Museum Tsunami berada di Jalan Sultan Iskandar Muda No. 3, pusat Kota Banda Aceh. Museum Tsunami berjarak tidak begitu jauh dari Masjid Baiturrahman, masjid termasyhur di Aceh. Lokasi persisnya berada di seberang Lapangan Blang Padang. Fasad Museum Tsunami memang terlihat menonjol dibanding bangunan-bangunan di sekelilingnya.
Senin (9/6/2025), aku berkesempatan mengunjungi Museum Tsunami. Hari itu adalah cuti bersama dan masih dalam suasana Iduladha. Aku datang di waktu menjelang salat Zuhur. Ternyata, loket penjualan tiket museum sedang tutup. Berdasar keterangan yang kubaca di loket, Museum Tsunami buka hari Sabtu–Kamis pukul 09.00–16.00 WIB. Hari Jumat tutup.
Tiket masuk untuk anak-anak dan pelajar Rp3.000 per orang, orang dewasa Rp5.000, dan wisatawan mancanegara Rp20.000. Sambil menunggu loket kembali dibuka, aku mengelilingi sisi luar museum ini. Saat menemukan musala, segera kutunaikan salat Zuhur.

Mahakarya Ridwan Kamil
Usai beribadah, aku mengamati sejumlah ornamen yang terpajang di dinding luar museum. Aku melihat prasasti yang menjelaskan museum ini didesain oleh Mochamad Ridwan Kamil. Arsitek sekaligus politisi ini pernah menjabat Wali Kota Bandung 2013–2018 dan Gubernur Jawa Barat 2018–2023. Tidak hanya itu, aku juga melihat prasasti peresmian Museum Tsunami yang ditandatangani Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pada 23 Februari 2009.
Seperti yang kita tahu, gelombang tsunami melanda Aceh pada 26 Desember 2004. Bencana ini sontak meluluhlantakkan pesisir Aceh, termasuk Kota Banda Aceh. Pendirian Museum Tsunami tentu untuk mengenang bencana tsunami, dan mengabadikan proses pemulihan yang dijalani masyarakat Aceh pascabencana dahsyat dan mematikan itu.
Aku terus mengitari sisi luar Museum Tsunami. Ada sebuah bangkai helikopter milik kepolisian yang dipajang di dekat pintu masuk museum. Dari bangkai helikopter ini, sudah bisa dibayangkan betapa kuatnya arus tsunami yang menerjang daratan kala bencana terjadi.
Selanjutnya, aku menemukan kolam berbentuk oval. Di sekeliling kolam ini, dihiasi batu-batu besar bertuliskan nama-nama negara. Dari informasi yang kubaca, mereka adalah negara-negara yang turun tangan untuk membantu masyarakat Aceh pascatsunami. Solidaritas dunia internasional sungguh luar biasa dalam menangani salah satu bencana terbesar abad ke-21 tersebut.
Dari kolam oval, aku bergeser ke serambi museum yang memajang papan-papan. Kuamati papan-papan ini, ternyata berisikan foto-foto yang menunjukkan lini masa kejadian gelombang tsunami yang melanda Aceh. Dimulai dari informasi soal gempa berskala besar, yang lantas memicu tsunami. Berikutnya foto-foto yang mengabadikan kerusakan parah bangunan-bangunan dan infrastruktur, seperti jalan aspal yang retak dan aneka material yang memenuhi halaman Masjid Baiturrahman setelah diterjang tsunami.
Aku terkesima dengan dokumentasi penanganan bencana, seperti penggunaan gajah untuk membantu membersihkan puing-puing akibat tsunami. Ada pula para relawan dan tentara mancanegara, yang turut hadir melakukan evakuasi di Aceh. Melihat foto-foto yang dipajang ini, sungguh membuatku trenyuh. Bayangkan, bagaimana hancurnya perasaan masyarakat Aceh kala dihantam musibah memilukan tersebut.
Menapaktilasi Bencana 26 Desember 2004
Loket penjualan tiket kembali dibuka pada pukul 14.00. Aku mengantre sebentar dan memperoleh sebuah kartu untuk memasuki museum. Begitu memasuki museum, para pengunjung langsung disambut Lorong Tsunami (Tsunami Alley). Jujur, saat melewati Lorong Tsunami aku merinding. Lorong Tsunami didesain setinggi 30 meter. Hal ini merujuk pada ketinggian gelombang tsunami tatkala menghantam daratan Aceh.
Lorong Tsunami dibangun dengan pencahayaan minim, untuk menggambarkan suasana gelap saat orang-orang tersapu gelombang tsunami. Tidak hanya gelap, tetapi juga terdapat percikan-percikan air di kanan-kiri dindingnya. Termasuk suara gemuruh air, dan lantunan kalimat tahlil: laa ilaaha illallah. Atmosfer Lorong Tsunami mengingatkan kita, bahwa jika Tuhan telah berkehendak, maka apa pun bisa terjadi.
Dari Lorong Tsunami, pengunjung diajak ke sebuah ruangan yang dinamai Ruang Renungan (Memorial Hall). Ruang Renungan berfungsi memberikan gambaran terkait bencana tsunami yang pernah menerjang Aceh. Terdapat 26 panel media, berisi foto-foto yang menggambarkan betapa parahnya kerusakan akibat gelombang tsunami. Tak terkecuali ekspresi emosional warga Aceh kala bencana terjadi. Betapa pilunya membayangkan mereka yang tiba-tiba harus kehilangan orang tua, sanak saudara, dan menjadi sebatang kara tanpa diduga.
