Di sebuah danau kecil di Situ Cangkuang, terdapat Kampung Pulo, sebuah perkampungan adat yang seakan terpisah dari hiruk-pikuk zaman modern. Sampai sekarang, Kampung Pulo masih mempertahankan tradisi unik serta memiliki sejarah penting yang berkaitan dengan penyebaran agama Islam di Kabupaten Garut.
Kampung Pulo berada di pulau kecil yang merupakan objek wisata Situ Cangkuang, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Meskipun berada di tengah objek wisata, sama sekali tidak memengaruhi struktur sosial yang telah dibangun dan diwariskan secara turun-temurun.
Berdasarkan catatan dan cerita yang saya dengar, Kampung Pulo merupakan peninggalan Embah Arif Muhammad pada abad ke-17 Masehi. Sebelumnya, Embah Arif Muhammad ini merupakan salah satu panglima perang Kerajaan Mataram yang diperintahkan oleh Sultan Agung untuk mengusir pasukan Belanda di Batavia. Namun, beliau mengalami kegagalan sehingga tidak diizinkan pulang ke kerajaan dan memutuskan untuk menetap di Kampung Pulo.
Saat saya bersilaturahmi dan berbincang dengan Abah Tatang, juru kunci Kampung Pulo, beliau bercerita Embah Arif Muhammad merupakan salah satu tokoh penyebar agama Islam di Garut pada abad ke-17, khususnya di wilayah Cangkuang. Sebelum beliau datang, masyarakat yang berada di sekitar Cangkuang ini menganut agama Hindu. Hal ini dibuktikan dengan adanya peninggalan berupa candi yang berdampingan dengan makam Embah Arif Muhammad. Candi tersebut diperkirakan sudah ada sejak abad ke-8 Masehi, dan merupakan tempat peribadatan umat Hindu kala itu.

Keunikan Kampung Pulo
Berbeda dengan kampung adat Kuta di Ciamis dan Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Pulo memiliki keunikannya tersendiri. Kampung ini hanya dihuni oleh 22 orang yang berasal dari enam keluarga, itu pun sudah termasuk orang tua dan anak-anak. Selama saya berkeliling, di sana hanya terdapat tujuh bangunan pokok, tidak lebih dan tidak kurang. Ketujuh bangunan tersebut terdiri dari enam bangunan rumah dan satu musala.
Bukan tanpa alasan. Jumlah tersebut erat kaitannya dengan tokoh Embah Arif Muhammad. “Tujuh bangunan yang ada di sini, merupakan representasi atau simbol dari tujuh anak Embah Arif Muhammad, yang mana beliau dikaruniai enam anak perempuan dan satu anak laki-laki. Enam rumah sebagai simbol keenam anak perempuan, sementara satu musala sebagai simbol dari satu anak laki-laki beliau,” tutur Abah Tatang.
Selain itu, di kampung Pulo hanya boleh diisi oleh enam keluarga yang berasal dari keturunan Embah Arif Muhammad. Tidak diperbolehkan adanya pendatang baru untuk menetap dan tinggal di sana. Kemudian apabila ada anggota keluarga yang menikah, maka mereka harus keluar dari kampung tersebut. Mereka boleh masuk lagi apabila ada salah satu anggota keluarganya yang meninggal dunia. Dalam hal ini, mereka kembali untuk mengisi kekosongan.
Tidak hanya itu, posisi rumahnya pun sangat unik. Saya memperhatikan keenam bangunan rumah tersebut dibangun dengan posisi saling berhadap-hadapan. Tiga bangunan rumah sebelah kiri, sementara tiga bangunan lagi di sebelah kanan. Posisi tersebut bukan tanpa alasan, melainkan dibuat dengan dasar agar dapat saling melindungi satu sama lain.


