INTERVAL

Istana Bahran dan Keengganan Kerja-Kerja Kebudayaan

Sore itu (28/10/2025) lagi cerah. Ditemani minuman kopi, aku duduk bersama seorang kawan di sebuah bangunan lama, yaitu Istana Bahran, yang berada di Kotapinang, Kabupaten Labuhanbatu Selatan (Labusel), Sumatra Utara. 

Pada saat momen yang sama, kami menikmati suasana sinar matahari yang hangat di sela-sela hujan yang sering turun beberapa pekan sebelumnya. Dalam konteks ini, sinarnya tiba juga di sekolah dasar—rumah rakyat, kantor Kejaksaan Negeri Labusel, dan pepohonan tebu yang berada di sekitar area istana tersebut. 

Sebelum menggapai Istana Bahran, perjalanan diawali dari pusat Kotapinang lalu mengarungi Pasar Kotapinang yang hiruk-pikuk, kemudian meniti jalan yang membentang di antara rumah masyarakat. Di pinggir kiri terlihat SMP Negeri 1 Kotapinang, sementara di pinggir kanan berdiri Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Labusel yang menjadi isyarat bahwa Kotapinang bukan cuma kecamatan, melainkan juga tempat layanan publik berlangsung: kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan pemerintahan. 

Ketika belok ke jalan menuju istana, kami bertemu dengan suasana yang berubah. Sebab, ruko-ruko dan kios pasar akan digantikan oleh kebun tebu dan beberapa pohon tinggi. Jalan tersebut, seolah mengantar kami ke dimensi masa lalu, dari kegiatan modern menuju sejarah. Perjalanan ini tidak hanya perjalanan fisik, tetapi juga refleksi: di setiap suara kendaraan, di setiap pohon tebu, ada cerita masyarakat yang dilupakan.

Istana Bahran dan Keengganan Kerja-kerja Kebudayaan
Tebu dan belukar tumbuh di lahan Istana Bahran/Naufi Hakim

Ironi Istana Bahran

Istana Bahran merupakan bangunan yang sudah jarang dirawat sejak dihancurkan pada revolusi sosial tahun 1946 (Reid, 2012). Istana tersebut merupakan warisan dari sebuah Kerajaan Kotapinang, yaitu Sultan Tengku Mustafa Makmur Perkasa Alamsyah. Sejak dibangun sekitar tahun 1930-an, istana tersebut menjadi lokus kekuasaan lokal yang giat mengatur politik, adat, dan sosial. (Muktarruddin dkk, 2023).

Begitulah. Istana itu bukan hanya simbol, melainkan juga episentrum pemerintahan tradisional yang mempertautkan rakyat dan raja. Kini, ia menjadi tempat orang buang air kecil dan besar. Juga tempat pembuangan sampah. Begitulah. Bila ia dapat menyampaikan aspirasi, mungkin ia akan ngomong: Pemerintah Labusel itu tega, ya! Karena lupa dan tiada anggaran untuk melestarikan bangunan ini.

Istana Bahran adalah fakta sejarah bahwa Labusel juga punya masa lalu, terlepas dari segala nuansa feodal yang menghampirinya. Namun, justru di poin inilah ironi muncul: perhatian pemerintah tampak lebih tendensius pada seremoni ketimbang kerja-kerja pelestarian budaya. Seakan berita keberadaan istana sudah tak populer lagi untuk menguat populis. Mungkin yang penting berita seremoni bagi-bagi sembako, bukan berita kebudayaan. Padahal kalau mau kritis, istana itu sangat potensial sebagai modal budaya, aset simbolik, yang dapat menjadi instrumen antara masa lalu, kini, dan esok untuk Labusel. 

Istana Bahran dan Keengganan Kerja-kerja Kebudayaan
Vandalisme dan faktor cuaca kian menggerus fasad Istana Bahran jika tidak segera direvitalisasi/Naufi Hakim

Budaya dan Kekuasaan Sangat Berkaitan

Sesungguhnya Labusel tidak defisit kebudayaan. Buktinya, Melayu bertemu sama Mandailing dan Batak, yang menghasilkan pola hidup yang cair dan plural. Namun, sikap rezim terhadap kebudayaan kadang terkesan cair juga, tidak dalam posisi komitmen melestarikan, tetapi melaksanakan budaya sebagai wadah seremoni. Hari Ulang Tahun (HUT) Labusel misalnya, penuh dengan tari-tarian, baliho besar, dan papan bunga berserakan. Sangat semarak! Namun, setelah panggung dibongkar, senimannya jadi kembali gagap untuk mencari makan. Di sinilah tragisnya: di panggung depan budaya seolah dirawat, tetapi di panggung belakang ia dibiarkan. 

Seorang pemikir kebudayaan dari Italia, Antonio Gramsci, pernah mengatakan bahwa kekuasaan bertahan bukan dengan kekerasan, melainkan persetujuan yang dikonstruksi melalui budaya. Barangkali di Labusel, wujud persetujuannya simpel: rakyat dianjurkan senang, bahkan ketika tidak mengerti apa yang disetujui. 

HUT Labusel adalah wujud pengganti forum kebudayaan. Di situ orang menari bukan karena memaknai maksud tarian, melainkan sudah jadi agenda rutin di setiap tahun. Gramsci mungkin tidak heran dengan hal yang demikian, karena ia sudah memahami bahwa kekuasaan memang bekerja secara halus untuk menjaga hegemoninya dengan hiburan, bukan pemikiran kritis. 

