EVENTS

Bedog Arts Fest 2025: Menyimak yang Mengalir

Malam itu (18/10/2025), aku melihat orang-orang datang ke tepi sungai seperti datang ke bioskop terbuka. Mereka mencari tempat duduk terbaik, beberapa menyalakan kamera, lalu menunggu sesuatu terjadi. Menariknya, yang pertama kali menyambut dengan pergerakan justru air yang mengalir.

Dalam cahaya malam, air menjadi tubuh pertama yang menafsirkan tema Bedog Arts Fest (BAF) tahun ini: Sambung-Menyambung.

  • Bedog Arts Fest 2025: Menyimak yang Mengalir
  • Bedog Arts Fest 2025: Menyimak yang Mengalir

Sungai Bedog, Sungai Negeri Kita

Sungai Bedog adalah sungai yang mengalir melalui wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta. Hulu sungai berada di Taman Nasional Gunung Merapi dan hilirnya di daerah Pantai Baru, Bantul. Lalu di tepinya berdiri Yayasan Banjarmili, yang sejak 2007 menjadi ruang temu seniman, warga, dan komunitas. Dengan semangat regenerasi nilai, pelestarian lingkungan, dan keberlanjutan sosial-budaya, hadirlah Bedog Arts Fest. Sebuah festival seni pertunjukan lintas disiplin berbasis komunitas. Tahun 2025 menjadi momentum ke-15 penyelenggaraannya. Menghadirkan penampil lintas disiplin, dari kesenian tradisi, musik eksperimental, hingga karya teater kontemporer. Semuanya merespons ruang alami tepian Sungai Bedog sebagai panggung terbuka.

Tahun ini, BAF juga mengambil langkah yang patut diapresiasi, yakni gerakan almost green festival, praktik festival ramah lingkungan yang memadukan seni dan sains terapan. Bersama Yayasan Get Plastic Indonesia dan Bank Sampah Go-Green, sebagian cahaya di area festival ternyata disuplai dari minyak hasil olahan sampah plastik melalui mesin pirolisis. Bahkan, kabarnya sampah plastik yang dihasilkan selama acara akan diolah kembali untuk energi tahun depan. Sebuah keberlanjutan yang konkret.

Sungai Bedog barangkali dapat menjadi salah satu suara yang patut kita dengar mewakili puluhan ribu sungai di Indonesia. Menemui aliran air yang bersih dan bebas sampah di perkotaan, rasanya seperti barang mahal hari ini. Miroto, pendiri BAF, pernah menyampaikan bahwa sebelum festival ini lahir, warga di sekitar sungai Bedog mulanya masih menyetrum ikan dan membuang sampah ke air. “Sejak 2007, kebiasaan itu berhenti,” katanya. “Kalau pun ada yang masih, bukan warga sini.”

Ia juga menerima usulan warga untuk memasang papan larangan menyetrum dan meracun ikan di sungai. Dalam hal ini, aku melihat seni tumbuh di tepi air bukan hanya untuk dinikmati, melainkan juga menumbuhkan cara pandang baru terhadap lingkungan. Sungai tak patut dianggap “belakang rumah”, tetapi ruang depan bagi peradaban.

Bedog Arts Fest 2025: Menyimak yang Mengalir
Panggung BAF 2025/Fiezu Himmah

Terkesima oleh Panggung

Sungai di sorot mataku terus-menerus menjadi titik paling menarik dari seluruh rancangan BAF. Ia tampil seperti altar yang disiapkan untuk merayakan kesadaran bersama. Panggungnya hadir dari tebing dan arus air yang sudah ada. Ratusan senthir (lampu minyak) berdiri di antara bebatuan, menyala seperti kunang-kunang yang menulis puisi di udara. Ia menciptakan efek magis, seperti mengundang penonton untuk memasuki kondisi mental yang meditatif.

Di sebelah kiri, menghadap tebing, terdapat sedikit penambahan panggung. Dibangun dengan kerangka besi (scaffolding) dan dilapisi kain hitam untuk menyembunyikan struktur pendukungnya. Panggung ini membentang seperti jembatan atau sebagai penghubung dari satu sisi tebing ke sisi lain.

Menariknya, dengan konstruksi ruang seperti ini, kita diajak melupakan panggung teater megah yang sewa ruangnya kadang lebih mahal daripada biaya produksinya. Tidak ada pula kursi penonton berbaris rapi. Dalam hal ini struktur produksi seni terasa dibalik: bukan lagi siapa yang punya gedung, melainkan keberanian untuk menyapa ruangnya sendiri.

