TRAVELOG

Mengisi Jeda di Ngada

Ada perjalanan yang lahir bukan dari sebuah rencana panjang, melainkan keinginan untuk sejenak mengambil jeda dari padatnya rutinitas. Perjalanan menuju Ngada adalah salah satunya. Ketika John mengusulkan agar kami memanfaatkan tanggal merah untuk menginap di kampung halamannya, kami menyambutnya dengan senang hati. 

Siang itu, panas Aimere menyambut kami seperti biasa. Kami menepi di depan Alfamart, meneguk minuman dingin sambil menertawakan betapa cepat energi kami terkuras padahal perjalanan baru dimulai. Di antara obrolan kami, jalur selatan kemudian dipilih. Tidak banyak alasan, hanya kesepakatan spontan bahwa jalur itu lebih dekat, meski sebenarnya lebih sempit dan membutuhkan kewaspadaan ekstra.

Saya tidak menyimpan terlalu banyak detail tentang perjalanan menuju Ngada. Yang lekat di ingatan: biru laut di sisi kanan jalan, bukit-bukit hijau yang tampak seperti bergeser setiap kali kami menikung, hamparan sawah Roda yang memanjakan mata seiring lelah yang makin terasa, dan kelapa muda di Wae Luja yang terasa begitu melegakan. 

Mengisi Jeda di Ngada
Pemandangan kampung halaman John dari udara/Efli Meidwiarso

Cerita di Kampung Niba

Kami tiba di Niba menjelang sore. Semilir angin menyambut kedatangan kami. Rumah-rumah penduduk berdiri mengikuti lekuk jalan, diapit pekarangan luas yang dipenuhi berbagai tanaman. Dari lapangan SD Nirmala, riuh final turnamen OMK terdengar dan membuat suasana kampung kian hidup.

Kedatangan kami disambut ramah oleh Bapa Hila dan Mama Rosa, orang tua John, yang sudah menunggu sejak tadi. Usai mengatur barang, Mama Rosa menyuguhkan kopi Bajawa. Aroma khasnya langsung memenuhi ruang tamu, menambah hangat sore itu. Sebelumnya, John sering menyebut Laja sebagai kampung asalnya. Hal itu sempat membingungkan ketika kami tiba di Niba. Barulah ia menjelaskan bahwa Laja adalah nama wilayah paroki yang mencakup beberapa kampung dan desa, termasuk Niba.

Nama Desa Nirmala juga menyimpan cerita unik. Dibandingkan dengan beberapa desa sekitarnya, atau di daerah Ngada pada umumnya, yang cenderung menggunakan nama lokal daerah setempat, Nirmala punya ceritanya sendiri. Kata John, Niba dulunya termasuk dalam wilayah Desa Kezewea 1. Namun, melalui pemekaran desa belasan tahun lalu, Niba dan beberapa kampung lain menjadi Desa Nirmala. Nirmala merupakan akronim tiga kampung: Niba, Mawo, dan Kuruladu.

Menjelang malam, kami berjalan kaki mengitari kampung untuk membeli beberapa keperluan. Saat melewati lapangan, John menawarkan kami untuk singgah ke jembatan gantung Dhero Menge yang jaraknya hanya beberapa ratus meter.

Mengitari Niba membuat saya menyadari suburnya kampung ini. Hampir sepanjang jalan kami melihat cengkih, kelapa, pala, pisang, kakao, pepaya, vanili, durian, salak, kelengkeng, dan rambutan; seakan tanahnya tak pernah menolak apa pun yang ditanam.

Malam pertama kami di Niba begitu hangat. Teringat kesuburan Niba, saya banyak bertanya pada Bapa Hila. Ia menjawab tenang, tidak sekadar membenarkan kekaguman saya, tetapi juga menambahkan penjelasan yang lugas.

