INTERVAL

Erupsi Semeru dan Pentingnya Tata Kelola Pendakian Gunung

Ranu Kumbolo menjadi titik tumpu ketika Gunung Semeru meletus baru-baru ini. Kala awan panas atau hujan abu datang tiba-tiba, cekungan Ranu Kumbolo yang relatif datar dan terlindung menjadi tempat berkumpul yang mudah dijangkau oleh rombongan pendaki sebelum turun ke Ranupani. 

Namun, kenyamanan alamiah ini menyimpan paradoks. Tempat yang aman secara topografi belum tentu aman secara manajerial.

Tata Kelola Pendakian

Erupsi Semeru pada pertengahan November 2025 mengingatkan kita betapa cepatnya perubahan situasi saat pendakian gunung, dan betapa banyak celah di tata kelola pendakian kita. AP News melaporkan (20/11/2025), erupsi itu melemparkan awan dan aliran panas yang jauh, memaksa ribuan orang berpindah dan sejumlah pendaki harus dievakuasi dari Ranu Kumbolo. 

Dari sisi aturan formal, sejauh ini memang telah ada upaya memperketat akses berupa kuota harian, batas pendakian sampai Ranu Kumbolo, dan persyaratan administrasi. Namun, implementasi aturan di lapangan sering bertabrakan dengan realitas—cuaca, sumber daya SAR, dan dinamika rombongan pendaki yang beragam. 

Kapasitas pemandu lokal menjadi kunci dalam hal ini. Mereka bukan cuma sebagai pemandu jalan, melainkan juga ujung tombak mitigasi risiko saat terjadi bencana. 

Kebijakan yang mewajibkan minimal satu pemandu per kelompok adalah sebuah capaian langkah maju. Namun, jika jumlah pemandu terlatih masih tidak seimbang dengan jumlah kuota pendaki, maka aturan itu hanya menjadi label di kertas. Oleh sebab itu, investasi pada pelatihan, sertifikasi, dan kompensasi wajar bagi pemandu harus dilakukan lebih serius.

Aspek logistik evakuasi menampakkan kelemahan struktural pula. Jalur turun yang sempit, cuaca yang berubah cepat, dan komunikasi yang terkadang buruk antara pos-pos lapangan masih kentara. Ranu Kumbolo memang dekat bagi banyak pendaki, tetapi saat arus turun secara massal tanpa manajemen kloter yang rapi, maka berpotensi menciptakan kepanikan dan kecelakaan sekunder. Di sinilah SOP evakuasi harus diuji secara berkala, bukan hanya dibuat lalu tersimpan rapi di laci.

Dari pengalaman penanganan evakuasi saat erupsi Semeru, baru-baru ini,  juga memperlihatkan perlunya peta risiko dinamis. Jadi, bukan hanya peta topografi statis. Penggunaan data seismik real-time, kondisi cuaca mikro, dan profil rombongan (usia, pengalaman, kesehatan) untuk keputusan apakah pendakian harus ditunda atau dipercepat evakuasinya adalah hal yang senantiasa sangat dibutuhkan. Keputusan berbasis data ini butuh infrastruktur komunikasi yang kuat di kawasan gunung.

Respons SAR dan pengelola taman nasional sejatinya mendapat pujian karena berhasil mengevakuasi ratusan pendaki (AP News, 20/11/2025). Tetapi, pujian itu tidak boleh menutupi pelajaran sistemik, yakni tindakan darurat selalu lebih mahal dan lebih berisiko dibanding pencegahan. Evakuasi bertahap berhasil menunjukkan koordinasi, sekaligus menunjukkan stok kesiapsiagaan awal bisa jadi terlalu tipis. 

Salah satu titik lemah yang paling sering terlupakan dalam aktivitas pendakian di negeri ini adalah registrasi pendaki yang tidak lengkap atau manipulatif. Data identitas yang akurat bukan sekadar persyaratan administratif. Ia akan menyelamatkan nyawa ketika harus memetakan rombongan untuk evakuasi dan memberi tahu pihak keluarga. Sistem registrasi elektronik yang terintegrasi dengan data kesehatan sederhana bisa menjadi game-changer dalam perkara ini.

Selain itu, kapasitas pos-pos pendakian seperti Ranu Pani perlu ditingkatkan bukan hanya untuk pendaftaran, tetapi juga fungsi sebagai command post darurat, yang mencakup ruang komunikasi, ruang medis sementara, dan gudang logistik cepat. Saat ini pos cenderung berfungsi parsial saat krisis. Kebutuhan akan fasilitas multifungsi selalu muncul secara mendesak.

