TRAVELOG

Berburu Kho Ping Hoo di Solo

Aroma baju-baju baru dan bising para penjual di pasar masih melekat dalam ingatan saya tentang Solo. Setiap menjelang puasa, kami sekeluarga berburu keperluan lebaran di Pasar Klewer. Namun, tradisi itu terhenti sejak Bapak tiada. 

Kali ini, setelah lima tahun absen, saya kembali ke Solo dengan perasaan cemas sekaligus antusias. Bayangan Bapak pun menyergap—kami berjalan beriringan, bergandengan tangan, menyusuri lorong pasar dengan tote bag penuh belanjaan.

Ingatan tentang Bapak kian nyata ketika teringat pada cersil (cerita silat) karya Kho Ping Hoo yang dulu sering ia ceritakan. Mengetahui penulisnya berasal dari Solo membuat saya yakin, menelusuri kota ini berarti menyambung kembali percakapan kami yang pernah terputus—lewat halaman-halaman yang dulu ia ceritakan. 

Berburu Kho Ping Hoo di Solo
Melewati kios penjual lampu dan keramik antik di Passar Triwindu/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Solo dan Jejak Kho Ping Hoo

Pencarian saya dimulai dari sebuah keyakinan: bahwa di suatu tempat, di antara kios-kios buku lawas Solo, jejak Asmaraman Sukowati Kho Ping Hoo masih bersemayam. Pria kelahiran 17 Agustus 1926 itu telah tiada sejak 1994, tapi ratusan judul cerita silatnya, termasuk Bu Kek Siansu dan Banjir Darah di Borobudur yang sering Bapak ceritakan, seolah ingin tetap hidup.

Hebatnya, tanpa menempuh pendidikan tinggi, Kho Ping Hoo belajar secara otodidak dari buku-buku sejarah dan legenda. Dari sana, ia membangun dunia para pendekar yang membuat Bapak begitu kagum pada kekayaan imajinasinya.

Di tengah keterbatasan zamannya, ia menulis dengan konsistensi yang nyaris tak tergoyahkan. Sebagai keturunan Tionghoa, ia sempat menggunakan nama Jawa untuk menyesuaikan diri dengan situasi sosial dan politik kala itu. Ia tetap menulis, mewariskan cerita dunia persilatan yang melintasi generasi hingga kini.

Berburu Kho Ping Hoo di Solo
Koleksi edisi Penakluk Iblis di Pasar Triwindu/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Mencari Cersil Kho Ping Hoo di Pasar Triwindu

Tempat pertama yang saya datangi adalah Pasar Triwindu. Di antara barang-barang antik, saya menemukan cersil Bu Kek Siansu dan Penakluk Iblis. Sayang, harganya tidak bersahabat—Rp60.000 per jilid. Untuk seri lengkap Bu Kek Siansu yang berjumlah 24 jilid, total harganya sudah pasti tidak masuk akal. Harga ini bahkan melebihi harga Tetralogi Buru karya Pramoedya Ananta Toer terbitan Hasta Mitra yang menjadi primadona kolektor buku.

Saya mencoba menawar. “Bisa kurang, Pak?”

“Buku langka begini, Mbak, susah dicari. Sudah pas harga segitu,” balas penjualnya.

Setelah gagal menawar, saya pergi dengan kekecewaan yang tersisa, masih berharap ada teriakan yang memanggil untuk kembali. Namun, yang terdengar justru bunyi dering ponsel dari balik punggung saya—penjual itu sudah asyik kembali dengan dunianya.

Menghibur Diri dengan Kopi dan Wayang Orang

Usai menjelajahi Pasar Triwindu, saya menyempatkan diri singgah di kedai Titilaras—sebuah ruang mungil yang berada di Pasar Gede. Suasana hangat langsung menyambut, mengusir sedikit kesedihan cersil Kho Ping Hoo yang belum berjodoh. 

Saya memesan secangkir kopi arabika Ratamba dan mencicipi racikan tehnya. Aroma tembakau dan cokelatnya perlahan menenangkan jiwa yang kecewa. Asap tipis dari cangkir berbaur dengan tawa ringan, membuat sudut kecil itu terasa akrab meski saya datang sendiri. Dinding yang dihiasi bunga kering dan kartu pos menambahkan kesan intim, seolah memahami perasaan saya yang sedang mencari pelipur. 