Jumlah 26 panel media yang berada di Ruang Renungan menyimbolkan 26 Desember, tanggal terjadinya tsunami. Selain 26 panel media, Ruang Renungan juga menyajikan sebuah layar yang memutar video dokumenter bencana tsunami. Sama seperti Lorong Tsunami, Ruang Renungan juga didesain dengan pencahayaan minim, untuk menguatkan kesan keredupan yang menaungi warga Aceh imbas bencana tsunami.
Dari Ruang Renungan, pengunjung dibawa ke sudut Sumur Doa (Chamber of Blessings). Sumur Doa dibuat seperti cerobong asap, berbentuk silinder dan semakin menyempit ke atas. Ruangannya gelap, tetapi terdapat cahaya terang di atap yang bertulisan kata Allah dalam huruf Arab. Pada dinding Sumur Doa, terukir nama-nama korban tsunami. Sumur Doa dibuat sebagai simbol kuburan massal para korban. Di sini, kita bisa memanjatkan doa untuk mereka.
Selepas dari Sumur Doa, pengunjung akan melewati sebuah lorong bernama Lorong Kebingungan (Confusion Alley). Lorong Kebingungan berusaha menghadirkan sensasi yang pernah dirasakan para penyintas tsunami. Tatkala tsunami menerjang, para korban merasa bingung dan terombang-ambing, mendapati bangunan di hadapannya hancur tersapu gelombang air mahadahsyat. Mereka linglung dan tak tahu harus berbuat apa, melihat keluarganya tewas, dan harta bendanya berantakan atau hilang.
Memori Rehabilitasi dan Perdamaian Aceh
Lorong Kebingungan kemudian menyambung dengan sebuah jembatan. Setelah kuamati, ternyata jembatan ini melintang di atas kolam oval yang tadi kulihat sebelum memasuki bagian dalam museum. Jembatan ini dinamakan Jembatan Perdamaian (Bridge of Peace). Ya, perdamaian menjadi salah satu hikmah yang dirasakan masyarakat Aceh pascatsunami.
Sebagai ungkapan terima kasih kepada segenap negara yang telah membantu Aceh pascabencana, Museum Tsunami menghadirkan penghargaan dengan memajang bendera dari setiap negara tersebut di atas Jembatan Perdamaian. Di setiap bendera terdapat kata bermakna “damai” sesuai dengan bahasa nasional masing-masing negara. Tak bisa dimungkiri, bencana tsunami pada 26 Desember 2004 menjadi satu tonggak penting untuk menapaki ikhtiar baru dalam mencapai perdamaian di Bumi Rencong.
Selepas dari Jembatan Perdamaian, terdapat sejumlah bagian dan ruangan yang mengisi Museum Tsunami. Di antaranya ruang pameran tetap, perpustakaan, dan ruang audiovisual bagi para pengunjung yang ingin menonton dokumenter terkait tsunami.
Di sepanjang lorong museum yang melingkar oval, dipajang foto-foto yang menjelaskan proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Proses ini dikomandoi Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias. Ada pula corner yang menunjukkan keterlibatan lembaga-lembaga asing yang turut berkontribusi dalam upaya pembangunan kembali Aceh. Misalnya, Bulan Sabit Merah Turki dan USAID.
Satu bagian yang patut disorot adalah ruangan yang mengulas proses perdamaian di Aceh pascatsunami. Hancurnya pesisir Aceh lantaran dihantam tsunami, membuat Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bergerak nyata untuk menyudahi permusuhan. Kala itu, Wakil Presiden Jusuf Kalla berinisiatif untuk mempertemukan kedua pihak di Helsinki, Finlandia.
Perundingan berlangsung hingga tercapai kesepakatan yang dituangkan dalam Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki, dan ditandatangani bersama pada 15 Agustus 2005. Pihak Indonesia diwakili Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin, sedangkan pihak GAM mengutus Malik Mahmud Al Haytar.


Dokumentasi perdamaian Pemerintah RI dengan GAM di Helsinki (kiri) dan naskah UU Pemerintahan Aceh/Johar Dwiaji Putra
Terdapat sebuah foto yang menunjukkan Hamid Awaluddin bersalaman dengan Malik Mahmud, yang ditengahi oleh pihak Finlandia. Ini sebuah foto bersejarah, yang mengabadikan momen penting dalam perjalanan Aceh dan Indonesia sebagai bangsa. Ada juga panel media yang menunjukkan halaman pertama MoU Helsinki, serta halaman pertama UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Undang-undang ini semakin mengukuhkan Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Jika kamu sedang berada di Banda Aceh, jangan lupa kunjungi Museum Tsunami. Di sini tidak sekadar mengenang gelombang tsunami yang mengagetkan dunia pada hari Minggu pagi, 26 Desember 2004. Namun, ada seutas memori penting yang berkaitan dengan sejarah perjalanan Aceh, dan Indonesia sebagai negara merdeka. Aceh memang pernah bergejolak, tetapi gejolak itu akhirnya bisa diredam dengan saling memahami. Semata demi kesejahteraan dan keberlangsungan masyarakat Aceh itu sendiri.
Namun sayang, di sekitar trotoar gerbang masuk museum dijejali pedagang kaki lima. Sedikit mengganggu buatku. Alangkah lebih baik jika di sekitar gerbang masuk museum terbebas dari pedagang, sehingga nilai estetika museum tetap terjaga. Para pedagang dapat disediakan sudut lain sebagai lokasi khusus untuk berjualan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
PNS yang suka bertualang.