Erupsi Semeru dan Pentingnya Tata Kelola Pendakian Gunung
Lanskap Desa Ranu Pani dengan latar aktivitas vulkanis Gunung Semeru. Tata kelola yang baik akan menjadikan desa ini tidak sekadar pintu naik dan turun pendakian, tetapi juga sigap saat darurat bencana/Rifqy Faiza Rahman

Menyeimbangkan Manajemen Wisata Alam

Pada prinsipnya, manajemen wisata alam harus mampu menyeimbangkan tiga hal: keselamatan, konservasi, dan ekonomi lokal. Penutupan akses atau pembatasan adalah pilihan pahit bagi pemandu wisata dan ekonomi lokal untuk jangka pendek. Namun, kompromi jangka panjang terhadap keselamatan dan kelestarian lingkungan akan menyelamatkan mata pencaharian itu sendiri. Oleh karena itu, dialog dengan masyarakat lokal harus jadi prioritas, bukan formalitas belaka.

Peran komunitas lokal pun tak bisa dipandang sekunder. Mereka yang tinggal di kaki gunung dan menjadi pemandu informal memiliki pengetahuan lokal yang berharga tentang perilaku gunung dan jalur alternatif. Keterlibatan mereka dalam perencanaan evakuasi dan pelatihan SAR akan meningkatkan kapasitas respons tanpa menggusur pengetahuan tradisional.

Latihan evakuasi rutin yang melibatkan pendaki, pemandu, pengelola taman, dan SAR harus terus dilakukan standarisasi. Latihan semacam ini bukan hanya untuk memenuhi checklist, melainkan juga menguji asumsi-asumsi operasional, seperti waktu respons, titik kumpul, pembagian tugas, dan komunikasi lintas lembaga. Latihan yang dibuat nyata akan mengurangi improvisasi berbahaya saat bencana sungguhan terjadi.

Perlengkapan dasar yang wajib dibawa pendaki perlu pula disesuaikan dengan risiko gunung berapi: masker debu, kantung tahan panas sederhana, peta rute evakuasi, dan lampu darurat. Edukasi prapendakian tentang bagaimana bereaksi saat abu tebal atau hujan batu sangat menentukan hasilnya. Informasi yang tepat akan menyelamatkan.

Pengelolaan jalur juga harus memperhatikan titik-titik bottleneck. Jalur sempit, jembatan rapuh, atau tanjakan curam bisa menjadi perangkap saat arus turun massal. Perbaikan struktural minimal—seperti penambahan jalur alternatif atau penguatan lintasan kritis—dapat mengurangi risiko dramatis ketika evakuasi dilakukan.

Kebijakan kuota yang ada perlu terus dievaluasi secara berkala dengan metrik yang jelas, yang mencakup ketersediaan pemandu, kapasitas pos, kapasitas evakuasi, dan kondisi ekosistem. Kuota bukan angka suci. Ia harus berubah ketika parameter operasional berubah. Transparansi dalam alasan penetapan kuota juga membantu publik menerima kebijakan dengan mudah.

Erupsi Semeru dan Pentingnya Tata Kelola Pendakian Gunung
Sepasan pendaki menyisir pinggiran Ranu Kumbolo menuju tempat berkemah. Setiap pendaki wajib membawa perlengkapan standar pendakian dan mematuhi aturan yang berlaku/Rifqy Faiza Rahman

Isu yang Luput Dibicarakan

Isu remunerasi pemandu dan porter sering luput dibicarakan dalam diskursus keselamatan pendakian. Jika pemandu diberi upah layak dan asuransi yang memadai, mereka akan lebih termotivasi untuk memprioritaskan keselamatan ketimbang kepuasan wisatawan atau tekanan pemasukan. Perlindungan sosial bagi tenaga lokal adalah bagian dari tata kelola pendakian yang adil dan efektif.

Selain pemandu, pelatih SAR sukarela dari komunitas perlu pula mendapat dukungan formal dalam bentuk pelatihan teknis, peralatan, serta akses ke data seismik atau meteorologi. Jaringan relawan yang terlatih memperluas kemampuan respons cepat, terutama saat akses kendaraan sulit. Modal sosial seperti ini sering jadi pembeda antara evakuasi yang kacau dan yang terorganisasi.