Mungkin kemarin bisa jadi ada penonton yang merasa tidak nyaman harus duduk di atas batu, karena sebagian runcing, sebagian dingin, membuat tubuh bisa cepat lelah. Namun, begitulah BAF, tidak hanya dibuat untuk menyenangkan publik dalam konteks kenyamanan penuh. Baik dari penampil maupun penonton, mereka saling memberi. Yang satu bermain, yang lain menyimak. Keduanya berbagi risiko dan keindahan yang sama.

Panggung ini tentu menantang bagi setiap penampil. Mereka harus cermat memilih sudut yang paling selaras dengan konsep karya. Bila memilih area tebing atau puncaknya, tubuh dituntut bekerja dengan presisi tinggi di atas permukaan licin, miring, dan mungkin basah. Ini menuntut fokus fisik ekstrem untuk menghindari cedera, terutama saat gerak cepat atau emosional.

Bagaimana Penampil Menggunakan Panggung?

Malam itu, aku hadir menyaksikan empat pertunjukan. Salah satunya “The Human Boar” karya Arya Bayu Aji (Samohung). Mereka menelusuri gerak babi hutan (celeng) untuk menggugat kerusakan habitat dan menyoal posisi manusia dalam rantai ekologi. “Siapa sebenarnya yang hama: hewan atau kita?” Sebagai penampil pertama di panggung utama, mereka berhasil memukau dengan aksi penguasaan panggungnya yang mengitari seluruh sudut, bahkan di titik-titik ekstrem seperti puncak tebing.

Mereka menelusuri gestur babi hutan dengan menggali sensasi ketubuhan: cara merangkak, mencium tanah, bermain dengan air, hingga menatap dengan curiga ke sekitarnya. Ritmenya kuat, ada ketegangan, jeda, lalu ledakan gerak, seperti respons terhadap sesuatu yang datang dari luar. Ada disiplin dalam setiap gerak. Energi tubuh dan tekstur alam seperti saling menegaskan, saling menahan. Gerakan lutut yang menekuk, rahang yang menegang, punggung yang membulat, semua terlihat seperti tubuh yang berusaha menampung sesuatu yang lebih besar dari dirinya.

Pertunjukan berikutnya, “Kala Hela Jala Jala” dari Kalanari Theatre Movement, yang berbicara tentang ekosistem laut dan persoalan sampah yang mengancam. Karya ini berangkat dari objek-objek temuan sepanjang Pantai Parangtritis–Pantai Depok, Yogyakarta, yang digunakan untuk membangkitkan atau menegasi memori dan imajinasi tubuh terhadap objek-objek.

Secara artistik, dari jarak pandang yang cukup jauh, jaring atau jala-jala tampak menjadi simbol utama yang kuat dalam pertunjukan ini. Ia tersangkut oleh sampah-sampah plastik, seperti bungkus makanan, pakaian, dan benda-benda temuan lain dari pantai. Simbol ini tentu sungguh relevan dengan realitas hari ini. Data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan memperkirakan timbulan sampah nasional pada 2025 mencapai 50,06 juta ton, dan sekitar 40 persen di antaranya tidak terkelola, sebagian besar berakhir di laut.

UNEP (2021) mencatat 80 persen sampah laut berasal dari daratan, terbawa aliran sungai dan aktivitas pesisir. Sisanya datang dari aktivitas di laut seperti perkapalan, perikanan, dan wisata bahari. World Bank (Atlas of Sustainable Development Goals 2023) menempatkan Indonesia di posisi kedua penyumbang sampah plastik laut terbesar dunia, setelah Tiongkok.

Bagi nelayan berdasarkan penelitian KKP (2022), keberadaan sampah plastik dapat menurunkan hasil tangkap hingga 30 persen. Sebab, ikan menjauh dari habitat tradisional, sementara 30–40 persen alat tangkap rusak akibat tersangkut sampah.

Bedog Arts Fest 2025: Menyimak yang Mengalir
Anak-anak menonton para penampil Bedog Arts Fest/Fiezu Himmah

Ruang yang Kurang Terkomunikasikan

Secara gagasan, pertunjukan Kalanari kuat dan selaras dengan tema festival. Namun, ada hal yang membuat pengalaman menonton terasa tidak utuh. Panggung pertunjukan ternyata berada di ujung sebelah kiri, menghadap tebing. Posisi ini tidak disampaikan sebelumnya oleh MC. Aku yang berada di sisi kanan melihat banyak penonton di sekitarku tampak kebingungan, mencari arah sumber suara dan gerak. Mereka baru menyadari letaknya saat pertunjukan berlangsung.

