Meski tidak saban hari, untuk keperluan transportasi, hingga kini saya masih kerap menggunakan angkot. Selama lima tahun terakhir, yang saya amati, setia
Meski tidak saban hari, untuk keperluan transportasi, hingga kini saya masih kerap menggunakan angkot. Selama lima tahun terakhir, yang saya amati, setiap kali naik angkot, tak pernah saya dapati angkot yang dalam keadaan penuh penumpang. Padahal dulu, jaman masa-masa saya masih kuliah, sering kali saya harus menunggu berlama-lama lantaran angkot yang hendak saya setop selalu dalam keadaan penuh, terutama di jam-jam sibuk.
Banyaknya alternatif moda transportasi sekarang ini telah nyata-nyata membuat angkot tak lagi jadi primadona. Mungkinkah bisnis angkot telah memasuki masa senja kala, dan hanya tinggal menunggu waktu untuk segera tutup buku mengakhiri riwayatnya? Akankah angkot segera menjadi kenangan yang cuma menyisakan segudang cerita nostalgia, baik dari para mantan pelaku bisnisnya maupun dari mantan para konsumennya?
Tatkala mulai beroperasinya angkutan daring (online), salah satu pihak yang kencang melakukan penolakan adalah para supir angkot. Demo supir angkot untuk menolak angkutan daring sempat menghiasi sejumlah kota di Indonesia. Tuntutan utama para supir angkot yaitu agar pemerintah segera melarang beroperasinya angkutan berbasis daring. Alasannya, kemunculan transportasi daring ikut mengurangi penghasilan para pengemudi angkot.
Jauh sebelum kemunculan angkutan daring seperti ojek daring maupun taksi daring, angkot telah mulai ditinggal para konsumennya seiring hadirnya apa yang diistilahkan sebagai booming sepeda motor akibat adanya berbagai program kredit super murah sepeda motor. Dengan uang muka cuma beberapa ratus ribu rupiah, sepeda motor anyar pun bisa segera kita bawa pulang. Buntutnya bisa ditebak. Makin banyak saja warga memiliki sepeda motor dan kemudian memilih menggunakan sepeda motor ketimbang naik angkot.
Maka, kalau dulu penumpang cenderung mencari—atau juga mengejar-ngejar—angkot, sekarang justru terbalik keadaannya, angkotlah yang cenderung mencari-cari penumpang. Bahkan, di jam-jam sibuk sekalipun, tidak sedikit angkot yang mengangkut cuma 2-3 penumpang. Alhasil, mereka kerap berhenti atau ngetem berlama-lama agar kursi angkot terisi penuh. Tapi, ngetem seperti itu malah membuat penumpang kesal karena waktu mereka terbuang sia-sia di jalan.
Kian banyaknya warga yang beralih menggunakan sepeda motor—ditambah pula mobil pribadi—sebagai moda transportasi, tentu, didasari oleh kenyataan bahwa angkot secara umum mulai tidak mampu memenuhi ekspektasi masyarakat yang menginginkan transportasi publik yang murah, nyaman, aman dan tepat waktu.
Ketimbang dompet jebol lantaran harus keluar uang lebih banyak untuk naik-turun angkot ketika menjangkau tempat tujuan dengan tanpa jaminan mendapatkan kenyamanan, keamanan, maupun ketepatan waktu, warga pun saat ini lebih memilih mengkredit kendaraan, terutama sepeda motor, dan menjadikannya sebagai alat transportasi utama mereka sehari-hari.
Kalau kita amati, sebagian besar kendaraan bermotor yang wara-wiri di jalanan kota-kota merupakan kendaraan pribadi. Apalagi di akhir pekan atau hari-hari libur nasional, mayoritas kendaraan yang menyesaki jalanan kota adalah kendaraan pribadi. Wajar saja jika kemudian kemacetan lalu lintas semakin akrab merundung kota.
Padahal, di samping membuat lingkungan kian tidak sehat, kemacetan juga menimbulkan gangguan terhadap aktivitas bisnis dan ekonomi. Dalam karyanya bertajuk Measuring the Economic Costs of Urban Traffic Congestion to Business, Weisbrod et al (2003) menyebutkan bahwa kemacetan menaikkan biaya perjalanan, menaikkan biaya logistik serta menurunkan produktivitas.
Oleh karena itu, fasilitas transportasi umum—dibarengi dengan fasilitas bagi para pejalan kaki dan pesepeda—semestinya senantiasa menjadi prioritas dalam perencanaan dan pembangunan kota yang berkelanjutan di mana pun. Dalam konteks keberadaan angkot sebagai transportasi umum, apabila kehadiran angkot hendak dipertahankan sebagai salah satu moda transportasi, maka perlu ada penataan yang lebih serius sehingga pelayanannya dapat benar-benar prima. Selain itu, ongkosnya pun harus benar-benar ekonomis alias ramah di dompet warga.
Sesungguhnya, dengan kondisi di mana sebagian besar angkot di kota-kota kita masih bergantung pada sistem pengelolaan dan pendanaan yang sepenuhnya di tangan swasta perseorangan seperti sekarang ini, memang relatif lebih sulit untuk menjadikan angkot sebagai transportasi umum yang murah, nyaman, aman dan tepat waktu, seperti yang didamba-dambakan masyarakat. Keterbatasan dana boleh jadi merupakan salah satu kendala bagi para pengelola angkot perseorangan untuk melakukan inovasi serta memberikan layanan yang lebih prima kepada para konsumennya.
Oleh karena itu, rencana beberapa pengelola kota yang kabarnya bakal memberikan subsidi kepada para operator angkot mudah-mudahan saja dapat benar-benar terealisasi. Dengan demikian, pihak operator angkot—termasuk dalam hal ini para pengemudinya— tidak terlalu dipusingkan lagi dengan urusan setoran dan biaya operasional sehari-hari. Mereka dapat benar-benar fokus kepada pelayanan yang prima untuk para konsumen mereka.
Bagaimanapun, tanpa peningkatan dalam hal kenyamanan, keamanan, maupun ketepatan waktu, angkot bakal semakin sulit menarik hasrat khalayak dewasa ini. Lebih-lebih lagi ketika khalayak memiliki sejumlah alternatif selain angkot untuk moda transportasi mereka sehari-hari.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu!