Hari masih sangat pagi. Lalu-lintas masih lengang. Cuaca masih adem. Aku berada di seberang Hotel Surabaya, Jalan Kebon Jati, Bandung. Seorang pencari barang rongsokan melintas bersama gerobaknya di depanku. Ia berjalan melawan arus ke arah barat.

Jalan Kebonjati melintang dari barat ke timur. Arus lalu lintas di jalan ini berlaku satu arah. Selain sejumlah penginapan, di Jalan Kebon Jati terdapat pula rumah sakit, rumah ibadah, rumah duka, sekolah, beragam jenis kedai makan, bengkel maupun toko-toko.

Aku langkahkan kaki perlahan menyusuri Jalan Kebon Jati hingga akhirnya aku bersua Jalan Suniaraja, di mana terdapat Terminal Stasiun Hall. Kulihat seorang polisi yang berjaga sedang menggeser-geser beton pembatas jalan ke tepi jalan.

Jalan Kebon Jati, Kota Bandung
Jalan Kebon Jati, Kota Bandung/Djoko Subinarto

Di depan terminal, lima kendaraan Elf jurusan Bandung–Panjalu terparkir. Di depan Elf, sebuah angkot hijau muda jurusan Stasiun Hall–Gede Bage berhenti, mencari sejumlah muatan.

Aku menyeberang dan belok ke Jalan Pasar Barat. Di mulut jalan, sebelah kanan dari posisiku berjalan, seorang pria penjual buah-buahan, berkaus oblong putih dan bercelana gelap, tengah menata jongko-nya. Pagi itu ia telah bersiap-siap membuka jongkonya. Sementara itu, jongko-jongko lain masih terlihat tutup. 

Aku susuri Jalan Pasar Barat hingga aku berada di depan Babah Kuya, toko herbal nan legendaris yang sampai sekarang ini masih berdiri kokoh di Kota Bandung.

Toko herbal ini sudah beroperasi sejak tahun 1800-an. Pendirinya yaitu Tan Shio, yang oleh warga sekitar kala itu dijuluki Babah Kuya. Ada dua bangunan toko milik Babah Kuya. Satu menghadap ke timur, di Jalan Pasar Barat. Satunya lagi menghadap ke utara, di pojokan antara Jalan Pasar Barat dan Pasar Selatan. Saban hari, Toko Babah Kuya tak pernah sepi pembeli. Aneka ramuan herbal tersedia di sini. Aku sendiri pernah beberapa kali membeli daun sembung dan daun sirsak di Babah Kuya, guna membuat ramuan herbal untuk ibuku.

Toko Jamu Babah Kuya Bandung
Toko Babah Kuya yang menjual obat herbal tradisional/Djoko Subinarto

Pagi itu, kedua Toko Babah Kuya masih tutup. Sebuah mobil putih terparkir di depan toko. Di seberangnya, seorang pengemudi ojek daring tengah menunggu order.

Aku terus melangkah. Dari Jalan Pasar Barat masuk ke Jalan Pasar Selatan. Kemudian, menyeberang Jalan Otto Iskandardinata dan masuk ke Jalan Pecinan Lama hingga ujung, dan akhirnya bersua dengan Jalan Banceuy. 

Jalan Banceuy sekarang lebih terkenal sebagai sentra onderdil mobil. Deretan toko maupun jongko yang menjual onderdil mobil, baik yang seken maupun yang anyar, berdiri sepanjang Jalan Banceuy. Dulu, di Banceuy ini pernah berdiri sebuah lembaga pemasyarakatan (LP). Presiden pertama Indonesia, Soekarno, pernah dijebloskan ke LP Banceuy oleh pemerintah kolonial Belanda. Sejak tahun 1983, LP di Banceuy itu beralih tempat ke Jalan Soekarno–Hatta. 

Khusus bagi para pecinta dan penikmat kopi, Jalan Banceuy boleh jadi memiliki tempat tersendiri di hati mereka. Pasalnya, di salah satu sudut Jalan Banceuy dan Jalan Pecinan Lama, berdiri pabrik dan toko kopi yang masyhur. Namanya Aroma. Pabrik dan toko kopi ini telah ada sejak tahun 1930-an. Dua jenis kopi tersedia di sini, robusta dan arabika. Antrean pembeli selalu terlihat di Aroma pada hari-hari kerja, saat toko melayani konsumen dari pagi hingga petang.

Dari pertemuan Jalan Banceuy dan Pecinan Lama, aku bergerak ke selatan. Tak terlalu lama, aku sampai ke Kantor Pos Besar Bandung, yang menghadap ke Jalan Asia–Afrika. Gedung Kantor Pos Besar Bandung dibangun pada tahun 1928 oleh J Ven Gendt, arsitek yang juga membangun Stasiun KA Manggarai. Di masa kolonial Belanda, Kota Bandung merupakan pusat pelayanan pos pemerintahan Hindia Belanda. 

Dulu, di depan Kantor Pos Besar Bandung berjejer penjual yang menawarkan aneka keperluan surat-menyurat dan alat-tulis. Saban menjelang Hari Raya Lebaran, para penjual itu selalu menyediakan kartu Lebaran aneka jenis dan ukuran. Di masa lalu pula, saban menjelang Lebaran, aku belanja kartu Lebaran di depan Kantor Pos Besar Bandung ini.

Kini, di era serba digital, nyaris tak ada lagi orang yang berkirim kartu lebaran. Ucapan selamat lebaran lebih lazim dilakukan via pesan instan dengan memanfaatkan akses internet. Lebih cepat, lebih praktis. Beda sekali dengan kartu lebaran. Setelah membeli kartu, kita harus menulis dan menandatangani, memasukkan ke dalam amplop, menempelkan perangko dan menuliskan alamat si penerima, serta mengirimkannya—sebelum kemudian sampai ke alamat yang dituju.

Tak begitu jauh dari Kantor Pos Besar Bandung, ke sebelah barat, berdiri deretan toko. Di antara deretan toko itu, ada bangunan yang hanya tinggal struktur bagian depannya saja. Di bagian atasnya tertulis: De Zon NV. 

  • Gedung Dezon NV
  • Gedung Kantor Pos Besar Kota Bandung

Merujuk data cagar budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Bandung, Gedung Dezon NV berdiri sekitar tahun 1925 dan kini telah menjadi salah satu bangunan pusaka Kota Bandung. Gedung ini bergaya art deco. Dulu, gedung ini adalah pertokoan besar di Kota Bandung. Pemiliknya merupakan seorang warga negara Jepang.

Sayang, sekarang gedung ini sudah tidak utuh sama sekali. Bagian dalamnya sudah benar-benar rata dengan tanah. Di dinding atas bagian depan gedung ini, terpasang banner kecil. Tertulis di banner itu: Proyek Whiz Prime Hotel Asia–Afrika Bandung.

Dari depan gedung De Zon NV, aku berjalan menyusuri trotoar ke arah barat. Sepanjang pagi itu, aku belum sarapan. Aku ingat ada tukang bubur ayam yang biasa mangkal di Jalan Jenderal Sudirman, dan punya banyak pelanggan. Aku menuju ke sana. 
Sembari berjalan, aku membayangkan betapa sedapnya menikmati bubur ayam hangat-hangat berkuah kuning kental, dengan taburan kedelai, brambang goreng, serta irisan seledri, dan bawang daun segar, di pagi nan cerah itu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan TikTok kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Tinggalkan Komentar