Makam Embah Arif berdampingan dengan candi (kiri) dan sejumlah koleksi manuskrip kuno di Museum Kampung Pulo/Dadan Abdul Majid
Beberapa Larangan di Kampung Pulo
Sebagaimana kampung adat pada umumnya, kampung Pulo pun memiliki berbagai macam larangan yang telah menjadi warisan secara turun-temurun. Menurut Abah Tatang, kurang lebih terdapat lima larangan yang harus dijaga dan dipegang teguh oleh anggota masyarakat yang berada di sana. Kelima larangan ini juga dijadikan sebagai pengingat kelima rukun Islam.
1. Tidak diperbolehkan berziarah pada hari Rabu
Sebab, masyarakat kampung Pulo menggunakan hari Rabu untuk mengadakan acara pengajian dan memperdalam ilmu keagamaan. Sehingga, pada hari tersebut tidak boleh ada aktivitas lain selain pengajian sebagai upaya memperdalam ilmu agama dan semakin meningkatkan hubungan dengan Tuhan.
2. Tidak boleh menabuh atau memukul gong besar
Menurut Abah Tatang, larangan ini berkaitan dengan peristiwa meninggalnya anak laki-laki dari Embah Arif Muhammad. Konon, saat anak beliau akan dikhitan, sebelumnya dilakukan arak-arakan diiringi oleh gamelan yang menggunakan gong besar. Tiba-tiba angin topan menyebabkan kekacauan sampai sang anak celaka dan akhirnya meninggal dunia. Setelah kejadian tersebut, memukul atau menabuh gong besar tidak diperbolehkan karena diyakini akan mendatangkan malapetaka atau bencana.
3. Tidak boleh membangun rumah dengan atap prisma
Larangan ini pun masih terkait dengan meninggalnya anak lelaki dari Embah Arif Muhammad. Berdasarkan cerita, setelah anak beliau cukup umur untuk dikhitan, maka dilakukanlah upacara khitanan dengan mengarak sang anak dalam sebuah tandu berbentuk prisma. Pada saat diarak, angin kencang menyebabkan upacara arak-arakan kacau dan mencelakai sang anak sampai meninggal dunia. Hal inilah yang juga menjadi dasar kenapa di Kampung Pulo tidak diperbolehkan membuat atap rumah berbentuk prisma.
4. Tidak boleh berternak binatang besar berkaki empat
Masyarakat hanya diperbolehkan untuk beternak binatang kecil seperti ayam. Tidak ada satu pun anggota masyarakat yang memelihara binatang besar berkaki empat, seperti kambing ataupun sapi. Konon, larangan tersebut bertujuan untuk menjaga kesucian dan kebersihan Kampung Pulo dari gangguan serta kotoran hewan tersebut. Alasan lainnya, Kampung Pulo ini berada di sebuah pulau kecil di tengah-tengah Situ Cangkuang, yang akan menyulitkan warga apabila memelihara binatang besar berkaki empat.
5. Tidak boleh menambah bangunan pokok dan kepala keluarga
Larangan terakhir yang harus dipegang teguh oleh masyarakat adat Pulo ialah tidak diperbolehkan untuk menambah bangunan pokok yang sudah berada di sana, yaitu enam bangunan rumah dan satu mushola. Hal ini menandakan adanya keterkaitan yang erat antara struktur sosial dan nilai-nilai religius. Kemudian, setiap rumah pun hanya boleh dihuni oleh satu kepala keluarga. Maka dari itu, apabila ada yang menikah, dengan terpaksa mereka harus keluar dari kampung tersebut.
Pesan Toleransi Beragama
Salah satu pemandangan yang membuat saya takjub adalah ketika memperhatikan makam Embah Arif Muhammad yang berada tepat di samping Candi Cangkuang dengan Arca Siwanya. Berdasarkan keterangan juru kunci, hal tersebut merupakan simbol dan pesan toleransi antarumat beragama, khususnya Islam dan Hindu.
Dalam praktik keagamaan, di Kampung Pulo tidak ada satu agama yang merasa terganggu atas ritual agama yang lain. Artinya, bagi penganut agama Hindu tidak ada halangan untuk mereka melakukan peribadatan di Candi Cangkuang. Begitu pun bagi penganut agama Islam, tidak ada halangan untuk melakukan ibadah di sana, baik itu berziarah maupun bentuk ibadah lainnya.
Pesan toleransi itu diperjelas oleh Abah Tatang, “Sebagai umat manusia kita harus bisa saling menghargai perbedaan yang ada. Jangan sampai dengan adanya perbedaan, kita justru saling menyingkirkan satu sama lain.”

Museum Naskah
Sebelum pulang, saya melangkahkan kaki terlebih dahulu untuk mengunjungi museum yang ada di sana. Museum tersebut dibangun untuk menyimpan berbagai naskah peninggalan zaman dahulu yang masih menggunakan kertas tradisional berbahan kulit kayu saeh atau yang biasa disebut dengan “dluwang”. Berdasarkan referensi, pada zaman dahulu dluwang memang merupakan salah satu sarana pendukung bagi penulisan naskah di beberapa wilayah Nusantara. Sebab, lembaran yang dihasilkan memiliki kekuatan dan ketahanan dalam jangka waktu yang lama.1
Museum Candi Cangkuang memiliki sekitar 18 naskah lama yang menjadi koleksi. Berbagai naskah yang tersedia itu merupakan naskah Islam yang isinya membahas ilmu-ilmu dasar dalam agama Islam: tauhid, fikih, doa-doa, khotbah, dan juga Al-Qur’an dengan terjemahan berbahasa Jawa. Berdasarkan referensi, Zaki Munawar selaku pengelola museum mengatakan, penyalin Al-Qur’an dengan terjemahan bahasa Jawa tersebut adalah Embah Arif Muhammad sendiri selaku tokoh penyebar agama islam di sana.2
Sebenarnya masih banyak lagi berbagai keunikan yang belum diketahui lebih dalam. Termasuk salah satunya tradisi dan kesenian yang masih terus dilaksanakan sebagai upaya pelestarian budaya yang dimiliki. Intinya, bagi saya, Kampung Pulo bukan hanya sebuah kampung, melainkan juga ruang hidup yang mengajarkan tentang banyak pelajaran hidup. Dari mulai kesetiaan terhadap tradisi, hingga komitmen terhadap toleransi.
- Dinas Kebudayaan Kota Jogja, “Kertas Daluang”, Kundha Kebudayaan, 2023, November 21, https://kebudayaan.jogjakota.go.id/page/index/kertas-daluang. ↩︎
- Jonni Syatri, “Manuskrip Terjemahan Al-Qur’an Candi Cangkuang, Garut”, Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Kementerian Agama, 2021, Desember 29, https://lajnah.kemenag.go.id/info-lpmq/berita-dan-artikel/artikel/manuskrip-terjemahan-al-qur-an-candi-cangkuang-garut.html. ↩︎
Kenali Indonesiamu lebih dekat melalui Instagram dan Facebook Fanpage kami.
Tertarik buat berbagi cerita? Ayo kirim tulisanmu.
Dadan Abdul Majid, akrab dengan sapaan Dadan, bertempat tinggal di Malangbong - Garut. Bekerja sebagai tenaga honorer, dan di sela kesibukannya ia memiliki minat yang tinggi terhadap dunia traveling. Ia pun berkeinginan untuk bisa mengelilingi Negara tercintanya, NKRI.


