Aforisme ini bakal membangunkan Putri Tidur tanpa harus dikecup pangeran; kepakaran dengan gesit dibinasakan oleh ilmu pengetahuan instan dan cepat saji. Buktinya untuk menjalin benang akar identitas Paku Bumi, orang harus mengobok-obok internet, bertanya pada mereka yang salah jurusan, dan mencatat omongan orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Semua usaha ini dikerahkan hanya untuk memperoleh kesimpulan yang patut dicurigai.
Pengetahuan yang tidak bisa dipanen secara logis, pada akhirnya membuat orang banting setir bertanya pada makhluk tak kasatmata—atau begitulah sabda salah satu cabang epistemologi animistik. Jadi kalaupun tidak mau, orang akan dipaksa untuk mau, atau malah ada banyak orang bersuka cita menelisik Paku Bumi Tanah Jawa, turunan soko Gunung Tidar Bedengan, Malang, menggunakan alat pikir hantulogi.
Sebenarnya, tidak ada yang menyimpang dari pendekatan hantulogi. Riset Peter Carey atas Pangeran Diponegoro pekat akan fakta-fakta mistis. Saya yakin dosen Peter Carey, Benedict Anderson mengamini ikhtiar Peter Carey karena dirinya sendiri menguak kuasa Jawa dari kisah Amangkurat II yang eksotis legendaris dan Presiden Reagan yang tidak akan mau mengambil kebijakan politik sebelum konsultasi ke dukun. Claude Lévi-Strauss dalam The Savage Mind juga memberi hak absah atas metode hantulogi karena ilmu pengetahuan berbasis logika terlalu angkuh, padahal semesta ini tidak bekerja dengan kesepakatan logika belaka.
Yang menjadi masalah adalah hantulogi bergantung pada toleransi. Tidak ada alat ukur kebenaran karena ini ranah yang terlalu subjektif. Apalagi buat saya yang tidak bisa mewawancarai dedemit, saya tidak mungkin bisa menggunakan intuisi saya yang sudah dijalari krisis eksistensial ala Thomas Ligotti untuk mengumbar hal-hal sakral. Sahabat saya, Poppy, mendadak mengajak ke Bumi Perkemahan Bedengan, sebenarnya bukan untuk membelah alas dan mencari yang aneh-aneh. Kami sepakat memiliki agenda memeluk pohon agar tidak kentir. Dengan ini kami hanya berbekal semangat khas manusia hilang arah yang kembali pada alam ala naturalis D. H. Lawrence yang terobsesi dengan lili putih dan Henry David Thoreau yang asik dengan amfibi Danau Walden.

Perhutani: Agenda Luhur yang Serong
Bersarang di dataran paling tinggi bagian barat Kota Malang, Bumi Perkemahan Bedengan, Kecamatan Dau digadang menjadi sumbu distribusi jeruk, pembibitan pinus, serta persemaian tanaman konservasi hutan dan mata air. Kelihatannya memang eksotis, patriotik, dan menggiurkan kerja naturalis BUMN Perhutani di Bedengan yang dikelola langsung oleh Lembaga Kemitraan Desa Pengelola Hutan (LKDPH). Tapi orang akan digelontor sangsi bila menarasikan wanawisata ini dengan sarkasme berdasar, misalnya dengan mengatakan kenyataan berikut ini.
Di dalam situs web Perhutani, alih-alih terdapat informasi penting tentang data keragaman biota, total, serta jenis persemaian yang tersebar di beberapa titik berdekatan dengan kavling perkemahan―isinya hanya tiga butir paragraf yang menyadur konten iklan dari koran digital lokal, Radar Malang.
Konten saduran itu, saya perlu mengusap air mata yang berleleran sebab menumbalkan diri dengan menjelaskannya, adalah total pengunjung per bulan, terutama di musim liburan. Sebagai tambahan, ada iklan tentang pengunjung yang dijamin tak bakal kesusahan mencapai dan bersenang-senang di Bedengan. Syukur alhamdulillah, informasi ini tidak kesepian. Agar lebih bertambah pengetahuan anak bangsa, muncul satu butir konten yang mengabarkan dibangunnya wahana baru hammock tower. Konten ini ditutup juga dengan pelaris masa depan wisata alam yang semakin cerah.
