TRAVELOG

Mengingat Kembali Sejarah Kota Wates dengan Jalan Kaki (1) 

Pagi itu, Sabtu (27/9/2025), belasan orang berkumpul di depan rumah dinas bupati Kulon Progo, sebelah utara Alun-alun Wates. Mereka datang untuk mengikuti walking tour bertajuk “Merasakan Wates” yang diadakan oleh Manunggal Fair dan Kolektif Eureka. 

“Wates ini sudah eksis jadi kota dari tahun 1912. Ketika itu, Wates jadi ibu kota Kabupaten Adikarto,” terang Wahid sembari menudingkan jarinya ke beberapa gedung di sekitar Alun-alun Wates yang sudah ada sejak awal abad ke-20. 

Apa yang disampaikan Wahid, persis dengan apa yang ditulis Ahmad Athoillah dalam bukunya, Desa Mawa Carita: Sejarah Desa dan Kota di Kulon Progo. Namun, pada akhir abad ke-19, sebelum menjadi ibu kota, Wates lebih dulu dikenal sebagai ‘kota transit’ untuk hilir mudik kendaraan pembawa barang dagang.1 Istilah ‘kota transit’ yang disematkan ke kota Wates, disebabkan karena posisi geografisnya yang menjadi penghubung Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Selain sebagai ibu kota dan ‘kota transit’, Wates meninggalkan banyak jejak ingatan lain yang sampai hari ini masih menunggu untuk ditelusuri kembali. “Merasakan Wates” menjadi salah satu cara yang mencoba mengais jejak itu, dan mengingatnya lagi. 

Mengingat Kembali Sejarah Kota Wates dengan Jalan Kaki (1) 
Peserta membaca zine yang berisi cuplikan berita tentang Kota Wates di koran era kolonial/Dokumentasi Manunggal Fair

Wates adalah ‘Kota Indis’

Cukilan artikel yang membahas kota Wates dari tahun 1920-an hingga 1930-an termaktub di sebuah zine kecil berukuran A6 yang dipegang satu-satu oleh peserta. Foto dan peta lanskap kota Wates di era kolonial juga tak luput hadir dalam zine itu. 

“Hari ini kita bakal muter alun-alun aja, di sini [alun-alun] banyak banget peninggalan era kolonial yang masih eksis,” ujar Farit, salah satu inisiator acara kala menjelaskan kepada peserta.

Pukul 09.05 WIB, kami berjalan bersama ke arah timur. Sekitar 200 meter dari tempat berkumpul, sampailah ke SD Percobaan 4 Wates. Sebuah plang besi dari Dinas Kebudayaan Kulon Progo terpampang di depannya. Tandanya, bangunan itu sudah masuk sebagai cagar budaya oleh pemerintah kabupaten. 

“Silakan teman-teman bisa dibuka zine-nya, di situ ada dua arsip artikel dari koran Djawa Tengah di tahun 1924 dan 1927. Di situ [artikel] tertulis bahwa adanya sekolah ini (SDN Percobaan 4) tidak bisa dilepaskan dari gerakan Zending oleh orang-orang Katolik,” terang Wahid sambil memegang zine.

Artikel dari Djawa Tengah tahun 1927 yang menuliskan pembukaan Muloschool. Muloschool hari ini menjadi SD Negeri Percobaan 4 Wates/Dokumentasi Manunggal Fair

Tepat di depan SDN Percobaan 4, terdapat satu gedung yang secara arsitektur sangat mirip dengan model bangunan kolonial. Lantas, kami semua bergeser ke sana. Hanya 10 meter dari SDN Percobaan 4. Nopal, salah satu inisiator, membuka obrolan dan menjelaskan. 

“Dari arsip yang kami telusuri, kami belum menemukan secara spesifik gedung ini dulu berfungsi untuk apa. Tapi, kalau kita tengok di sebelah timurnya, gedung yang sekarang milik Polsek Wates, itu dulunya adalah milik Veldpolitie atau polisi lapangan,” lanjutnya.

Masih di gedung yang sama, pria bertopi ungu tersebut membacakan satu cuplikan berita di Djawa Tengah tanggal 5 Mei 1925 tentang penggerebekan rumah pelacuran atau biasa disebut rumah bordil, di kota Wates. Penggerebekan itu melibatkan veldpolitie dan juga perangkat pemerintahan. 

