Sudah hampir tujuh tahun saya merantau di Kota Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Sehingga beberapa sahabat sudah tidak menemui saya di kota kelahiran, tetapi malah menyambangi ke Solo. Sepertinya mereka tahu bahwa Solo menjadi tempat yang sulit saya tinggalkan sejak hari pertama berkuliah di sini.
Oleh karena itu, mereka pun penasaran dengan kota ini. Seperti halnya Pin—sahabat saya sejak SMA—yang ingin mengunjungi Solo. Dalam tiga hari kami berkeliling Solo, termasuk sedikit keluar kota ke Tawangmangu, Kabupaten Karanganyar, sebuah daerah sejuk di kaki Gunung Lawu.

Menjelajahi Tawangmangu: Rumah Atsiri dan Kebun Aromatik Tlogo Dringo
Perjalanan saya dan Pin bermula di Tawangmangu. Kami berdua berkendara dengan motor. Setelah sempat sarapan nasi liwet di Karanganyar, kami menuju destinasi pertama, yaitu Rumah Atsiri. Tempat ini digemari anak muda karena menawarkan beragam aktivitas yang edukatif bagi pengunjung. Meskipun masih cukup pagi, sudah banyak pengunjung yang mengantre. Setiap pengunjung mengisi voucher (kupon) senilai Rp50.000 yang nantinya akan ditukar dengan berbagai fasilitas yang ditawarkan.
Fasilitas yang ingin kami coba pertama ialah tur di museum. Akan tetapi, harus menunggu beberapa saat untuk mengikuti tur tersebut. Biaya masuknya Rp38.500, dipotong dari kupon. Sambil menunggu, kami berjalan-jalan di kebun yang berisi bunga marigold atau biasa disebut Plaza Marigold. Bunga marigold merekah dengan kelopak yang saling bertumpuk memberi warna yang kontras dari kuning hingga oranye.



Sudut-sudut menarik di Rumah Atsiri Indonesia, Tawangmangu. (Dari kiri ke kanan) Plaza Marigold, taman aromatik, dan Atsiri Shop/Aprilia Rizki Arifah
Tak lama setelah menjelajahi Plaza Marigold, tur museum sudah siap untuk diikuti. Saat masuk pengunjung akan disambut oleh instalasi tanaman gantung yang dirancang dengan teknik kokedama. Tanaman terlihat seperti melayang di udara. Selanjutnya, pengunjung dapat membaui berbagai aromaterapi dan melihat cara distilasi minyak zaman dahulu. Waktu terasa begitu singkat karena setiap instalasi menarik untuk dilihat.
Perjalanan berlanjut ke kebun aromatik dengan potongan kupon sebesar Rp25.000, sehingga kami harus menambah isi kupon. Area kebun ini berisi rumah kaca atau greenhouse Rumah Atsiri Indonesia (RAI) dan rumah pembibitan. Waktu untuk menikmati suasana di kebun aromatik ini sama saat berada di museum, yaitu sekitar 45 menit. Kemudian, kami menuju Atsiri Shop yang menjual beragam produk olahan dari Rumah Atsiri, seperti parfum, sabun, sanitizer, dan diffuser.
Setelah menikmati tur di Rumah Atsiri, kami beranjak menikmati pemandangan Gunung Lawu dan Bukit Mongkrang di Kebun Aromatik Tlogodringo. Biaya masuknya sangat terjangkau, hanya 5 ribu rupiah. Selain menikmati pemandangan gunung dan bukit, tersedia juga kafe jamu Rosmarin.
Kami cukup lama di sini karena udara dingin yang masuk ke pori-pori kulit memberi rasa nyaman. Hijaunya pepohonan bersanding dengan birunya langit membuat kami asyik dalam perbincangan tiada berujung. Di sini juga tersedia berbagai tanaman dengan bunga yang bermekaran.


