Don’t judge a book by its cover, itulah yang sering kita dengar. Di kampung padat penduduk yang bersinggungan dengan hiruk-pikuk wisata Tamansari, terekam jejak-jejak yang kerap diabai mata di sudut gang dan pasar—sesuatu yang selalu tidak sesuai dengan yang terlihat.
Oleh: Muhammad Taufiq Rifky Ramadhani
Di Patehan, warga menata muka rumah dengan tanaman, sangkar, dan mural untuk menyambut wisatawan. Seorang bapak bertato menyapa kami ramah, bercerita tentang lingkungan sekitar. Sudah setahun ia hobi merawat burung.
Berderet sangkar burung aneka ukiran, tertata rapi sebagai ornamen. Yang tampak hanya gambar burung dan kardus terpajang, sementara kicauannya entah ke mana.
Lubang-lubang pada kardus membentuk rupa yang menatap kantung plastik bening. Jejak harian dari manusia di lorong Pasar Ngasem.
Pelataran Tamansari yang biasanya riuh wisatawan pagi itu kosong, hanya sesi pemotretan prewedding yang mengisi.
Bunga plastik mekar di keranjang sepeda tua. Di bawahnya, tanaman hidup dan tumbuh tanpa menjadi hiasan utama.
Spanduk berseru tentang klaim pasar bersih, pedagang higienis, dan pangan aman; sementara keranjang besi di sisi kiri menahan sampah plastik yang menumpuk. Motor berhenti, ibu-ibu menunggu, kadang hanya bisa gigit jari.
Cerita foto ini merupakan hasil karya peserta lokakarya dan tur fotografi “Mengasah Jelinya Mata dan Pekanya Rasa dalam Bercerita” bersama Anggertimur (Creative Storyteller) dalam rangkaian Pameran Ekspedisi Arah Singgah: Makan Key Almig di Kota Yogyakarta, 8 November 2025.
Penikmat musik dan cerita, yang diam-diam belajar berdamai dengan diri sendiri di tengah riuhnya dunia. Pelan-pelan menambal lelah lewat jurnal, lagu-lagu favorit, dan cerita.
Penikmat musik dan cerita, yang diam-diam belajar berdamai dengan diri sendiri di tengah riuhnya dunia. Pelan-pelan menambal lelah lewat jurnal, lagu-lagu favorit, dan cerita.