“Jangan dikira Wates zaman dulu itu nggak metropolit, segalanya ada, bahkan rumah pelacuran pun eksis,” kata Nopal dengan nada bercanda dan diikuti tertawa kecil. 

Selanjutnya, kami melanjutkan berjalan ke Bale Agung. Salah satu tempat penting lahirnya Kabupaten Kulon Progo. Selama perjalanan, Wahid kembali bercerita. Ia menuturkan bahwa tata letak Kota Wates ini ‘sangat kolonial’. Maksudnya adalah, semua terpusat di satu wilayah. Alun-alun, kantor pemerintahan (asisten residen), stasiun, sekolah, dan rumah sakit, bahkan penjara. 

“Tata kota yang terpusat seperti di Wates ini, adalah ciri bahwa dulu kota kolonial. Jadi, kalau teman-teman berkunjung ke luar kota, dan menemukan tata kota yang terpusat, bisa jadi itu kota kolonial,” lanjutnya menjelaskan.

Mengingat Kembali Sejarah Kota Wates dengan Jalan Kaki (1) 
Peta Kota Wates tahun 1934 menunjukkan bahwa semua fasilitas penting berdiri memutari alun-alun/Dokumentasi Manunggal Fair

Sejarah Penggabungan Dua Wilayah

Setelah berjalan sekitar lima menit, kami sampai di Bale Agung. Gedung bergaya indis ini terletak di dalam area kompleks pemerintahan Kabupaten Kulon Progo, pojok tenggara Alun-alun Wates. Karena sinar matahari cukup terik pagi itu, sesampainya di sana kami untuk duduk dan meneduh sambil mendengarkan inisiator menceritakan jejak-jejak masa lalu di gedung ini.

“Ya, silakan duduk dan ngeyup (berteduh) dulu temen-temen,” seru Arif. 

Arif berdiri di depan kami yang duduk, ia menjelaskan layaknya guru sejarah di sekolah dengan antusias. Kami pun, dengan saksama mendengarkan dan mencermati apa yang keluar dari mulutnya. 

Bale Agung dibangun pada tahun 1918, yang hari ini terletak di kompleks pemerintahan Kabupaten Kulon Progo/Dokumentasi Manunggal Fair

“Gedung ini jadi saksi penggabungan dua kabupaten: Adikarto dan Kulon Progo. Jadi, wilayah Kabupaten Kulon Progo hari ini adalah gabungan dari dua wilayah. Wilayah Adikarto ada di daerah selatan, sedangkan Kulon Progo di bagian utara,” ujarnya. 

Arif menjelaskan sangat detail tentang kronologi penggabungan dua wilayah itu. Ia melanjutkan, ada motif ekonomi dan efisiensi dalam penggabungan tersebut. 

“Adikarto berada di daerah Kadipaten Pakualaman, sedangkan Kulon Progo milik Kasultanan Ngayogyakarta. Pada akhir 1940-an, ada kemerosotan ekonomi yang salah satunya akibat serangan Agresi Militer Belanda II atau Aksi Polisionil. Akhirnya, penggabungan dua wilayah ini menjadi solusi atas porak-porandanya kondisi ekonomi dengan cara subsidi silang. Adikarto yang memiliki industri pabrik, memberi subsidi kepada Kulon Progo. Begitu pun sebaliknya,” ia melanjutkan.

Selesai Arif memaparkan, kami rehat sejenak sambil saling mengobrol. Lalu seseorang beranjak dari duduknya dan mencoba mengintip ruangan Bale Agung dari luar. Ia penasaran karena kala Arif menjelaskan, disuguhkan pula foto rapat penggabungan dua kabupaten pada tahun 1951. 

(Bersambung)


  1. Ahmad Athoillah, Desa Mawa Carita: Sejarah Desa dan Kota di Kulon Progo (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2021). ↩︎

Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Zhafran Naufal Hilmy

Saya adalah seorang muda yang tinggal di Kulon Progo. Sehari-hari bergelut dengan rasa malas-malasan, ingin tidur sepanjang hari, gairah membaca buku, dan menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik. Sapa saya instagram @zhafran.h.

Zhafran Naufal Hilmy

Zhafran Naufal Hilmy

Saya adalah seorang muda yang tinggal di Kulon Progo. Sehari-hari bergelut dengan rasa malas-malasan, ingin tidur sepanjang hari, gairah membaca buku, dan menghabiskan waktu dengan mendengarkan musik. Sapa saya instagram @zhafran.h.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Langkah Hati Rangkai Pergi