Menurutnya, Niba dan wilayah Laja secara keseluruhan umumnya memang dianugerahi dengan tanah yang sangat subur. Berbagai jenis tanaman bisa tumbuh baik. Bahkan, kata Bapa Hila, orang-orang kerap menyebut tanah ini sebagai Firdaus, sebuah sebutan yang lahir dari keyakinan bahwa kesuburan yang ada merupakan berkat Tuhan yang luar biasa. 

Obrolan kami terus berlanjut, sebotol sopi kembali berputar, berpindah dari satu tangan ke tangan lain. Malam kian larut, satu per satu kawan pamit tidur, hingga akhirnya kami pun terlelap dalam sunyi Niba malam itu.

Mengisi Jeda di Ngada
Hamparan persawahan Kampung Niba/Efli Meidwiarso

Mengitari Ngada dalam Sehari

Pagi merekah di Niba dengan ketenangan khas kampung. Udara pagi berembus sejuk, menemani laju kendaraan kami meninggalkan Niba, menuju beberapa destinasi perjalanan hari ini. Empat unit sepeda motor melaju: John membonceng Agni di depan, disusul Nino dan Ican, saya dan Estin, serta Efli dan Lian di barisan paling belakang. 

Destinasi pertama adalah Bukit Avatar Watunariwowo di Langa. Setelah mengurus karcis, kami mulai mendaki. Jalurnya cukup terjal sehingga kami kerap berhenti, menyesuaikan langkah beberapa kawan yang perlahan melambat. Meski begitu, suasana perjalanan terasa menyenangkan, canda tawa mengiringi langkah. 

Memasuki jalur yang melandai, puncak masih terlihat jauh. Di sisi kiri jalur, Gunung Inerie berdiri megah. Ujung lancipnya yang ikonis menjulang ke langit. “Ine itu mama, rie itu cantik. Jadi, Inerie artinya mama yang cantik,” jelas John. 

Jalur Bukit Avatar kini jauh lebih aman. Pagar rantai terpasang sepanjang jalur, membantu pengunjung meniti bagian yang ekstrem. Sesampainya di puncak, pemandangan yang selama ini hanya saya lihat di media sosial terhampar nyata. Inerie perlahan tertutup kabut, sementara sisi lain menyajikan deretan bukit terjal yang mengingatkan pada latar dunia Avatar: The Legend of Aang. 

Mengisi Jeda di Ngada
Pemandangan Gunung Inerie dari Bukit Avatar/Efli Meidwiarso

Kami menghabiskan waktu cukup lama, sebelum akhirnya turun dan melanjutkan perjalanan ke Kampung Adat Bena. Langit mendung menyambut kami di sana. Usai membeli karcis masuk dan mengenakan selendang adat bernuansa ungu, kami masuk ke halaman kampung. Meski ramai pengunjung, Bena tetap terasa tenang dan sakral.

Di sini, kami dapat melihat rumah-rumah adat (sa’o) dengan arsitektur yang khas, bhaga dan ngadhu (bangunan kecil sebagai simbol nenek moyang laki-laki dan perempuan), kuburan batu (nabe), susunan bebatuan besar, hingga tenunan dan berbagai hasil kerajinan masyarakat setempat. Perkampungan megalitikum ini diperkirakan berdiri sekitar 1.200 tahun yang lalu. Dari sejumlah sumber informasi yang saya peroleh, nama Bena sendiri diambil dari suku awal (suku Bena) yang mendiami sekaligus merintis kampung ini. 

Konon, penduduk kampung awalnya hanya berasal dari klan Bena. Namun, perkawinan dengan suku-suku lain kemudian melahirkan klan-klan baru yang secara keseluruhan menempati kampung Bena saat ini.

Kembali dari Bena, kami berbalik ke arah kota Bajawa, sejenak mengisi perut sebelum melanjutkan perjalanan. Air Terjun Ogi yang sebelumnya masuk rencana penutup, karena satu dan lain hal, kemudian dibatalkan. 