Tanpa diraba, jelas di depan mata bahwa hajat utama Bumi Perkemahan Bedengan bukan mengakar pada perimbangan alam dan konservasi lingkungan, apalagi menunaikan jargon ‘mendekatkan pengunjung dengan alam’. Wanawisata ini justru berpaling pada fitrah wanawisata itu sendiri.
Pusat informasi di Bedengan yang paling berguna adalah denah bumi perkemahan, karena selain secarik peta tidak ada informasi lainnya. Bila sebagian besar pengunjung Bedengan adalah anak-anak Pramuka yang berkemah dan berkegiatan di sana, maka penting untuk diberi dasar pengetahuan tentang jagat flora konservasi; akar tanaman jenis apa, tanah yang ber-pH berapa dan tingkat ukuran kelembapan yang ideal untuk persemaian. Seabrek informasi penting tak terbatas lainnya perlu didulangkan pada mereka, karena area persemaian ini hanya terbentang dan tergeser begitu saja. Bagi orang-orang yang tak mengerti seberapa penting tetumbuhan tersebut hanya akan mengira itu sekadar rerimbun gulma.
Orang tak perlu berkhayal untuk melihat imbas lubang wanawisata tersebut. Di hari saya dan Poppy berkunjung, bulan Juli 2025 hari Jumat Kliwon, Bedengan sedang disesaki pengunjung lintas umur. Jumlah paling masif didominasi oleh anak-anak sekolah yang mengadakan kegiatan berkemah. Semua perlengkapan bermalam seperti tenda, alat pemanggangan, kursi lipat, matras, jasa bongkar pasang, musala, toilet bersih, kavling berkemah, dan area warung, ada.
Sebaliknya area konservasi tergeser beberapa kilometer dari pusat kegiatan berkemah. Porsi lahan untuk berkemah jauh lebih luas daripada area konservasi. Maka tak heran, ketika saya berkunjung ada kegiatan berkemah yang mencolok pengeras suara, dengan desing bunyi yang merongrong gendang telinga, anak-anak berkaraoke Terima Kasih Pak Jokowi.
Banyak riset berkeliaran yang bahkan berusaha membuat minim vibrasi suara dari jalan raya agar tidak mengganggu proses bertunas tanaman-tanaman. Dengan vibrasi yang lebih menggetarkan, pengeras suara di area konservasi justru diperbolehkan di Bedengan. Jangankan tetumbuhan, polusi suara juga bisa memengaruhi libido hewan dan membikin aneh tingkah mereka. Maka, apakah betul Bedengan adalah wanawisata?


Jantung area konservasi (kiri) dan wahana yang diduga Hammock Tower/Putriyana Asmarani
Tenda Goyang
Kiranya ada satu alasan mengapa Henry David Thoreau (filsuf Amerika Serikat) yang sudah wafat rikuh bereinkarnasi mengingat ada peristiwa wanawisata di Bedengan. Sia-sia ia meneliti biota Danau Walden selama beberapa tahun, berdamai dengan codot, hanya untuk mengetahui bahwa di kemudian hari alam hanyalah sarana eskapisme―sebuah pengalihan, pelarian, dan hiburan sementara. Kalau mau menggunakan perlambangan terbaik untuk menjabarkan kondisi ini: orang mengunjungi wisata alam seperti menuntaskan kebutuhan berahi belaka.
Ini bukan ilusi tabu. Desember 2024 tersiar viral musibah sepasang pemuda yang bukan suami-istri ‘bercocok tanam’ di dalam tenda sewaan. Insiden Tenda Goyang, sabda malangterkini.id (19/12/2024), menggemparkan orang seolah ini baru pertama kali terjadi.
Betapa menghibur, semua pihak bergerak seolah Bedengan yang sumber airnya suci seperti kolam pembaptisan telah kebobolan. Betapa dramatis, detik.com meliput, polisi terjun ke tempat kejadian perkara dengan berkhotbah tentang antisipasi agar kejadian ini tidak terulang kembali dan bersosialisasi pada pengunjung untuk lebih beretika. Sebagai tambahan, polisi akan menambah jadwal patroli khusus di Bedengan. Khotbah ini beres dan ditutup dengan kegagalan polisi menciduk pelaku.
