Kenapa buku-buku bagus mudah ditemui di kafe-kafe Yogyakarta, daripada di Purwokerto, misalnya?
Beberapa waktu lalu, sepulang dari Purwokerto untuk kembali ke Jakarta, saya bersama istri tidak serta-merta langsung menuju ibu kota. Dengan kereta, kami memilih jalan lain. Dari Stasiun Purwokerto—dengan lagu latar Di Tepi Sungai Serayu yang nostalgic itu—kami singgah dulu beberapa jam di Yogyakarta, untuk kemudian melanjutkan perjalanan lewat Bandung, lalu menuju Stasiun Gambir di Jakarta.
Sekitar tujuh jam di Yogya, kami mengitari Taman Sari, Alun-alun Kidul dan Lor, Malioboro yang riuh, serta Tugu yang sumuk itu.
Satu tempat yang pertama kami singgahi setibanya di Stasiun Yogyakarta adalah kedai atau kafe Mamahké di bilangan Taman Sari. Yang menarik dari kafe itu ada buku-buku. Tidak begitu banyak, tapi koleksinya ciamik. Buku-bukunya bisa dibilang serius dan bukan yang begitu populer. Setidaknya buku-buku yang terpampang tidak seperti di beberapa kafe baru di Purwokerto—tempat saya tinggal cukup lama.


Buku-buku di Kafe Yogya
Buku-buku berdiri di rak menyudut letter V. Di situ ada Tan Malaka, Pramoedya, Budi Darma, Seno Gumira, Penghancuran PKI punya Olle Tӧrnquist, Pengakuan Pariyem-nya Linus Suryadi AG, Menjadi Manusia Rohani karya Ulil Abshar Abdalla, buku biografi band GIGI yang ditulis Adib Hidayat, serta buku lainnya yang kebanyakan bertema agama dan sejarah.
Saya mengambil Orang-Orang Bloomington dari Budi Darma dan membawanya ke meja. Di situ saya mbatin, buku-buku bagus, bernas, dari penulis jempolan cukup mudah dijumpai di kedai-kedai kopi di Yogya. Mungkin tidak seperti di kafe-kafe baru di Purwokerto yang kian menjamur dan beberapa sempat saya singgahi.
Oke. Di Yogya, selain di kafe Mamahké itu, malam harinya saya dan istri juga mampir ngopi di satu kafe kecil, namanya Selonjor Coffee. Alamatnya kami dapatkan sambil lalu lewat mesin pencari, dekat dengan Malioboro. Meski Malioboro riuh, tapi di kafe itu sepi pengunjung. Saat itu hanya ada kami berdua sebagai pengunjung dan dua kawan si barista. Ya, tempatnya begitu kecil. Toiletnya saja selebar lebih sejengkal dari badan saya.


Walakin, kafe kecil dan sepi pengunjung itu juga punya buku-buku bagus. Satu yang saya bawa ke meja, masterpiece Yuval Noah Harari: Sapiens.
Saya kembali membatin, kenapa buku-buku bagus mudah ditemui di kafe-kafe di Yogya? Mungkin di sana budaya diskusi dan kegiatan literasi sudah terbangun lebih dulu ketimbang budaya ngopi di kafe. Bahwa kafe bisa jadi tempat diskusi atau bahkan meruangnya ide-ide revolusioner—seperti dulu keberadaan kafe Le Procope di Paris dalam sejarah Revolusi Prancis.
Mungkin begitu. Atau silakan, barangkali ada yang lebih tahu. Sebut saja jumlah kafe di Yogya yang menyediakan buku-buku, yang sering buat diskusi atau bedah buku, atau jumlah penerbit, toko buku, klub buku, dan seterusnya, pasti jumlahnya tidak sedikit.
Ya, saya pernah tinggal di Yogya meski hanya sekitar tiga bulan untuk urusan Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) tahun 2015. Di Yogya, saya diajak kawan ikut ngopi di Blandongan, Mato, dan kafe lain yang saya sudah tidak ingat lagi namanya. Tidak hanya sebagai tempat ngopi, kafe jadi ruang diskusi berjam-jam. Atau sekarang, ada berapa penerbit atau media daring di Yogya yang juga buka kedai: Mojok, Basabasi, Berdikari, Shira Media, apalagi?
Saya ingat, di sana-sini ada diskusi; mungkin di tiap kedai di Yogya ada saja acara atau orang diskusi. Di kafe, di toko buku, dan saya pernah juga ke Pesantren Kaliopak yang isinya para santri berdiskusi dan berkreasi.