Sempat tebersit ide untuk pulang saja menuju Niba, tetapi kemudian urung setelah Efli mengajukan Wae Roa, air terjun yang belakangan mulai ramai dikunjungi dan viral di media sosial. Semua sepakat, Wae Roa menjadi destinasi terakhir di sisa hari itu. 

Perjalanan menuju Wae Roa tidaklah mudah. Kami berulang kali berhenti untuk bertanya rute kepada warga lokal. Jalan rusak, turunan curam, dan belokan tajam menjadi bagian dari perjalanan. Beruntung, kami dipandu satu rombongan pengunjung lain yang berada di depan kami, hingga akhirnya tiba di parkiran Wae Roa. 

Tidak jauh dari parkiran berdiri bangunan PLTMH Wae Roa berwarna kuning pucat. Di belakangnya terlihat pipa besar menanjak menuju bukit yang diselimuti kabut. Dari titik itu kami berjalan kaki melewati pohon tumbang, meniti jalan tanah, dan sesekali memanjat batu-batu besar. Hingga akhirnya, suara gemuruh air terdengar semakin jelas. Wae Roa menampakkan diri: air terjun megah yang jatuh dalam beberapa aliran dari tebing batu yang tinggi. Percikan air menyentuh wajah, bercampur aroma belerang yang cukup kuat.

Kami berpindah tempat untuk menikmati pemandangan alam Wae Roa dari berbagai sisi. “Wae itu air, roa itu menyala atau hidup. Jadi, orang percaya Wae Roa adalah air yang memberi kehidupan,” jelas John, yang terasa masuk akal. Air terjun ini menjaga kesuburan tanah dan pepohonan sekitarnya, sementara melalui PLTMH, alirannya memberi manfaat bagi masyarakat.

Hampir satu jam di Wae Roa, kami beranjak pulang ke Niba. Malam kedua kami di rumah John tak seperti malam sebelumnya. Selesai makan malam, kami tak banyak mengobrol. Rasa lelah setelah perjalanan seharian, membuat beberapa pamit tidur lebih dulu. Hanya saya, Efli, dan Agni, yang masih sempat bercerita sampai larut malam.

Ingin Kembali Lagi ke Ngada

Keesokan paginya, Niba berhias cerahnya mentari. Kami yang tadinya berencana pulang pagi ke Ruteng, baru berangkat sekitar pukul 11.00 WITA. Setelah pamit pada Bapa Hila, Mama Rosa, dan keluarga John, kami melaju di jalur menuju Mataloko. Dari Mataloko, terus ke Watu Jaji, lalu melewati jalur berkelok Kajuala. 

Saya jadi ingat, dalam banyak kesempatan, saya kerap bercerita soal keinginan untuk mengunjungi Ngada. Bahkan pernah sekali waktu, seorang kawan sempat bertanya perihal satu tempat yang paling ingin saya jelajahi di Flores. Saya menyebut Ngada dengan mantap. Alasannya sedikit sulit dijelaskan, tapi yang jelas saya terkesima dengan banyak hal di Ngada sejak pertama kali mengunjungi tanah ini delapan tahun silam. 

Kali ini, di Ngada saya kembali dengan teman-teman, menginap di Niba yang subur, menyambangi banyak destinasi, dan membawa pulang cerita, pengalaman, hangat kebersamaan, pun rasa syukur. Namun, satu hal yang pasti, kekaguman dan ketertarikan saya pada Ngada, rasanya masih sama dan tak berkurang sedikit pun.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Oswald Kosfraedi

Oswald Kosfraedi, saat ini berdomisili di Kupang. Gemar mengisi waktu luang dengan menulis dan mendengarkan lagu karya seorang musisi yang menginspirasi saya dalam menulis.

Oswald Kosfraedi

Oswald Kosfraedi

Oswald Kosfraedi, saat ini berdomisili di Kupang. Gemar mengisi waktu luang dengan menulis dan mendengarkan lagu karya seorang musisi yang menginspirasi saya dalam menulis.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kenangan tentang Pulau Rote (1)