Sistem peringatan dini harus dikomunikasikan dalam bahasa yang mudah dipahami dan mudah diaplikasikan. Alarm teknis tanpa protokol tindakan konkret hanya menimbulkan kepanikan atau kebingungan. Peringatan harus diikuti dengan instruksi praktis. Misalnya, ke mana bergerak, siapa yang memimpin rombongan, dan apa yang ditinggalkan.

Manajemen sampah dan jejak wisata juga erat terkait dengan keselamatan. Area yang penuh sampah akan menghambat evakuasi, dan fasilitas yang rusak akibat sampah bisa memperparah keadaan saat terjadi kondisi darurat. Pengelolaan lingkungan yang baik adalah bagian dari pencegahan risiko, bukan sekadar estetika alam.

Penguatan kapasitas medis darurat di pos-pos penting mutlak diperlukan. Luka bakar akibat abu panas, masalah pernapasan karena abu vulkanis, atau hipotermia karena hujan adalah kondisi yang memerlukan penanganan cepat. Ketersediaan obat dasar, oksigen portabel, dan tenaga medis minimal di pos besar harus dipastikan.

Peran teknologi tidak boleh dipandang sebagai pengganti kapasitas manusia, tetapi sebagai pelengkap. Aplikasi pendaftaran, pelacakan rombongan, dan komunikasi darurat berbasis luring bisa menyambung celah ketika jaringan seluler terputus. Namun, implementasinya harus mempertimbangkan literasi digital pendaki dan pemandu.

Erupsi Semeru dan Pentingnya Tata Kelola Pendakian Gunung
Panorama Ranu Kumbolo dan area berkemah yang diizinkan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Pembatasan kapasitas kunjungan penting untuk alasan keselamatan sekaligus melindungi daya dukung lingkungan kawasan ini/Rifqy Faiza Rahman

Hambatan Pendanaan

Pendanaan mitigasi kerap menjadi hambatan. Dana untuk pelatihan, peralatan SAR, atau penguatan infrastruktur memerlukan alokasi yang jelas dari pemerintah daerah, taman nasional, dan kontribusi sektor swasta pariwisata. Model pembiayaan yang adil dan transparan, termasuk dana darurat, harus dibangun.

Pengaturan asuransi bagi pendaki juga tak kalah penting. Asuransi yang memadai untuk operasi SAR, perawatan medis, dan kompensasi sederhana memberi rasa aman bagi pendaki dan keluarga mereka. Pemerintah dapat memfasilitasi skema asuransi terjangkau yang terkait langsung dengan tiket pendakian.

Komunikasi pascaevakuasi menjadi area yang tak boleh dilupakan: bagaimana informasi akurat disampaikan ke keluarga, media, dan publik. Informasi yang lambat atau kontradiktif bisa memicu panik dan rumor. Satu pintu informasi resmi yang terus diperbarui akan menenangkan dan membantu koordinasi bantuan.

Pelibatan akademisi dan ahli vulkanologi dalam menyusun SOP pendakian harus ditingkatkan. Keputusan operasional di lapangan seringkali memerlukan terjemahan dari data ilmiah yang kompleks. Maka, mediator teknis antara ahli dan pengelola lapangan sangat diperlukan.

Kebijakan jangka panjang juga harus menyentuh zonasi pemanfaatan lahan di sekitar aliran lahar dan sungai yang rentan terimbas erupsi. Permukiman dan infrastruktur yang penting tidak boleh ditempatkan di area rawan tanpa dibarengi langkah mitigasi serius. 

Evaluasi pascaevakuasi wajib dilakukan. Apa yang berhasil, apa yang gagal, dan siapa yang harus bertanggung jawab mesti benar-benar jelas. Laporan yang transparan dan terbuka bagi publik akan menjadi bahan bakar perbaikan kebijakan ke depan. 

Erupsi Semeru kali ini harus menjadi momen refleksi tata kelola pendakian gunung kita, bukan sekadar narasi drama penyelamatan. Kita perlu bertanya: apakah kita ingin terus menahan masalah setiap kali gunung meletus? Atau membangun sistem yang meresap ke akar masalah sehingga krisis berikutnya bisa dihadapi lebih ringan?

Semoga langkah-langkah konkret yang diambil setelah kejadian erupsi Semeru ini ini tidak hanya menenangkan publik sementara. Kita butuh reformasi terpadu menyangkut tata kelola pendakian gunung, mulai dari regulasi, kapasitas pemandu, infrastruktur pos, sistem informasi, hingga pembiayaan mitigasi.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Avatar photo

Djoko Subinarto

Penulis lepas dan blogger yang gemar bersepeda.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Menyemai Perjalanan Tanpa Jejak Digital