Kafe di Purwokerto
Kedai modern pertama (artinya kafe yang menawarkan banyak varian kopi) di Purwokerto yang saya ketahui namanya dan saya singgahi adalah Praketa di dekat Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto. Atau Rumah Kopi Obamb depan kantor Damkar yang setahu saya sekarang sudah tiada. Saya agak lupa mana yang pertama. Yang jelas itu di tahun 2015 saat saya awal ketemu dengan istri yang kini ternyata sudah satu dasawarsa.
Sebelumnya, ketika SMK pernah pula saya mengenal kedai atau warung kopi agak modern (artinya menyediakan beragam kopi tapi jenis saset yang diseduh di tempat), seperti Warung Kopi Angka Lima depan Paviliun Geriatri. Atau Kongkow Kafe persis seberang Unsoed, depan patung Jenderal Soedirman yang sedang menunggang kuda—seorang kawan di teater bergurau katanya kini sudah berganti menaiki Vespa.
Beberapa kedai yang saya sebut di atas sudah gulung tikar semua, kecuali Praketa yang masih eksis sampai kini. Saya alpa, dulu di situ ada buku-buku atau tidak. Saya ingat dan sedikit saya tahu, di beberapa kafe di Purwokerto itu tidak banyak (atau tidak ada?) buku-buku berjejer, diskusi, geliat literasi, dan seterusnya seperti yang saya alami ketika di Yogya.
Memang tidak semua. Tapi, saya rasa menjamurnya kafe di Purwokerto barangkali tidak atau belum hadir bersama budaya diskusi dan kegiatan literasi. Yang saya lihat, kafe di Purwokerto lebih banyak jadi tempat nongkrong saja. Umumnya mungkin begitu. Mungkin ada beberapa pengecualian, seperti kafe Hetero Space yang jadi tempat co-working, creative hub, bedah buku atau kegiatan literasi digelar di Purwokerto.
Di Praketa, setelah satu dasawarsa, saat libur Lebaran 2025 di Purwokerto, saya dan istri kembali ke sana. Sekarang di sana ada buku-buku. Tidak banyak memang, tapi sudah ada. Buku-bukunya bisa dengan mudah kita jumpai di Gramedia. Sekali lagi, yang penting ada.
Saya tentu senang ketika mendapati buku-buku bagus di kedai saat mampir ngopi. Apalagi kalau kebetulan tidak bawa buku, jadi bisa pinjam baca. Sesederhana itu.

Antara Purwokerto dan Yogya
Seperti yang saya sebut sebelumnya, yang mendasari perbedaan kafe di Purwokerto dan Yogya, barangkali di daerah istimewa itu budaya literasi sudah lebih dulu ada ketimbang kafenya. Beda dengan di Purwokerto. Lihat saja daerah yang kerap dielu-elukan para komika dari Jakarta dan disebut-sebut sebagai tempat tujuan masa tua.
Kafe-kafe menjamur di tiap sudut jalan, di perempatan, di gang-gang di Purwokerto. Yang saya lihat isinya anak-anak muda, mungkin usia sekolah dan awal kuliah, atau ada juga bapak muda yang mengajak anaknya yang gendut dan istrinya yang bahenol. Tidak ada yang salah dan keliru dari semua itu.
Yang jelas saya lihat, dulu kafe di Purwokerto hanya satu-dua atau paling banyak lima. Sekarang, kafe di Purwokerto mudah ditemukan di mana-mana. Sama seperti menjamurnya perumahan, baik subsidi dan nonsubsidi, cluster-cluster, residence-residence.
Nah, persamaan mendasarnya antara Purwokerto dan Yogya mungkin satu. Lebaran kemarin saya merasakan, keduanya sama-sama makin hiruk-pikuk dan sumuk. Gerah hawanya!
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.