Delapan bulan berlalu setelah antisipasi, sosialisasi, dan sumpah palapa patroli polisi, bulan Juli 2025, saya dan Poppy (semestinya dalam jangka waktu sepanjang ini Bedengan sudah kudus seperti Madinah) malah melihat banyak sejoli bertebaran di seluruh ufuk mata memandang sedang bermesraan baik di sekitar aliran sungai, di pokok-pokok pinus, dan bersandar di bongkahan batu kali. Saling mendekap. Saling memangku. Saling membelai.
Sebenarnya, saya tidak terlalu menggubris tindakan mereka. Hormon remaja adalah perkara biologis dan sangat manusiawi. Tapi dengan kondisi yang sama, mengapa orang membesar-besarkan ‘Insiden Tenda Goyang’ kalau di Bedengan siapa pun boleh meminjam tenda dan bermesraan di tempat terbuka? Siapa pun boleh saling memangku dan membelai di jalur perkemahan dan pinggiran sungai tempat anak-anak Pramuka membersihkan sampah pengunjung. Mengapa berkoar-koar soal etika ketika Bedengan menjadi area yang ‘pokoknya banyak pengunjung, itu sudah bagus’?



Sampah Abadi di Lahan Konservasi
Bedengan bercitra akar bumi. Muara konservasi tumbuhan. Di tempat ini ada (entahlah berapa jumlahnya sebab tidak ada informasi tentang ini) pohon pinus, jati, pohon pisang dan serumpun tanaman lainnya. Namun, warung-warung yang berjajar di area bumi perkemahan menggunakan styrofoam untuk menjamu pembeli. Sampah abadi satu itu membutuhkan waktu 500 sampai satu juta tahun untuk terurai. Bahkan bila semesta mengulang kedatangan Wali Songo dua kali, Indonesia sudah merdeka selama 80 tahun dan mengulang merdeka hingga enam kali, sampah styrofoam belum terurai.
Tiket masuk Bedengan hanya Rp10.000, dengan harga semurah ini, Perhutani telah mengasihi kantong kita semua. Menu makanan berat tidak sampai Rp15.000, sedangkan minuman segar seperti es jeruk betulan hanya Rp5.000. Satu wadah styrofoam tanggung 15 cm x 19 cm kalau beli di Shopee setiap satuannya sekitar 500 rupiah (harga per 30/7/2025). Mestinya, dengan ideologi komersial yang umumnya pelit seperti tokoh Christmas Carol karya Charles Dickens, daripada keluar duit 500 rupiah per styrofoam lebih baik makanan beralaskan daun jati atau daun pisang yang melimpah di Bumi Perkemahan Bedengan.
Sesungguhnya, Bedengan tidak sekotor itu. Untuk tempat yang biasa dikunjungi 100 orang per hari, tidak ada sampah plastik berserakan dan bungkus-bungkus lain limbah perkemahan. Bekas sapu lidi terlihat, itu berarti tempat ini rajin disapu. Anak-anak yang berkemah juga mengadakan kegiatan yang cukup melek lingkungan, seperti lomba mengumpulkan sampah. Yang paling banyak mengumpulkan sampah adalah pemenangnya.
Kegiatan seperti ini sangat budiman untuk mendukung area konservasi. Tapi tetap saja, kegiatan ini takkan menemukan titik terang kalau pelaku usaha menggunakan bungkus styrofoam. Sia-sia belaka, mengapa mau repot mengumpulkan beras kalau ditampung di dalam karung rombeng?
(Bersambung)
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Putriyana Asmarani adalah penulis konten kreatif di salah satu perusahaan pemasaran digital di Malang. Salah satu risetnya Identitas Politik Raja-raja Melayu mendapatkan beasiswa riset di National University of Singapore. Cerpen dan resensi bukunya pernah terbit di The Jakarta Post, Indian Periodical, Djavatimes, SuaraNet.id dan lain-lain.