Bahkan ketika sudah berjinjit, posisi panggung yang tidak lebih tinggi dari penonton membuat sebagian besar penonton kesulitan menangkap keseluruhan peristiwa. Hanya posisi pemusik yang tampak paling jelas.

Di satu sisi, sungai memang menawarkan tantangan bagi cara kita memandang. Ruangnya menjadi lebih cair, arah pandangnya tidak tunggal. Tapi ketika penonton kehilangan orientasi karena miskomunikasi, maka konsep ruang itu seperti runtuh di tingkat pengalaman, begitulah yang kurasakan. Separuh penonton seakan kehilangan kesempatan menyaksikan pertunjukan secara utuh, bukan karena karyanya terlalu eksperimental, melainkan ruangnya kurang terkomunikasikan dengan baik.

Kesulitan menonton pertunjukan ini, kemudian mengingatkanku pada persoalan lain, yakni tentang ketersediaan informasi publik. Sebagai pengunjung luar kota, aku sempat kesulitan menemukan jadwal acara yang jelas. Pada awal promosi, yang tersedia hanya daftar hari dan nama penampil, tanpa keterangan waktu. Jadwal rinci baru dipublikasikan H-1. Untuk sebuah festival yang telah bertahun-tahun berlangsung dan menjadi bagian dari Kharisma Event Nusantara (KEN), cara komunikasi publik rasanya perlu lebih dan ditingkatkan.

Terlepas semua kesulitanku menghadiri BAF, akhirnya hal itu tak lebih besar dari pesan Sambung-Menyambung yang tetap sampai padaku. Sejak saat sampai di halaman gerbang, warga sekitar sudah membuatku merasa terhubung. Sapaan yang ramah, tawa anak-anak yang berlarian di tepi jalan, hingga pasar warga yang menjadi ruang pertemuan hangat.

Di perjalanan pulang, satu pertanyaan sekaligus harapan besar muncul: bagaimana penonton yang lebih luas di masa depan bisa lebih terhubung dengan mudah? Mungkin justru dari celah-celah itu makna “sambung” sedang diuji. Dan satu hal yang juga kusayangkan: di balik kerja kreatif luar biasa ini, aku belum sempat berbincang dengan penyelenggara malam itu. Tentang bagaimana mereka menata ruang, membangun komunikasi dengan warga, atau merawat energi yang membuat festival ini hidup tahun demi tahun. Di sanalah lapisan seni lainnya akan dapat kubaca. Barangkali tahun depan, kesempatan itu datang kembali. Semoga.


Referensi

Anggraini, A., Sudarsono, & Sukiya. (2016). Kelimpahan dan Tingkat Kesuburan Plankton di Perairan Sungai Bedog. Kingdom: The Journal of Biological Studies, Vol 5, No 6 (2016). DOI: 10.21831/kingdom.v5i6.5923.
Koswara, A. (2025, September 2). Laut Sebasah, Upaya Nyata Menyelamatkan Laut Indonesia. Kementerian Kelautan dan Perikananhttps://kkp.go.id/news/news-detail/laut-sebasah-upaya-nyata-menyelamatkan-laut-indonesia- nR3R.html.
Ramadhani, M. Q. (2021, Augustus 3). Hidup Manusia Bergantung pada Ekosistem Sungai. Greeneration Foundation, https://greeneration.org/publication/green-info/hidup-manusia-bergantung-pada-ekosistem-sungai.
Rudiana, P. A. (2018, Oktober 19). Asal Mula Bedog Arts Festival, Pentas Seni di Tepi Kali. Tempo.co, https://www.tempo.co/hiburan/asal-mula-bedog-arts-festival-pentas-seni-di-tepi-kali-805689.
Siaran Pers Bedog Arts Fest 2025.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Fiezu Himmah

Penulis yang gemar jalan, dan menyelami pengalaman hidup melalui karya seni.

Fiezu Himmah

Fiezu Himmah

Penulis yang gemar jalan, dan menyelami pengalaman hidup melalui karya seni.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Pengalaman Menerbangkan Pesawat Cinta dan Kekalahannya