Suatu waktu saya sedang mengunjungi seorang kawan yang tinggal di Desa Karanggayam, Kebumen, Jawa Tengah. Lantas pagi-pagi sekali ia mengajak saya berjalan mengelilingi desa.
Ajakannya membuat saya bimbang. Kondisi saya masih dalam keadaan setengah terlelap. Tubuh saya belum benar-benar siap memulai hari. Namun, celetukan kecil tentang ayam jago dan matahari membuat saya tersentil untuk lekas beranjak dan mengikuti langkah kakinya yang panjang itu.
Sepertinya jalan kaki di sekitar Karanggayam bukanlah pilihan yang tepat. Sebabnya lanskap atau kontur geografisnya yang berbukit membuat kaki saya cukup kelelahan. Akan tetapi, celotehan saya tersebut lekas terbungkam tatkala dari kejauhan semerbak tembakau menyumpal seluruh indra penciuman.
Aroma itu tampak berkeliaran di udara. Bahkan mungkin menyelimuti seluruh desa. Di setiap penjuru, rasanya mudah sekali untuk menemukan asal dari aroma tersebut.
Ketika sang mentari sedang terik-teriknya, banyak warga memilih untuk menjemur tembakau di luar teras rumah. Hampir setiap rumah terdapat deretan rigen (alat penjemur tembakau) di depannya.
Rupanya pagi itu merupakan waktu yang tepat. Terlebih tembakau membutuhkan asupan langsung dari sang mentari. Tembakau yang dijemur di atas rigen tampak berwarna kuning kehitaman, mungkin karena terlalu lama dibiarkan.
Saya pribadi yang seorang ahli isap, tertarik untuk menghampiri salah satu rumah warga yang sedang merajang tembakau. Melalui tangan seorang ibu, daun tembakau yang hijau segera ia gilas menggunakan pisau.
Belajar Melinting bersama Pak Burhan
Pak Burhan namanya. Bukan nama sebenarnya. Tampaknya ia malu jika namanya terpampang dalam tulisan saya. Ia merupakan pribadi yang ramah dan rendah hati jika berhadapan dengan orang lain.
Saya berjumpa dengan Pak Burhan ketika ia sedang khidmat merajang tembakau. Adapun istrinya memilah tembakau yang hendak dijemur di atas rigen.
Ketika kami asyik berbincang, seketika ia mengeluarkan tembakau yang sudah dalam keadaan masak kepada saya. Tembakau itu cenderung berwarna gelap. Namun, beberapa irisannya memiliki warna coklat. Aromanya cukup menyengat, tetapi begitu khas dengan identitas Karanggayam. Aroma yang tidak bisa saya jelaskan. Hanya bisa saya rasakan di dalam memori.
Tembakau yang telah ia tanam tiga bulan lamanya, pada bulan Agustus itu telah menghasilkan daun yang mekar dan siap untuk dirajang. Beberapa di antaranya ia tunjukkan kepada saya.
Saya yang terbiasa dengan rokok bungkusan, cukup kesulitan memperlakukan tembakau di depan mata. Pak Burhan pun mengajari saya melinting dengan selembar kertas.
Meskipun masih berlepotan, bahkan beberapa tembakau terbuang sia-sia, hasil akhir dari lintingan saya malah jadi cukup mengejutkan. Saking mengejutkan dan kerasnya, saya tidak bisa mengisapnya hingga berakhir batuk-batuk. Pak Burhan tergelak-gelak. Istrinya yang mulai menggulung beberapa tembakau ikut tertawa.
Saya sampai bingung kenapa tembakau sekeras ini bisa dinikmati oleh warga sekitar. Pak Burhan menjelaskan, “Orang Karanggayam sering menggunakan kelembak menyan untuk membuat rasa tembakau jadi halus.”
Akan tetapi, Pak Burhan lebih suka tidak memberi apa pun pada tembakaunya. Entahlah, mungkin saja sistem saraf di tenggorokannya sudah terbiasa dan mampu menawar kerasnya tembakau itu.
Saya mencoba “trik” warga tersebut. Saya kembali melinting sejumput tembakau dan menambah secuil kelembak. Tak lupa mengelupas beberapa sisi kemenyan agar rasanya lebih halus. Pada percobaan ini pun saya masih kerap gagal, sehingga Pak Burhan turun tangan melintingkan tembakau itu untuk saya.
Hasilnya mengejutkan. Lintingan Pak Burhan sangat rapi. Penyelesaian akhir yang indah membuat saya tak ragu untuk mengisapnya. Setelah tembakau itu berhasil saya susupkan ke bibir, kepulan tembakau tampak muncul secara tebal melalui mulut kecil saya. Benar-benar nikmat dan halus rasa tembakau ini. Walau bahan baku tembakaunya sama, tetapi rasanya berbeda dengan hasil lintingan saya.
Sekelumit Kisah Rantau Pak Burhan
Akan tetapi, aroma menyan hasil lintingan Pak Burhan itu cukup membuat saya pusing. Baunya seperti membawa jiwa dan tubuh saya terpisah sementara. Ketika saya singgung perihal kemenyan tersebut, Pak Burhan malah balik bercerita pengalaman merantau ke Jakarta; sebelum akhirnya memilih kembali ke desa.
Pada saat itu ia pernah bekerja sebagai kuli proyek di Jakarta. Waktu beristirahat di pojok bangunan, Pak Burhan mengeluarkan tembakau beserta kemenyan yang ia bawa dari kampung halaman. Ketika menikmati isapan demi isapan tembakau, sekelompok pemuda sempat menghampirinya. Mereka tertarik dengan aroma yang dihasilkan.
Saking tertariknya, para pemuda itu pernah ingin menukarkan tembakau Pak Burhan dengan ganja sintetis yang juga sudah siap untuk diisap. Namun, Pak Burhan sama sekali tidak berminat. Dia lebih memilih untuk memberikan lintingannya secara cuma-cuma kepada para pemuda tersebut.
Kami pun terkejut sekaligus heran. Pengalaman hidup Pak Burhan ternyata tak bisa dipandang sebelah mata. Ia lebih memilih jadi petani di desanya sendiri, ketimbang merantau dan jauh dari keluarga.
Sebelum saya memutuskan beranjak dari kediaman Pak Burhan, saya berkeinginan untuk membawa tembakau itu ke rumah. Biar bisa saya isap setiap harinya. Namun, istrinya malah tidak bisa menentukan harga jual tembakau yang mesti harus saya tebus. Ia menyerahkan kepada saya. Akhirnya saya memberinya uang selembar berwarna biru untuk satu ikat tembakau.
Saya tidak tahu apakah harga segitu cukup setimpal dengan usaha mereka. Membudidayakan tembakau setiap harinya. Namun, saya melihat mereka menerimanya dengan penuh senyum. Saya pun membalas senyum ramah itu, lalu menuliskannya menjadi cerita.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Kerap dipanggil sebagai Suden, kini tinggal di Yoyakarta dan sedang menempuh pendidikan panjangnya di menfess Twitter.