Ajaibnya bila ditanya soal budaya, rezim di Labusel akan menjawab dengan bertele-tele dan banyak alasan: kita pro buat melestarikan budaya. Maksudnya, bila ada anggaran kami datang melihatnya ke tempat. Setelah itu foto-foto lalu besok tiada lagi kelanjutannya akan seperti apa.

Entah mengapa di sini laku budaya itu tampak hanya terhenti pada “dekorasi seremonial”.  Seni mengalami defisit dalam membicarakan realitas sosial di masyarakat. Karena mereka hanya diperlukan saat ada kegiatan pemerintah. Itu pun sebagai tamu undangan untuk mendengar pidato yang demagogi.

Gramsci (2013) juga pernah menjelaskan tentang intelektual organik. Maksudnya, orang yang lahir di tengah masyarakat dan pro pada mereka. Di Labusel, mungkin mereka adalah petani, buruh, guru, penulis, atau seniman. Sayangnya orang-orang seperti itu memang sengaja dipinggirkan demi menjaga status quo agar tetap berlangsung. 

Bagi pemerintah mungkin mending mendengar suara cukong, atau konsultan proyek ketimbang rakyat yang tahu dan mengalami masalahnya. Juga pemerintah mendengar mereka karena cukong memberi dana, dan kepala proyek tidak mau banyak bertanya balik. Pada akhirnya ‘omon-omon’ pembangunan hanya soal retorika kekuasaan semu. Kendati semua punya peran: pejabat jadi pemimpin, rakyat jadi penonton. Sesekali ada tepuk tangan. Namun, tetap perubahan progresif itu masih jauh panggang dari api. 

Sampah-sampah berserakan membuat kondisi Istana Bahran kian memprihatinkan/Naufi Hakim

Pembangunan Budaya

Ironisnya, pemerintah sering mengumbar kata tentang semangat daerah, tetapi abai buat menumbuhkan rasa ingin tahu. Rakyat didorong supaya hormat, tapi amat jarang untuk dilibatkan dalam memutuskan hal yang publik. Kehormatan yang tidak didasarkan pada pengetahuan hanya menghasilkan fanatisme. Mungkin karena itu yang surplus di Labusel adalah spanduk atau baliho ucapan selamat. Mereka tak butuh arti, cukup foto besar terpampang dan cat mencolok. Begitulah.

Anderson (2008) menjelaskan bahwa bangsa itu terbentuk dan hidup lewat imajinasi kolektif. Namun, imajinasi hanya dapat hidup bila ada sejarahnya. Bukan dari tanah kering yang tanpa sejarah. Bila Istana Bahran dibiarkan begitu saja tanpa perhatian, bagaimana rakyat membayangkan sebuah masa depan. 

Aku kira, sejarah yang dibiarkan membusuk akan menghasilkan satu poin penting: lupa daratan adalah kebijakan rutin. Sementara yang gigih untuk melestarikan hanya rumput liar dan sampah di halaman istana. 

Sesungguhnya pembangunan itu bukan soal beton dan baliho. Ia soal membangun pola berpikir. Namun, di sini kayaknya berpikir itu dianggap akan menghasilkan distabilitas. Maka pembangunan jadi seperti kegemaran tahunan: tepuk tangan, pidato, potong pita selesai. Seakan-akan perubahan dapat diukur hanya melalui besarnya pita yang dipotong. Padahal yang mendesak untuk dipotong adalah kebiasaan mengabdi pada proyek yang tanpa makna.

Bagiku selalu ada peluang untuk berubah. Termasuk di Labusel. Ia dapat berubah apabila pemerintahannya mau menyudahi kenaifannya serta mau membuka diri untuk mendengarkan. 

Jadi, bila mau disebut pro rakyat bukan cukong, mulailah dengan hal yang tidak rumit: aktifkan budaya, dengarkan aspirasi rakyat, dan rawat sejarah. Pembangunan itu tidak harus megah kayak Dubai, Cina, dan seterusnya. Kadang cukup dengan kejujuran sebagai fondasinya. Memang Istana Bahran sudah berantakan, Namun, yang lebih malang apabila ingatan ikut hancur. Sebab dari situlah kekuasaan dapat paling mudah berjalan di atas kepala orang banyak. 


Referensi

Anderson, B. (2008). Imagined Communities: Komunitas-Komunitas Terbayang. Yogayakarta: Pustaka Pelajar–Insist.
Gramsci, A. (2013). Prison Notebooks: Catatan-catatan dari Penjara.. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muktarruddin, Handayani, R., Aini, S., Ernanda, H., & Lilalamin, R. (2023). Sejarah Dakwah Kesultanan Kota Pinang. INNOVATIVE: Journal Of Social Science Research, Volume 3 Nomor 2, hlm. 7610-7617. https://j-innovative.org/index.php/Innovative/article/download/2744/2149.
Reid, A. (2012). Sumatera Revolusi dan Elite Tradisional. Jakarta: Komunitas Bambu.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

M. Naufi Hakim

Peminat literasi dan penggerak Lapak Baca Gratis Ruang Ekspresi. Sehari-hari selalu menyisihkan waktu buat membaca buku.

M. Naufi Hakim

Naufi Hakim

Peminat literasi dan penggerak Lapak Baca Gratis Ruang Ekspresi. Sehari-hari selalu menyisihkan waktu buat membaca buku.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Masjid Tuo Kayu Jao, Masjid Tua Berusia Ratusan Tahun di Sumatra Barat