TRAVELOG

Mengingat Kembali Sejarah Kota Wates dengan Jalan Kaki (2) 

Selesainya kami menyusuri Bale Agung—saksi bisu penggabungan Adikarto dan Kulon Progo—lantas kami diajak ke sebuah tugu. Letaknya di sebelah tenggara kompleks pemerintahan Kabupaten Kulon Progo.

“Ayo, hati-hati jalannya. Awas, motor,” ucap Arif sambil melambaikan tangannya, memberi tanda pelan-pelan bagi kendaraan yang lalu lalang. Dari kejauhan, sebuah tugu berwarna putih dengan sentuhan warna kuning keemasan berada di bawah proyek pembangunan jembatan layang untuk pejalan kaki.

Mengingat Kembali Sejarah Kota Wates dengan Jalan Kaki (2) 
Peserta dan inisiator berfoto bersama di depan pintu utama Manunggal Fair sebelum melakukan Historical Walking Tour/Dokumentasi Manunggal Fair

Jejak Kelompok Tionghoa di Kota Wates

Di tengah suasana yang cukup terik, beberapa dari kami mengerutkan dahi karena saking silaunya sinar matahari. Kombinasi silaunya sinar matahari dan suasana yang terik, membuat kami akhirnya memilih mencari tempat teduh. Di depan tugu itulah, kami semua ngeyup, dan Nopal mulai menjelaskan. 

“Tugu di depan kita, itu adalah Tugu Pagoda. Salah satu bukti dan peninggalan kelompok Tionghoa di Wates,” terangnya.

Tugu Pagoda itu berwarna putih dan memiliki bentuk tingkat-tingkat berlapis. Di kanan kirinya, terukir aksara Tionghoa dan kalimat berbahasa Melayu yang berbunyi: Sripodoeka Kandjeng Goesti Pangeran Adipatir Ario Pakoe Alam 7 bertachta diatas keradja’an Pakoe Alam tjoekoep 25 tahoen. Die persembahken oleh pendoedoek bangsa Tionghwa, ver: tionghwa Hwee Kwan dan ver: Hiap Tik Hwee die Wates. 

“Pada tahun 1912, Paku Alam ke-7, membuka kerja sama dengan pengusaha-pengusaha Tionghoa, dengan cara mengontrakkan tanah selama 75 tahun. Nah, tugu ini dibangun tahun 1931, sebagai persembahan sekaligus simbol persaudaraan antara masyarakat Jawa yang diwakili Paku Alam dengan kelompok Tionghoa,” kata Nopal sambil sesekali menunjuk Tugu Pagoda yang berada di sebelah kirinya.

Kemudian, ada seorang peserta yang bertanya, “Tapi kok hari ini, orang Tionghoa nggak banyak kelihatan di sini (Wates)?”

Pertanyaan itu segera saja dijawab oleh Nopal. Katanya, kelompok Tionghoa di Wates sudah tidak terlalu banyak karena ada satu peristiwa yang membuat mereka dipaksa pergi, yakni ketika Agresi Militer Belanda II. Terdapat satu orang Tionghoa yang justru menyambut kedatangan tentara Belanda. 

“Karena waktu itu, gejolak mempertahankan kemerdekaan sedang menggebu-gebu, jadinya walaupun yang menyambut hanya satu orang, tetapi semua orang Tionghoa yang kena getahnya. Rumah-rumah mereka dibakar dan diungsikan ke daerah Nanggulan,” ceritanya. 

Akibat peristiwa tersebut, memunculkan sentimen terhadap orang-orang Tionghoa di kota Wates pada tahun-tahun berikutnya. Nopal juga menambahkan, sebenarnya sentimen itu bisa dilacak sejak era kolonial yang membuat strata sosial: paling atas orang Eropa, bawahnya orang Timur Asing (Arab, Tionghoa), dan paling bawah adalah bumiputera. 

Sehabis diskusi yang cukup seru, lalu Nopal mengajak untuk melanjutkan perjalanan. Semua dari kami lantas kembali melangkah. Ditambah suasana yang tambah panas membuat langkah kami agak cepat. 

Mengingat Kembali Sejarah Kota Wates dengan Jalan Kaki (2) 
Tugu Pagoda (1931) adalah bukti bahwa kelompok Tionghoa pernah memiliki peran sentral dalam perekonomian di kota Wates/Dokumentasi Manunggal Fair

Zending dan Monumen “Kekuasaan Belanda”

Sesudah berjalan hampir seratus langkah—saya lihat di aplikasi Strava—kami sampai di pojok barat laut Alun-alun Wates. Kami semua berdiri di depan gedung bekas Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo. Tepat di depannya, tertancap plang putih milik Dinas Kebudayaan yang juga tertancap di depan SD Negeri Percobaan 4, Wates—bertuliskan Cagar Budaya. 

“Nah, kita sampai di gedung bekas Rumah Sakit (RS) Petronella,” ujar Wahid. 

Beberapa dari kami berdiri di bawah tenda biru milik salah satu angkringan di Alun-alun Wates, seraya memasang telinga untuk mendengarkan penjelasan Wahid. Ia menerangkan, gedung yang berdiri di depan kami semua adalah salah satu rumah sakit bentukan gerakan zending

Zending adalah gerakan pengabaran injil, gerakan kristenisasi oleh orang-orang Eropa. Jadi, zending itu nggak hanya membangun gereja, tapi juga rumah sakit dan sekolah, berusaha memfasilitasi kebutuhan masyarakat,” tambah Wahid sambil memegang mikrofon TOA. 