Di sini, secangkir kopi menjadi jeda yang sempurna—seperti biji kopi yang perlu disangrai dan diseduh untuk menghadirkan rasa, pencarian ini pun butuh proses dan kesabaran untuk menemukan.

Sayangnya, ketenangan secangkir kopi hanya bertahan sebentar. Malam itu, saya memutuskan pergi menonton pagelaran Wayang Orang Sriwedari dengan lakon Gatotkaca Nagih Janji.

Waktu seolah berhenti. Saya larut dalam lakon yang heroik; gemuruh gamelan membersihkan segala sisa kecewa, sementara setiap hentakan kaki penari mengusir bayangan buku yang tak juga saya temukan.

Menonton pagelaran ini mengingatkan saya pada para pendekar dalam kisah-kisah Kho Ping Hoo—teguh, kadang kalah, tapi tak pernah berhenti menegakkan kebenaran. Barangkali, setiap lakon adalah cara lain untuk mengingat, seperti halnya setiap buku bisa menjadi cara untuk kembali. Semangat itu saya bawa pulang, menggantikan keputusasaan dengan tekad baru.

Berburu Kho Ping Hoo di Solo
Suasana pagi hari di Taman Buku dan Majalah Alun-alun Surakarta/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Menemukan Kho Ping Hoo di Lorong Kios

Keesokan paginya, udara Solo terasa lebih terang. Saya kembali melanjutkan pencarian dengan kesadaran dan semangat baru. Kali ini saya memutuskan pergi ke Taman Buku dan Majalah Alun-alun Surakarta. Letaknya berdekatan dengan Pasar Klewer dan keraton.

Meski sepi karena masih pagi, lorong-lorong kiosnya dipenuhi rak kayu berisi buku-buku bersampul kusam, beraroma kertas lama. Koleksinya unik dan beragam—selain sastra lama dan novel populer, tersimpan pula khazanah keraton Solo, sejarah, dan budaya Jawa.

Seorang bapak yang tengah merapikan tumpukan buku menoleh ke arah saya. Senyumnya ramah, suaranya pelan tapi hangat.

“Cari buku apa, Mbak?” sapanya dengan nada bersahabat.

“Cari cerita silat Kho Ping Hoo, Pak. Apa ada?” tanya saya sedikit ragu.

“Oh, ada, Mbak,” ujarnya sambil langsung mencari koleksi cerita silat yang ia miliki. “Ini, Mbak. Tinggal sisa ini.” Ia menunjukkan beberapa koleksinya kepada saya.

Entah bagaimana, koleksi cersil itu masih begitu rapi meski sudah berumur. Tanpa ragu, saya buka beberapa halaman pertamanya sebelum membungkusnya. Pertama, Nurseta Satria Karang Tirta yang berisi 20 jilid, lalu Pedang Asmara yang berisi 34 jilid.  

Koleksi cersil Kho Ping Hoo yang berhasil saya bawa pulang dan contoh sampul edisi Pedang Asmara/Annisa Fatkhiyah Sukarno

Dua karya cersil yang saya dapatkan itu bagai mewakili dua dunia yang dulu sering Bapak ceritakan: Nurseta Satria Karang Tirta dengan latar Jawa kunonya, dan Pedang Asmara dengan roman dan intrik dunia persilatan Tiongkok kuno.

Tanpa pikir panjang, saya membayar Rp70.000 untuk kedua koleksi itu tanpa menawar. Saat menyerahkan buku-buku itu, penjualnya tersenyum kecil. “Jarang anak muda yang masih cari bacaan begini,” katanya pelan. Saya hanya mengangguk, tak sanggup menjelaskan bahwa buku-buku itu bukan sekadar bacaan, melainkan jembatan menuju masa lalu yang nyaris hilang. Saya menyimpannya erat-erat di dalam tas, rasanya seperti menyimpan harta karun.

Solo yang dulu terasa jauh kini hadir lagi. Tidak hanya sebagai kota kenangan, tetapi ruang pertemuan. Di antara halaman-halaman cersil itu, saya akhirnya menemukan Bapak sekali lagi—bukan dalam wujud, melainkan dalam cerita yang tak pernah benar-benar berakhir.


Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.

Seorang pekerja konten biasa yang menyukai lagu-lagu John Mayer.

Annisa Fatkhiyah Sukarno

Seorang pekerja konten biasa yang menyukai lagu-lagu John Mayer.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Worth reading...
Kayangan Api Bojonegoro: Api Abadi dan Jejak Resi