merapi, pada waktu 2004 belum ada angkot. Sehingga ketika mereka bepergian harus bareng-bareng dan “uyek-uyekan” menggunakan mobil pikap. Hal ini memang terbukti, karena saya juga tinggal di lereng Merapi, tepatnya Kecamatan Cepogo, Boyolali. Semasa saya kecil, jika ada salah satu tetangga yang sakit dan dirawat di rumah sakit, kami membesuk bersama dengan mobil pikap. Di beberapa daerah pun masih ada yang seperti itu sampai sekarang.

Tak terasa, perbincangan saya dengan Mas Totok dipungkasi malam yang semakin larut. Pukul 21.00 pameran harus ditutup. Sebelum saya pamit, kami menyempatkan foto bersama.

Sebagai pemungkas, kita perlu “kembali” pada kutipan dari buku Sang Alkemis karya Paulo Coelho dan kutipan wawancara dengan Mas Totok yang saya cantumkan di awal naskah. Seharusnya, ada pembelajaran yang bisa kita ambil. Apakah idealisme atau cita-cita kita akan kalah oleh keadaan? Atau, justru kita akan bisa mencapainya seperti cita-cita Mas Totok pada pameran “Kembali” ini?

Panjang umur perjuangan! Salam.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar