TRAVELOG

Mencari Harta Karun di Pasar Blauran Baru Surabaya

Berburu buku lawas seperti taruhan: kadang pulang dengan tangan hampa, kadang justru membawa temuan yang tak terduga. Sensasinya bukan semata harga yang lebih miring saja, melainkan adrenalin pencarian itu sendiri—yang entah mengapa selalu membuat candu. Terlebih bila menemukannya di tempat yang tak pernah dibayangkan; rasanya seperti pemburu yang akhirnya menjumpai hasil buruan paling diidamkan. 

Pagi itu, matahari sudah menyengat, tetapi tak meredam niat saya untuk pergi ke Pasar Blauran Baru di Jl. Kranggan, Kecamatan Sawahan, Surabaya. Di kepala, aroma kertas tua, bercak kuning, dan debu seakan lebih dulu menyambut, bahkan sebelum saya tiba di sana.

Mencari Harta Karun di Pasar Blauran Baru Surabaya
Tampak depan pintu masuk Pasar Blauran Baru/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Lorong Sunyi di Pasar Blauran Baru

Namun, bayangan itu buyar seketika begitu kaki saya melangkah masuk ke pasar yang bangunannya tua dan minim cahaya. Alih-alih disambut deretan buku, yang terlihat justru papan-papan menu dan keramaian pembeli yang menikmati berbagai kudapan: pecel, bubur, hingga lontong mi.

Tembok yang berjamur, serta lampu yang redup seolah menjadi saksi bisu usia pasar ini. Suara penjual yang menawarkan dagangannya menambah riuh suasana, tapi sekaligus membuat saya ragu: benarkah di balik keriuhan ini masih ada kios-kios buku lawas seperti yang sering diceritakan?

Saya melaju pelan, menyusuri tiap koridor pasar dan berharap menemukan tanda keberadaan buku-buku lawas. Namun, setelah beberapa kali berputar, yang tampak hanya toko pakaian dan oleh-oleh. Penasaran perlahan berubah menjadi kebingungan.

Saya teringat bahwa Pasar Blauran Baru dulu dikenal sebagai pusat buku lawas paling legendaris di Surabaya. Namun, pamornya kian meredup; banyak pedagang pindah, sebagian tutup, dan sejak pandemi melanda pengunjung makin jarang.

Akhirnya saya bertanya pada seorang penjual makanan. Ia tersenyum kecil dan menunjuk ke arah belakang pasar.

“Di dalam sana, Mbak. Lewat gang itu. Masih ada kok yang buka, tapi tinggal beberapa saja.” Ucapannya menggema di kepala, membuat langkah saya kembali bersemangat.

Saya mengikuti arah yang ditunjukkan. Gang itu sunyi, deretan kios tertutup rapat seolah tak lagi berpenghuni. Namun, dari kejauhan tampak sebuah lampu kecil menyala di sudut lorong.

Benar saja, ketika saya melangkah mendekat, tumpukan buku mulai terlihat. Sebagian tertutup terpal lusuh, sebagian lain disusun seadanya di rak-rak tua. Di tengah lorong yang muram itu, tiga kios masih bertahan, seakan tetap menjaga denyut terakhir pasar buku lawas di sini.

Rasanya seperti menemukan dunia lain yang tersembunyi di tengah pasar. Di sinilah bagian terbaiknya dimulai—ketika pencarian perlahan berubah menjadi penemuan.

  • Mencari Harta Karun di Pasar Blauran Baru Surabaya
  • Mencari Harta Karun di Pasar Blauran Baru Surabaya

Menemukan Harta Karun 

Tiga kios buku berdiri berdekatan. Pagi itu, para bapak penjual tampak sibuk. Dua di antaranya merapikan buku berdebu dengan kemoceng lusuh, lalu menoleh sambil bertanya dengan nada hangat, “Cari buku apa, Mbak?”

Saya mendekat, mencari dan melihat tiap buku yang ditumpuk rapi. Barangkali ada koleksi yang menarik hati. Tak lama, harta karun pertama muncul dari tumpukan—Quantum of Solace: The Complete James Bond Short Stories karya Ian Fleming. Kondisinya nyaris sempurna. Saya membelinya dengan harga Rp35.000. Terlebih buku ini adalah cetakan asli Penguin Books yang kini susah dicari. 

Saya beralih ke kios sebelahnya. Di antara buku-buku filsafat dan perjalanan, keberuntungan masih berpihak. Kali ini saya menemukan buku karya Eric Weiner, The Geography of Faith. Buku itu tergeletak di antara tumpukan novel, dan sekaligus melengkapi koleksi saya.

Selain itu, saya juga menemukan buku lain, yakni Percy Jackson #4: The Battle of the Labyrinth, The Casual Vacancy edisi bahasa Indonesia, dan Good Omens karya Neil Gaiman & Terry Pratchett. Semua dalam kondisi layak baca.

Saya pun langsung membayar total empat buku seharga Rp135.000. Sebelum saya pergi, saya bertegur sapa dengan seorang bapak penjual berkacamata tebal yang nyaris meluncur dari hidungnya. Tangannya yang keriput membelai sampul sebuah novel dengan lembut, sembari berkata pelan.

“Sekarang pembeli makin jarang, lebih banyak yang beli online, Mbak. Kebanyakan pedagang di sini juga sudah meninggal, tidak ada yang meneruskan.”

Ucapannya meninggalkan rasa hampa yang lama di dada. Seketika saya merasa sedang menyaksikan dua hal yang sama-sama langka: buku-buku yang enggan melawan waktu, dan orang-orang yang tetap setia bertahan menjaganya.  

Perasaan haru dan sedih masih membekap erat saat saya melangkah keluar kios. Sementara suasana keriuhan pasar di stan kuliner seraya menyambut, mengerti saya harus sejenak menepi.

Harta karun yang saya temukan di sudut sepi Pasar Blauran Baru/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Mencicipi Kuliner Es Dawet dan Bubur Campur

Saya pun berhenti di Depot Bu Nawang yang menjajakan beragam makanan, untuk memesan semangkuk es dawet dan bubur campur. Masing-masing Rp10.000 per porsinya, menjadi jeda manis yang pas untuk memulihkan energi hari ini. 

Sambil menyesap sendok terakhir es dawet, saya menatap kembali ke arah buku-buku berada. Koridor itu hampa tapi seolah bersuara berisik: buku-buku yang berseru untuk dibaca, dan suara kesetiaan yang tak mau menyerah pada zaman.

Ada harapan kecil bahwa tempat seperti itu masih akan terus ada, dijaga oleh tangan-tangan yang selalu percaya bahwa setiap buku, betapa pun tuanya, selalu menemukan pembacanya

Perjalanan singkat ini mengingatkan saya bahwa kadang, harta karun tak terduga justru ditemukan di tempat yang nyaris dilupakan dan perlahan kian ditinggalkan. Lorong itu sederhana, tapi menyimpan kehangatan yang membuat saya ingin kembali lagi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Seorang pekerja konten biasa yang menyukai lagu-lagu John Mayer.

Seorang pekerja konten biasa yang menyukai lagu-lagu John Mayer.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Pantai Tlangoh Bangkalan: Mengubah Mitos dengan Pariwisata Berbasis Masyarakat