Pemandangan Gunung Lawu terlihat dari Kebun Aromatik Tlogodringo (kiri) dan mawar pink, salah satu bunga koleksi objek wisata di Desa Gondosuli ini/Aprilia Rizki Arifah
Menyelami Tempat Bersejarah: Omah Lowo dan Kampung Batik Kauman
Pada hari kedua di Solo, saya mengajak Pin mengunjungi beberapa tempat bersejarah yang berada di pusat kota. Pagi itu kami awali dengan menyantap kuliner selat solo, makanan khas berisi bistik daging sapi, telur pindang, serta potongan wortel, buncis, tomat, dan kentang goreng yang disiram kuah asam manis berwarna cokelat tua.
Setelah sarapan, kami menelusuri Omah Lowo atau yang biasa disebut Heritage Batik Keris yang berada di Laweyan, tak jauh dari Stasiun Purwosari. Di bagian depan ada gerai yang berisi aneka batik dan produk UMKM. Saat hendak masuk ke Heritage Batik Keris, pengunjung cukup membeli produk UMKM yang tersedia di situ.
Bangunan kuno ini terlihat megah dan gagah dengan nuansa klasiknya. Omah Lowo terdiri dari ruangan yang berisi berbagai koleksi batik dari Batik Keris, barang antik, hingga dokumentasi pemilik. Pemandu menjelaskan bangunan tersebut dinamakan Omah Lowo (rumah kelelawar) karena dahulu dipenuhi oleh kelelawar. Kotoran kelelawar memenuhi lantai rumah. Akan tetapi, sampai saat ini keramik tidak mengalami perubahan, bahkan tidak diganti. Omah Lowo dikelilingi dengan taman yang luas dengan hamparan bunga dan rumput hijau. Setelah keluar dari bangunan tersebut, pengunjung dapat bersantai ria di taman sepuasnya. Air mancur menambah megahnya bangunan tersebut.



Tampak ruangan bagian dalam Omah Lowo dan air mancur di halaman yang menarik perhatian/Aprilia Rizki Arifah
Perjalanan berikutnya menuju Kampung Batik Kauman. Lorong gang di Kampung Kauman menarik banyak wisatawan. Kampung tersebut dipenuhi dengan toko batik dan beberapa kafe. Tidak ada biaya masuk untuk menikmati kampung ini. Akan tetapi, gang yang cukup sempit harus membuat pengunjung berhati-hati. Kami hanya sebentar saja berada di Kampung Kauman sudah waktunya makan siang. Kami makan siang di salah satu warung bakso populer di dekat sana.
Sorenya kami sempat berencana untuk pergi melihat atraksi prajurit Keraton Solo, tepatnya di depan Keraton Kasunanan Surakarta. Setiap Sabtu sore mereka mengadakan atraksi. Para prajurit melakukan tarian kolosal diiringi merdunya gamelan. Namun, saat itu Solo diguyur hujan hingga malam sehingga kami mengurungkan niat untuk ke sana. Rencana ke Ngarsopuro Night Market kala malam pun juga terhalang karena hujan tak kunjung reda.
Akhir Perjalanan: Solo Art Market hingga Masjid Saminah Sihyadi
Pada hari terakhir Pin di Solo, saya ajak dia untuk menikmati sarapan rawon di daerah Jebres. Tempat ini dikenal dengan cita rasa rawon yang nikmat. Ini juga pertama kalinya bagi Pin untuk menikmati rawon. Empuknya daging sapi berpadu dengan kuah rawon yang gurih.
Setelah itu, kami menuju Solo Art Market (SAM). Sepanjang selasar Ngarsopuro telah tersedia banyak stan yang menjual karya dari artisan. Kami bahkan hampir mengunjungi setiap stan yang ada karena masing-masing memiliki ‘warna’ yang berbeda. Karya tangan para artisan mampu memukau pengunjung. Tak jarang mereka langsung membeli karya tersebut.
Tujuan berikutnya masih di area SAM, yaitu Pasar Triwindu. Pasar dengan dua lantai ini menjual berbagai barang antik. Pengunjung juga biasanya mendatangi Pasar Triwindu untuk mencari kebaya. Pada hari libur, suasana akan cukup padat.
Hari terakhir juga menjadi hari yang tepat untuk menjelajahi Pusat Grosir Solo (PGS) dan Beteng Trade Center (BTC). Keduanya bersebelahan sehingga mudah dijangkau. Perjalanan dari Pasar Triwindu menuju kedua tempat tersebut sekitar 10 menit. PGS dan BTC berisi beragam kios yang menjual barang tekstil dan fashion. Pengunjung dapat menawar produk yang ingin dibeli. Pin membeli batik sementara saya hanya menunjukkan baju mana yang cocok untuk dia.


Arsitektur unik di Masjid Saminah Sihyadi/Aprilia Rizki Arifah
Saya kemudian mengajak Pin untuk memutari kota karena ini menjadi hari terakhirnya di Solo. Kami beristirahat sejenak di Masjid Saminah Sihyadi yang berada di belakang Terminal Tirtonadi. Masjid ini memiliki gaya arsitektur yang unik. Pada bagian kanan dan kirinya terdapat kolam kecil.
Wisata kuliner kami tutup dengan makan steak di Pucangsawit, Jebres. Malamnya saya mengantar Pin ke Stasiun Solo Balapan. Tiga hari bersama Pin di Solo lebih dari sekadar reuni sahabat SMA. Melalui perjalanan, kami kembali menemukan serpihan jiwa yang hilang karena tergerus kesibukan.
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Senang berkelana untuk menemukan perjalanan penuh warna.