Dia melanjutkan, kalau RS Petronella ini tidak hanya satu. Namun, yang ada di Wates ini adalah cabang dari RS Petronella yang ada di Kota Yogyakarta, sekarang dikenal sebagai RS Bethesda. 

Ada yang menarik kami ketika membaca tulisan yang tertancap di depan gedung itu. Terdapat kesalahan penulisan, yang seharusnya “pengkabaran” menjadi “pembakaran”. Kami menyadari itu karena Wahid menyeletuk, “Ada kesalahan fatal ini dari penulisan keterangan di sini (plang Cagar Budaya).”

Setelah menyadari itu, beberapa dari kami ada tertawa, ada pula yang miris, karena kesalahan penulisan sangat fatal. Secara tiba-tiba, dua orang mengeluarkan spidol dan selotip untuk menutupi kalimat “pembakaran”, kemudian di atas selotip ditulis “pengkabaran”. 

Selesai dari gedung bekas Dinas Kesehatan Kabupaten Kulon Progo, kami lanjut ke pemberhentian terakhir. Kami finis di sebuah kursi besar dan panjangnya mungkin sekitar enam meter, yang terbuat dari batu dan semen.

  • Mengingat Kembali Sejarah Kota Wates dengan Jalan Kaki (2) 
  • Mengingat Kembali Sejarah Kota Wates dengan Jalan Kaki (2) 

Monumen Ratu Wilhelmina

“Ya, kita sampai di objek terakhir. Silakan bisa duduk-duduk di kursi ini dan mencari tempat teduh,” Nopal mempersilakan.

Kami semua berpencar. Ada yang duduk di kursi, di samping kolam, hingga duduk di rerumputan. Sejenak kami semua merilekskan badan setelah berjalan cukup jauh dan menegak air minum yang disediakan inisiator.

“Jadi, di kota Wates ini, ada satu monumen peringatan 40 tahun takhta Ratu Wilhelmina, yang belum diberi keterangan Cagar Budaya. Ada yang tahu di mana?” tanyanya kepada peserta.

Kami semua tidak tahu, dan tidak menjawab pertanyaan Nopal karena bingung. Setelah melihat wajah kami yang kebingungan, lalu Nopal mengatakan kalau kursi yang diduduki beberapa dari kami, itulah monumennya. 

“Jadi, kalian yang duduk di situ, sedang merasakan singgasana ratu. Kenapa bentuk monumennya kursi? Karena kursi singgasana itu adalah simbol dari kekuasaan kerajaan,” jelas pria bertopi ungu itu.

Dia bersama inisiator lain, menemukan bahwa adanya monumen peringatan tahta Ratu Wilhelmina di kota Wates, ketika mencari-cari arsip surat kabar berbahasa Belanda. Secara kebetulan, menemukan satu artikel berita di koran De Indische Courant edisi 10 Februari 1939. 

“Kita sudah selesai jalan-jalan, dan sesi terakhirnya, kita bakal dengerin lagu yang bisa kalian pindai dari barcode yang ada di dalam zine. Di bagian akhir-akhir,” ucap Nopal sambil membuka-buka zine.

Mengingat Kembali Sejarah Kota Wates dengan Jalan Kaki (1) 
Salah seorang peserta sedang memindai barcode di dalam zine/Dokumentasi Manunggal Fair

Setelah dipindai, ada dua lagu yang muncul. Pertama, tentang pujaan kepada Ratu Wilhelmina. Kedua, lagu Indonesia Raya yang terdapat slogan-slogan Nippon. Selama beberapa menit, kami mendengarkan secara saksama dengan earphone yang sudah dibawa, ada juga yang mendengarkan langsung dari speaker gawai. 

“Nah, itulah yang jadi penutup jalan-jalan kita dari pagi sampai siang. Lagu-lagu itu kami tunjukkan karena beberapa alasan. Lagu pertama, karena kita sedang ada di monumen Ratu Wilhelmina, lagu kedua karena di kanan kiri kita, ada monumen Tentara Pelajar (TP) yang asal-muasalnya tidak bisa dilepaskan dari pengaruh semasa penjajahan Jepang,” kata Nopal. 

Sebelum menutup acara, Nopal kembali mengatakan: “Kehidupan kita di hari ini, tidak bisa dilepaskan dari sejarah yang membentuk. Begitu juga sejarah kota Wates. Ada berbagai macam faktor dalam sejarah yang membikin kita seperti ini.” 

Pertanyaan yang ditulis di halaman terakhir zine, tidak dibahas. Namun, menjadi refleksi atas masa lampau bagi saya dan peserta lain.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Zhafran Naufal Hilmy

Saya adalah seorang muda yang tinggal di Kulon Progo. Sehari-hari bergelut dengan rasa malas-malasan, ingin tidur sepanjang hari, gairah membaca buku, dan menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik. Sapa saya instagram @zhafran.h.

Zhafran Naufal Hilmy

Zhafran Naufal Hilmy

Saya adalah seorang muda yang tinggal di Kulon Progo. Sehari-hari bergelut dengan rasa malas-malasan, ingin tidur sepanjang hari, gairah membaca buku, dan menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik. Sapa saya instagram @zhafran.h.

1 Comment

  • Yuwana Galih Nugrahatama

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kopi, Rumah, dan Perayaan Bernama Puspa L.A.B